Insiden Human Error KTD (Kejadian Tidak Diharapkan)



Dosen pembimbing : Fitri Arofiati, Skep.,Ns,MAN,ph.D

 

Dalam praktik kesehatan terkadang dijumpai terjadinya kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tim medis karena adanya pengaruh (Human Error) sehingga menimbulkan persepsi yang membuat kekhawatiran kepada masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan karena berkurangnya kualitas pelayanan. Adapun beberapa kelalaian yang sering dilakukan tenaga Kesehatan dalam tindakan medis yakni meliputi keliru atau salah dalam memberikan obat atau salah dosis, salah membaca label, salah menangani pasien, dan yang lebih berat lagi adalah salah memberikan transfusi darah sehingga mengakibatkan hal yang fatal.

 

Seperti contoh kasus yang terjadi di salah satu RS X di kota Y, kejadian ini bermula saat salah seorang tenaga kesehatan ingin memberikan obat terapi yang sudah diresepkan ke seluruh pasien, pada saat itu ruangan rawat inpa sangat full pasien dengan jumlah kurang lebih 18 pasien,  dan yang berjaga pada malam itu hanya sekitar 3 orang dibantu oleh 2 orang mahasiswi praktikan.

 

Pada saat sift malam ada instruksi untuk melakukan pemberian obat melalui injeksi intrafena, obat telah dioplos, lalu seorang masisiwi praktikan diperintahkan untuk memberikan obat tersebut ke Tuan A dengan kasus DM. Kemudian ia terlewat memberikan double check dengan mahsisiwi praktikan tersebut akhirnya mahasisiwi tersebut memberikan obat kepada Tuan A di ruangan, kemudian pada akhir sesi pemberian obat, baru di sadari jika obat untuk Tuan H belum diberikan, akhirnya dilakukan pengecekan ulang dan di ketahui bahwa ada kekeliruan saat mengambil obat dan penamaan saat obat dioplos dan diberikan kepada Tuan A, kemudian setelah diperiksa kembali obat antibiotik Tuan H diberikan pada pasien Tuan A yang memiliki kemiripan nama dan sama ruangannya. Setelah dicek pada RM Tuan H merupakan pasien post op apendic, akhirnya Tuan A dengan diagnosa DM dipantau 30 menit dikhawatirkan ada alergi terhadap antibiotik, tetapi untungnya klien Tuan A tidak mengalami reaksi alergi akibat pemberian antibiotik tersebut. Lalu tenaga kesehatan itu dipanggil menghadap kepala ruang keesokan harinya saat proses timbang terima atau operan jaga, untuk ditanyakan bagaimana bisa terjadi kejadian seperti itu. Tenaga kesehatan tersebut mengatakan kehilangan fokus karena banyaknya pasien pada malam itu dan kondisinya yang kurang sehat. Pada akhirnya, setelah dilakukan observasi pasien tidak mngalami cidera lalu kepala ruang membuat pelaporan insiden keselamatan pasien 2x 24 jam kepada tim keselamatan pasien yang ada di RS. Kemudian tim KP rumah sakit dating dan melihat hasil laporan dan menentukan grade masalah, lalu memberikan rekomendasi pembelajaran agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.

 

Berdasarkan kasus di atas terdapat hal-hal yang harus di perhatikan seperti prinsip 7 benar dalam memberikan obat berdasarkan SOP seperti: benar pasien, benar dosis, benar jenis obat, benar waktu, benar cara pemberian, benar petugas, dan benar dokumentasi. Hal tersebut sanagat wajib diperhatiakan sebelum memberikan obat ke pasien, adapun faktor- faktor yang dapat menyebabkan kelalaian antara lain: tingkat pengetahuan, sikap patuh SOP, beban Kerja yang berlebih dan juga kondisi fisik serta psikologis.

 

Keamanan pemberian obat merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Sebagai petugas yang langsung memberikan pelayanan kepada pasien, diharapkan mampu mengembangkan dan memelihara sistem praktik pengobatan yang aman guna memastikan pasien mendapatkan layanan dan perlindungan terbaik dan memelihara prosedur pemberian obat yang aman guna memberikan pelayanan dan proteksi terbaik bagi pasien.

 

Mekanisme pelaporan insiden KTD/KNC

 





 

Daftar Pustaka


KKPRS. (2015). Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (Ikp) (Patient Safety Incident Report).

 

Syarat Buka Praktik Keperawatan Mandiri


 

Dosen pengampu : Ibu Sutantri,  Ns., M. Sc.,Ph.D

Praktik keperawatan mandiri merupakan sebuah tantangan yang harus disikapi oleh profesi keperawatan, mengingat perawat adalah salah satu bagian tenaga kesehatan yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan, dilihat dari jumlahnya perawat merupakan tenaga kesehatan terbesar di Indonesia yaitu sebesar 40,85% dari total kesehatan yang ada. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2020  tenaga keperawatan di Indonesia sebesar 438.234 Perawat. Sebagai  sebuah profesi  kesehatan perawat mempunyai kewenangan untuk membuka praktik mandiri keperawatan sendiri sesuai dengan standar etik dan profesi yang berlaku (Kemenkes, 2021).

Di Indonesia sendiri  perawat yang membuka praktik keperawatan mandiri jumlahnya masih sedikit, menurut data PPNI tahun 2015 jumlah perawat yang membuka praktik di seluruh Indonesia hanya sekitar 10% dari jumlah perawat  sebanyak 223.910, padahal dengan membuka praktik mandiri perawat, perawat dapat menunjukan kemampuan pengetahuan, ketrampilan serta perilaku profesional di masyarakat. 

Penerbitan Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2019 telah memberikan kepastian hukum bahwa perawat diperkenankan untuk mendirikan tempat praktik keperawatan mandiri baik perorang maupun berkelompok. Selain itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam membuka praktek keperawatan disebutkan di pasal 19 antara lain: 1) perawat harus memiliki riwayat Pendidikan profesi Ners; 2) perawat harus memmiliki STR (Surat Tanda Registrasi); 3) perawat harus memiliki SIPP (surat izin praktik keperawatan); 4) perawat memiliki tempat bangunan praktik.

Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, menjelaskan wewenang perawat dalam menjalankan praktik keperawatan mandiri. Wewenang perawat tersebut yaitu melakukan proses keperawatan secara holistik, memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensinya, melakukan rujukan, memberikan konsultasi keperawatan, melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling, serta melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep dokter, selain itu di dalam UUD Keperawatan No. 38 Tahun 2014 bahwa dalam keadaaan darurat perawat boleh memberikan obat kepada pasien tanpa resep dokter dalam arti obat yang diberikan” obat-obatan terbatas “ yaitu obat-obatan yang berlogo biru.

Tetapi banyak oknum perawat yang tidak memenuhi syarat yang telah diatur Undang-Undang Keperawatan dengan membuka praktik ilegal, berdasarkan data dari persatuan perawat Indonesia (PPNI) tahun 2014 ada 300 perawat yang tidak memilki SIPP dalam membuka praktik keperawatan mandiri, sehingga menyebabkan keraguan dalam masyarakat untuk mengakui adanya praktik keperawatan mandiri. Padahal menurut penelitian di luar negeri  kebutuhan akan pelayanan keperawatam di tempat praktik mandiri terus meningkat. 

Di Amerika Serikat, ada peningkatan sebanyak 5.6% terhadap pelayanan praktik keperawatan mandiri pada tahun 2012 di California. Hal ini diperkirakan akan meningkat sebanyak 30% hingga tahun 2020 (Wheinberg, 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Brown D. J. (2007) tentang perspektif konsumen terhadap perawat yang memberi layanan praktik mandiri, ditemukan bahwa 82% responden telah mengetahui tentang praktik keperawatan mandiri dan 58% responden lebih memilih ke praktik perawat sebelum ke dokter. Hal ini menunjukan bahwa praktik keperawatan mandiri dapat diterima di masyarakat. Dengan demikian harusnya menjadi perhatikan bagi pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan secara khusus dalam penertiban administrasi untuk memberikan izin  praktik keperawatan mandiri agar dapat menumbuhkan  kepercayaaan masyarakat kepada perawat serta membantu mengembangkan profesi keperawatan di Indonesia.