Sepasang Sepatu yang Melawan



Oleh: Muhamad Syafiq Yunensa

“Aku ingin berjuang bersamamu dengan sederhana,

Seperti sepasang sepatu, yang berjalan beriringan tapi tak bisa bersatu.

Apalagi ketiksa membersamai orang-orang tertindas,

Dan melawan ratusan jungle boots yang kaku.

Pagi itu Joni duduk di depan kamar kostnya yang menghadap ke arah jalan tol, dengan secangkir kopi dan buku, ia menikmati hangatnya mentari pagi dan pemandangan kapitalisme di Kota S. Joni suka jalanan, meski di lain sisi ia tidak terlalu setuju dengan banyaknya jalan tol yang dibangun. Joni sering bertanya dalam hatinya panjangnya jalan tol yang dibangun di Negeri ini, itu untuk siapa? Apakah untuk semua rakyat Indonesia, ataukah untuk kepentingan sebagian golongan yang berduit saja. Joni kira, yang punya kendaraan beroda 4 ke atas biasanya orang-orang kaya. Yah, mungkin Joni lebih suka jalanan yang diperuntukkan bagi semua golongan, jalanan yang bisa dinikmati semua orang tanpa syarat dan ketentuan apapun. 

Saat Joni melihat jam tangannya, ia tersadar bahwa setengah jam lagi ada jam kuliah. Lalu ia menyudahi aktivitas rutinan tersebut, dan bersiap berangkat ke kampus. Setelah menyalakan sepeda motornya, ia menghubungi Riana, kekasihnya.

Sudah siap berangkat, Nona?

Siap selalu, Komandan.

Beberapa menit kemudian Joni sampai di kost Riana. Mereka berangkat lewat jalan raya, sampai di perempatan jalan, kebetulan lampu lalu lintas berwarna merah dan hitungannya 100 detik. Seorang anak penjual berusia sekitar sepuluh tahun menghampiri mereka, dan menawarkan koran.

“Kamu sendirian, Dek? Ndak sekolah?” tanya Riana.

“Saya sama adik saya, Kak, Dia sedang duduk di sana karena kelelahan,” jawab anak tersebut seraya menunjuk ke arah pohon rindang di pinggir jalan, terlihat seorang anak kecil sedang bersandar di bawahnya.

Riana mengajak Joni untuk menghampiri si adik, yang terlihat sedang sakit dan menempelkan tangan ke dahinya untuk mengecek suhu badan. 

“Jon, lumayan panas nih badannya. Kamu ke apotik di sebrang jalan sana ya…”

Joni langsung bergegas menuju apotik yang ditunjuk Riana.

“Dek, rumahmu di mana?”

“Di kolong jembatan dekat stasiun sama Bapak. Tapi bapak sedang ada kerjaan, jadi kuli di salah satu bangunan di kota,” jawab si Kakak.

“Kamu nggak sekolah?

“Cuma sampe kelas 2 SD, terus keluar karena bapak tak punya uang.”

Beberapa menit kemudian Joni kembali dengan membawa obat, lalu langsung memindahkan si adik ke tempat yang layak.

“Misalkan, Adik masih kuat jalan, nanti langsung pulang ke rumah saja ya, atau nanti jam 9 kami kesini lagi misal belum pulang,” ucap Riana kepada si Kakak dan pamit untuk melanjutkan perjalanan ke kampus.

“Bagaimana pendapatmu, Jon?” tanya Riana ketika sudah sampai di parkiran kampus.

“Seringkali aku melihat yang seperti itu Ri. Kita kuliah dulu, lalu menengok kedua anak itu lagi.” 

“Shap, Komandan Joni.”

Mereka pun melangkah bersama menuju kelas, sebuah tempat yang begitu membosankan bagi Joni, tetapi sudah kewajibannya sebagai mahasiswa untuk masuk dan duduk memperhatikan Bapak-Ibu dosen yang terhormat atau kawan-kawan yang sedang presentasi.

Mata kuliah saat ini adalah Pendidikan Pancasila, seperti biasa saat sudah duduk di kursi Joni langsung membuka HP-nya dan bermain game Mobile Legend. Kebetulan saat itu kawan kelasnya yang sedang presentasi makalah, jadi Joni bisa bebas bermain karena dosen lebih fokus kepada mahasiswa yang sedang presentasi.

Sampai pada sesi pertanyaan, ada salah satu mahasiswa yang bertanya.

“Kita tau bahwa kemiskinan di Negeri ini begitu tinggi, mengapa hal itu terjadi dan peran apa yang bisa kita sebagai mahasiswa dalam menghadapi hal tersebut?”

Diskusi di kelas begitu aktif, banyak yang menjawab dengan berbagai perspektif, Joni pun sedikit tertarik dan akhirnya menyudahi permainannya dan memperhatikan diskusi dengan seksama serta ekspresi bapak Dosen. Ada yang menjawab bahwa Orang-orang di Negeri kita banyak sekali yang malas sehingga mereka miskin, ada juga yang berpendapat bahwa banyak pemimpin yang korupsi sehingga uang yang seharusnya untuk rakyat banyak yang termakan oleh mereka. Terkait dengan peran Joni menunggu pendapat yang bagus dari kawan-kawannya tetapi ia tidak menemukan satu pun. 

Joni berkata kepada Riana bahwa ia akan menanggapi dan Riana harus menambahi tanggapannya.

“Mungkin saya hanya menambahi jawaban serta sedikit menyanggah pendapat dari kawan-kawan sekalian, Pernahkah kawan-kawan berfikir, apakah para petani itu malas? Mereka pergi ke sawah dari pagi sampai sore, apakah bisa dikatakan malas? Dan para nelayan juga ku lihat di kampungku, mereka berangkat sejak pagi buta dan pulang sore, serta para buruh pabrik mereka dari jam 8 sampai sore bahkan kadang lembur. Pertanyaan saya, apakah mereka malas? Mereka rajin kok, tetapi mengapa kebanyakan mereka tetap miskin? Dalam hal ini, ada yang luput dari kawan-kawan semua, bahwa jangan-jangan mereka miskin karena dimiskinkan?” Joni menggantung ucapannya membuat banyak orang memperhatikannya karena penasaran.

“Tau kalian, di Negeri Kabut Hitam ini… sejak zaman kolonial banyak yang terjajah di tanah-tanah mereka sendiri, banyak yang mati di halaman depan rumah mereka sendiri, banyak yang keringat sampai darahnya diperas untuk kepentingan kolonial, dan hal itu masih ada sampai sekarang. Bedanya dulu yang menjadi kolonial adalah bangsa asing, tetapi kini bangsa sendiri yang menjajah Negeri ini, sebut saja neo-kolonialisme. Yah, sejak dulu banyak perampasan tanah, penggusuran, dan bahkan orang-orang yang berusaha melawan selalu dibungkam sampai dihilangkan. Bila kita mau jujur, terlepas kawan-kawan bahkan Bapak Dosen sepakat atau tidak, faktor utama dari kemisikan di Negeri ini adalah karena banyaknya pemiskinan struktural di mana-mana, bukan kemiskinan. Barangkali kini Ibu Pertiwi diperkosa Oligarki yang ada dalam pemerintaham dan selalu bicara Demi Bangsa dan Negara. Mungkin, Bapak Dosen lebih tau, tetapi sepertinya Nona Riana ingin menambahi jawabanku.” 

“Mungkin saya tak bisa sefrontal Bung Joni dalam berpendapat, tetapi sepertinya saya terbawa suasana, hehe…” prolog dari Riana membuat cair suasana, Bapak Dosen seperti terheran-heran dengan kekompakan sepasang mahasiswanya tersebut. “Lantas apa sih peran yang bisa kita jalankan sebagai mahasiswa? Okelah, ketika banyak dari kawan-kawan yang menjawab, kita harus belajar dengan sungguh-sungguh agar kelak menjadi orang yang sukses dan membantu orang-orang yang kesusahan. Tapi mohon maaf, bila ku katakana itu lebih mirip seperti fantasi, kawan-kawan.” Riana juga berhenti sejenak untuk memperhatikan reaksi kawan-kawannya.

“Kepedulian itu dipupuk sejak dini, tidak harus menjadi orang kaya, sukses, DPR atau apalah itu untuk peduli dengan orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita. Sebenarnya banyak peran yang bisa kita lakukan bahkan detik ini juga. Mengapa sih banyak terjadi penindasan dan pemisikinan, salah satu faktornya barangkali karena masyarakat sipil sangat rentan dan tidak punya kekuatan untuk melawan penindasan yang ada, maka dari itu sebagai mahasiswa kita juga bisa mengambil peran untuk membersamai rakyat sipil dalam berjuang melawan segala bentuk penindasan dan pemiskinan. Untuk apa berpikir bila jauuh dari masalah sosial yang ada? Untuk apa berpendidikan tinggi bila hanya untuk kepentingan pribadi yang bersifat materi? Saya tidak akan menjelaskan bagaimana sih caranya membersamai orang-orang yang tertindas, biarlah kawan-kawan mencari tau sendiri, setidaknya cobalah menengok lingkungan sekitar kita, misal jalanan, manifestasi dari kerasnya kehidupan.”

“Beri tepuk tangan untuk kedua kawan kalian,” ucap Pak Dosen diikuti tepuk tangan dari semua mahasiswa yang hadir.

“Kalian memang pasangan serasi,” ucap Boy, sahabat dekat Joni.

Beberapa menit kemudian Joni mendapat telvon, ia pamit  ke kamar kecil agar bisa mengangkat telvonnya.

“Bung Joni, keadaan darurat di sini, sudah banyak aparat yang siap meratakan rumah warga. Bisa bantu kabarin kawan-kawan di kampus dan kerahkan kesini sebanyak-banyaknya.”

“Baik Bung, saya bantu dan mungkin sekarang langsung meluncur, biar kawanku yang mengumpulkan massa, karena sepertinya butuh waktu lama untuk melakukan itu, saya nggak mau telat sampai lokasi, banyak kenangan yg kita buat di situ bersama warga setempat.”

Joni masuk kelas kembali, dan menjelaskan situasinya kepada Riana dan Boy. 

“Biarkan aku pergi sendiri,” ucap Joni seraya mengambil tasnya dan menghadap Dosen untuk meminta izin meninggalkan kelas.

“Saya juga izin, Pak.” Riana bangkit dan menyusul Joni.

Dosen mengangguk dan membiarkan sepasang Kekasih itu pergi. Sedangkan Boy kini sedang sibuk dengan HP-nya untuk mengumpulkan massa.

Sesampainya di lokasi antara warga dan kawan-kawan aliansi dengan aparat sedang bersitegang, alat berat pun sudah mulai digerakkan.

“Kamu bantu mengamankan anak-anak dan lansia Ri,” ucap Joni sambil berlari dan merapatkan diri ke garda terdepan bersama kawan-kawan lainnya. Bentrokan pun tak bisa dihindari, banyak warga, mahasiswa, sampai lansia yang mengalami luka-luka. Satu rumah sudah ada yang dirobohkan. Tangisan dan rintihan mewarnai suasana serita teriakkan mewarnai suasana terik siang itu. Joni yang tak tahan melihat betapa kejamnya aparat memilih untuk melawan dari pada terus menghindar saat diserang. Ia dan orang-orang di sampingnya banyak yang terkena pukulan, tak sedikit darah yang menetes. 

Perlawanan terus dilakukan akan tetapi sedikit meredup ketika alat berat mulai maju tanpa peduli banyak orang di depannya. Seorang ibu-ibu berusaha menghentika alat berat tersebut dengan memasang badan, danorang-orang disekitarnya melakukan hal yang ama, akan tetapi aparat bertambah agresif dengan persenjataan yang lengkap secara perlahan massa berhasil dipukul mundur. Akhirnya satu persatu rumah di bantaran sungai tersebut tumbang dan diratakan dengan tanah. 

“Pak, jangan hancurkan rumah kami… nanti kami mau tidur dimana?” ucap seorang anak kecil sambil menangis dan memeluk kaki aparat dengan tujuan agar mereka berhenti. Ibu dari anak tersebut menarik anaknya sambil berkata. “Mereka bukan manusia Nak, percuma meminta belaskasihan mereka, biar Tuhan yang membalas kebiadaban mereka!”

Setelah semua bangunan rata dengan tanah, kawan-kawan mengadakan konsolidasi ntuk langkah selanjutnya dalam melawan segala penindasan yang ada. Sampai petang barulah kawan-kawan Aliansi bubar seusai mendapat tugas masing-masing.

Di perjalanan pulang, Joni teringat dengan kakak-beradik yang tadi pagi ia dan Riana temui, akhirnya mereka memilih untuk menjenguk ke rumahnya di kolong jembatan dekat stasiun. Hanya ada tiga gubug disitu, membuat lebih mudah menemukan kakak-beradik yang kini sedang bersama bapaknya.

“Terimakasih, Nak, sudah membantu anak saya. Mohon maaf bila merepotkan, mereka sudah saya larang berjualan Koran sebenarnya, tapi melihat kondisi seperti yang seperti ini, mungkin membuat mereka tergerak untuk membantu mencari uang.” Ucap bapak dari kedua kakak-beradik tersebut.

Setelah izin pamit Joni dan Riana memilih untuk beristirahat sejenak di pinggir sungai tersebut. 

“Tak lelah kau, Ri? Mendampingiku yang setiap hari hidup seperti ini?”

“Apa kau merasa terbebani dengan kehadiranku, Jon?”

“Bukan seperti itu, aku tak mau kamu kenapa-napa, tau sendiri duniaku sangat keras.”

“Bukankah dulu kau pernah berkata kepadaku? Bahwa kita adalah sepasang sepatu yang melawan. Kita berjalan beriringan namun tak bisa bersatu. Bersama kita melawan apa-apa yang harus dilawan, dan membantu apa-apa yang harus dibantu. Jadi biarlah aku terus mendampingimu, mengukir cerita dalam perjuangan dan romansa.

“Kau memang keras kepala, tapi justru itu yang ku suka.” Akhirnya mereka pulang dengan beriringan, sambil terus memandangi keindahan sungai yang sudah mulai hilang, karena banyaknya sampah dan limbah pabrik yang membuat kotor, sekotor masa lalu Joni yang kini mulai ia gunakan sebagai tangga menuju masa depan. Bagi Joni, Masa depan adalah saat semua kesedihan ini berakhir. Kesedihan orang-orang yang tertindas dan teraniaya, Joni ingin menyudahinya meskipun itu tak lebih dari sekedar fantasi, karena hampir mustahil membuatnya jadi kenyataan. Akan tetapi Joni tetap melawan.

*Cerpen Terpilih dalam Rumpun Cerita Kehidupan Gusdurian UIN Walisongo