Langkah Kecil Abil





Oleh: Nabila Nurul Kaunaini

Dan kesadaran adalah hal yang paling utama, sebuah gerakan meski hanya sekedar memungut satu sampah plastik lebih baik, daripada terus bicara teori-teori tanpa praktik.


Sudah tidak muat itu, Mbak. Ini saya kasih plastik lagi, jata seorang Ibu Penjual Singkong.

“Tidak usah, Bu. Ini masih bisa dan tidak perlu kantong plastik lagi, kataku.. Sudah ini pake kantong plastik lagi saja, Mbak." Paksa Ibu Penjual Singkong sembari memberikan kantong plastik pada Abil.

Pagi itu ada sedikit perdebatan antara Abil dan seorang Ibu Penjual Singkong. Abil yang tetap keras kepala untuk tidak mengambil kantong plastik pemberian Sang Penjual guna mewadahi barang belanjaanya, tapi di sisi lain Sang Penjual tetap memaksa Abil untuk mengambilnya. Karena Abil tidak mau ada perdebatan yang panjang dengan Ibu Penjual Singkong, dengan berat hati Abil mengalah. 

Abil adalah seorang mahasiswi disalah satu Universitas Negeri ternama di Semarang. Ia tinggal di sebuah rumah kost yang ada di deretean perumahan dekat kampus. Sebagai anak kost, setiap bulan Abil harus pergi ke pusat perbelanjaan atau supermarket terdekat untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan. Beberapa pusat perbelanjaan yang Abil temui sudah tidak lagi menggunakan kantong plastik dan mengharuskan pembeli untuk membawa tas belanja sendiri.

Mungkin di beberapa kota besar sudah menerapkan hal tersebut, namun tidak dengan kota kecil, salah satunya di Kota tempat Abil dilahirkan. Di pasar-pasar ataupun pusat perbelanjaan masih menggunakan kantong plastik walaupun pembeli harus membayar tiap kantongnya tetapi hal itu tidak membuat masyarakat menjadi berhenti menggunakannya, bagi mereka tidak apa membayar satu kantong plastik asalkan mereka tidak merasa ribet dengan harus membawa tas belanja dari rumah.

“Bu, sebaiknya kita membeli tas belanja agar kantong plastik tidak menunpuk banyak di rumah, kata Abil pada ibunya.

“Di rumah kan banyak tas belanja, jadi tidak usah membeli, jawab Ibu Abil seraya merapikan belanjaannya.

Nah, sebaiknya kalau belanja bawa tas belanja saja dari rumah agar tidak banyak menggunakan kantong plastik, Bu, pinta Abil seraya membantu ibunya.

Ibu Abil hanya diam saja, seringkali Abil memberikan pemahaman pada ibunya untuk pelan-pelan tidak menggunakan kantong plastik saat berbelanja atau untuk hal lain. mengingat bumi ini kian hari semakin tua sudah seharusnya kita sebagai makhluk didalamnya menjaga dengan baik layaknya anak yang merawat kedua orang tuanya yang sudah renta. Sampah plastik juga merupakan permasalahan yang cukup krusial akhir-akhir ini. 

Suatu saat Abil bersama keluarganya pergi ke pantai dalam bayangan Abil pasti menyenangkan sekali dapat bermain di pantai yang indah udaranya yang sepoi-sepoi, namun saat sampai di pantai, Abil melihat banyak sekali sampah plastik di sepanjang pesisir pantai entah bagaimana sistem pengelolaan kebersihan disana, sampai-sampai banyak sekali sampah.

Hati Abil miris ketika melihat kondisi lingkungan kita saat ini, padahal pendidikan mengenai cara merawat lingkungan seringkali diajarkan oleh orang tua atau guru bahkan sedari dini, namun masih banyak orang yang belum memiliki kesadaran untuk bisa menjaga lingkungan. “Buanglah sampah pada tempatnya” kata-kata ini seringkali ada di berbagai tempat tetapi kata saja tidak dapat menyadarkan masyarakat apabila tanpa aksi.

Bahkan Abil melihat di bawah kata-kata tersebut banyak sekali sampah berserakan yang entah dari mana datangnya. Kita tahu bahwa sampah plastik harus memakan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai, kita pun tahu jenis-jenis sampah mana yang organik dan anorganik. Sekarang ini di sekolah, instansi pemerintahan, kampus, bahkan tempat-tempat umum sudah disediakan tempat sampah yang berbeda warna ini menandakan berbedanya jenis sampah. Abil menemui masih banyak orang-orang yang malas untuk membuang ke tempatnya dan meninggalkan sampahnya begitu saja di tempat yang selesai mereka singgahi.

Lihatlah bumi kita ini sekarang, sawah yang mulai berkurang lahannya dan berganti dengan bangunan-bangunan megah, banyak pohon yang ditebang demi kepentingan penguasa dan kalangan atas. Sungai maupun laut sudah tidak sejernih dulu, banyak sampah yang berenang di dalamnya. Untuk mengubahnya diperlukan kerjasama dan kesadaran diri dari masyarakat, di sini poin kedua menjadi sangat penting sebab sekeras apapun kita memberikan pemahaman pada orang lain apabila dalam dirinya tidak ada kesadaran untuk berubah pasti tidak akan berubah.

Sampahnya buang ditempat sampah ya, Dek. Jangan dibuang sembarangan, pinta Abil pada adik kecilnya.

Abil seringkali mengingatkan adik-adiknya untuk membuang sampah di tempatnya, hal ini menjadi salah satu langkah kecil Abil untuk dapat sedikit demi sedikit memberikan kesadaran akan peduli lingkungan. Abil sadar dirinya hanya masyarakat biasa yang tak dapat berbuat banyak untuk mengubah pikiran dan menyadarkan masyarakat untuk peduli lingkungan, maka langkah Abil dimulai dari dirinya sendiri berusaha untuk memiliki kesadaran bahwa lingkungan ini perlu dijaga dengan kasih sayang. Abil juga mengajak kedua orang tuanya untuk selalu menjaga lingkungan salah satunya dengan membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya, dimulai dari kebiasaan nantinya akan berubah menjadi karakter. Disinilah pentingnya aksi bukan hanya sebatas teori-teori belaka, karena tanah, air, dan udara adalah bagian dari kehidupan kita.

Pena dan Nestapa

 


"Mungkin diamku kali ini adalah yang terakhir kali, tapi perlawanan akan tetap abadi"

Tembakan gas air mata membuyarkan barisan demonstran. Mereka berlarian kesana-kemari untuk menghindar. Di tengah-tengah para demonstran yang berlarian, seorang gadis sedang mencari seseorang diantara kerumunan massa. Tak peduli tubuh kecilnya yang ditabraki orang-orang sampai terpental ia tetap bersikukuh mencari keberadaan Reza. Seorang pria yang sangat ia sayangi. Hingga sebuah tangan kokoh menggapainya dan membawanya menjauh dari lokasi aksi demo yang sedang ricuh tersebut.

Kau gila ya? Cari mati? Bukankah sudah kubilang untuk pulang saja tadi, kenapa tak mau mendengarkank, Ra, keras kepala sekali kamu ini. Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu tadi. Apa kau tidak memikirkan kekhawatiranku,” bentak Reza pada Dhira. Yang diikuti dengan setitik air mata yang mengalir di pipi Dhira. Spontan Reza langsung memeluknya.

Maaf, Ra. Maaf sudah membentakmu. Aku tak mau kau kenapa-kenapa. Aku tak mau kehilangan kamu, Ra..... kumohon mengertilah. Kau tak perlu risaukan aku, ini sudah tugasku. Aku bisa jaga diri. Jangan sampai  hal bodoh seperti tadi itu terulang lagi ya,ucap Reza yang berubah 360 derajat menjadi sangat lembut.

~~~~~~~~

“Halo, Reza tulisan-tulisanmu yang menkritisi mengenai pembangunan di daerah X itu bagus sekali. Banyak yang membaca, lanjutkan ya...” suara redaktur tempat Reza bekerja dari telepon.

Tentu saja, Pak.”jawab Reza singkat.

Keren Za. Kau tahu, tulisanmu ini memicu munculnya desakan untuk memecat Kepala Daerah X loh. Apa kau tak takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ucap Kenan, salah satu temannya yang menjadi fotografer di kantor redaksi yang sama dengan Reza.

“Enggak, aku akan menerima konsekuensi apapun mengenai tulisan-tulisanku itu, Ken”

“Tetap hati-hati, Za. Tak sedikit jurnalis kena intimidasi. Mereka para ber-uang itu bisa melakukan apapun,” jelas Kenan dengan nada serius, tapi Reza diam tak menanggapi.

“Oh iya besok kan minggu, aku lupa mau ngajakin Dhira malmingan hehe,” celetuk Reza mengalihkan pembicaraan Kenan, yang sebenarnya Reza sudah merasakan ada yang mencurigakan akhir-akhir ini.

“Kamu ngeledekin aku, Za? Tega kamu ngomongin malmingan depan aku hiks, keluh Kenan.

“Makannya bro cari pacar dong wkwkwk”

“Tak semudah itu ferguso, tipe aku tuh langka, makanya masih jomblo sampe sekarang”

“Tipe kamu apa emang? badak bercula satu, atau harimau sumatra,” sahut Reza sambil berlari keluar rumah hendak menjemput Dhira.

“Awas kamu, Za” ancam Kenan.

Selepas menjemput Dhira, Reza memacu motornya menuju sebuah cafe outdoor romantis di Kota X. sesampainya di cafe mereka mencari tempat dengan view lampu-lampu perkotaan yang cantik di waktu malam.  Setelah membincangkan banyak hal tiba-tiba Dhira teringat dengan  berita di koran lama yang tak sengaja ia baca mengenai “Kasus teror terhadap seorang Jurnalis”.

“Za, aku mau ngomong serius sama kamu,ucap Dhira

“Iya, Ra ngomong aja”

“Aku mau kamu berhenti bekerja sebagai jurnalis.” Terang Dhira to the point.

Reza kaget bukan main, Dhira yang sedari dulu mendukungnya untuk menulis dan mencari pekerjaan sesuai hobbynya itu sekarang malah menyuruhnya berhenti bekerja menjadi jurnalis.

“Kenapa, Ra? ” tanya Reza, berusaha untuk tetap tenang.

“Aku sayang kamu Za, aku gamau kamu kenapa-kenapa karena  tulisan-tulisanmu. Apalagi Mengenai pembangunan Kota yang banyak menimbulkan kontradiksi terhadap pemerintah.”

Reza mengerti apa yang di maksud Dhira.

“Maaf, Ra. Untuk permintaanmu kali ini aku ga bisa menurutinya. Ini jalan yang sudah aku pilih dan aku ga mungkin berhenti di tengah-tengah.”

Dhira terdiam cukup lama, sepertinya akan sangat sia-sia jika ia memohon pada Reza.

“Za, kau harus memilih. Berhenti jadi Jurnalis atau .....”

Atau apa, Ra”

Atau kita putus”

Nggak, Ra, aku ga mau milih antara dua hal konyol itu. Nggak akan”

“Kamu harus milih, Za” tegas Dhira sambil menahan air matanya yang sudah mendesak untuk keluar. Sembari berdoa dalam hati semoga Reza mau berhenti dari pekerjaannya ini.

Reza benar-benar bingung ia tak mau kehilangan Dhira tapi juga tak mau kehilangan profesinya. Setelah melalui perdebatan yang cukup seru dengan Dhira yang sangat keras kepala. Akhirnya Reza memilih untuk berhenti menjadi jurnalis. Entah mengapa Dhira selalu bisa menyihirnya untuk terus mengikuti inginnya. Ia tak mau kehilangan Dhira.

Oke Ra. Aku akan berhenti dari pekerjaanku, aku akan tetap bersamamu dan nggak akan ninggalin kamu”.

“Janji?”

Iya, janji”

Makasih, Za”

Malam semakin larut. Keduannya memutuskan untuk pulang. Setelah mengantar Dhira kekontrakan. Reza pulang menyusuri jalanan seorang diri. Waktu itu pukul 24.00 WIB. Ketika melewati jalan yang sepi, tiba-tiba dari arah depan ada seorang pria bertubuh besar menghadangnya.

~~~

Keesokan harinya seperti biasa Dhira berselancar di media sosial miliknya. Mencari-cari banyak hal baru dan menarik. Tak sengaja ia membaca sebuah berita “Pembunuhan terhadap seorang Jurnalis.” Deg.... Dhira langsung menelfon Reza.

Berkali-kali ia mencoba menghubungi Reza tapi Nihil. Kemudian ia menghubungi Kenan sahabat Reza.

Halo Kenan, Reza dimana?”

Diujung telfon, Kenan sangat takut, ia bingung bagaimana cara ia menyampaikan kabar duka ini pada Dhira.

Halo Kenan, kau mendengarku kan? Reza dimana?”

“Re....Reza.... Reza dibunuh, Ra.

Belajar dari Sosok Lian Gogali, Aktivis Perempuan dan Perdamaian


“Keberanian adalah harga yang dibutuhkan hidup untuk memberikan perdamaian”

-Amelia Earhart-

Kata-kata Amelia Earhart sangat relatable untuk menggambarkan Lian Gogali. Seorang puan kelahiran Taliwan, Poso, Sulawesi Tengah. Sama seperti RA. Kartini, SK Trimurti, Inggit, Cut Nyak Dien, Nawal El Saadawi, Betty Friedan maupun Fatima Mernissi. Sosok Lian Gogali juga aktif memperjuangkan hak-hak perempuan melalui lembaga Institut Mosintuwu yang dirintis olehnya sejak tahun 2009.

Bagi sebagian orang, mungkin nama Lian Gogali belum begitu dikenal. Padahal ibu tunggal yang sederhana ini memiliki keberanian di atas rata-rata. Dia tidak gentar menyuarakan dan memberi wadah bagi kaum perempuan yang tertindas oleh kontruksi masyarakat patriarki. Dimana perempuan masih dipandang sebelah mata, suaranya tidak didengar karena dianggap tidak penting dan tak berpengaruh. Perempuan dipinggirkan oleh pandangan bahwa laki-laki adalah penentu segala kebijakan.

Melalui Institut Mosintuwu inilah Lian Gogali mengumpulkan para perempuan utamanya ibu-ibu dan remaja untuk saling bertukar pikiran, mengembangkan keterampilan, menumbuhkan kreativitas dan menangkal hal-hal negatif yang ada di Poso. Lembaga ini dibentuk pasca konflik antar umat beragama di Poso yang berangsur dari tahun 1998 hingga 2001. Lian Gogali ingin membangkitkan para perempuan dan anak-anak untuk mendapatkan akses pendidikan karena dengan berpendidikan maka seseorang akan menjadi militan dan memiliki konsep untuk kehidupan di masa depan.

Mosintuwu diambil dari bahasa Pamona atau bahasa ibu di Poso yang berarti bersatupadu atau kebersamaan. Jelas sekali bahwa selain membawa misi kesetaraan dan keadilan bagi anak dan perempuan. Lian Gogali juga membawa misi perdamaian bagi kemanusian. Poso yang di kenal dengan pertikaian antara umat Islam dan Kristen kini sudah hidup berdampingan tanpa memandang ras, suku maupun agama. Bahkan gerakan sekolah perempuan di Institut Mosintuwu juga dikenal dengan gerakan perempuan lintas iman. Yang dulu saling benci, sekarang hidup berdampingan.

Didalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 dijelaskan bahwa setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan dapat hidup saling mengenal, bukan untuk berlomba-lomba membanggakan ketinggiannya masing-masing. Tetapi harapannya dapat hidup rukun dan beriringan. Dalam Al-Kitab (1 Korintus 7:15)  juga mengajak supaya manusia hidup rukun dalam damai sejahtera. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada agama yang menyerukan umatnya untuk melakukan kekerasan dan perpecahan, sebaliknya agama mengajarkan belas kasih sayang.

Lian Gogali dan para penggerak Institut Mosintuwu telah membuktikan bahwa dengan bersatupadu maka mereka dapat menangkal isu-isu yang mencoba memecah belah persatuan masyarakat Poso. Seperti isu SMS (Short Message Service) berantai di tahun 2015 yang mengabarkan bahwa ada kelompok bersenjata yang akan mendatangi rumah-rumah untuk melakukan pembantaian. Mereka mencoba melawannya dengan aktif mengabarkan bahwa berita itu adalah hoax atau kebohongan. Selain itu, sekolah perempuan ini juga ikut andil dalam konflik MIT (Mujahidin Indonesia Timur) yang sangat meresahkan warga karena berdampak pada kehidupan sosial ekonomi. Tahun 2018 saat banyak ‘blokade’ karena ada penyergapan atau usaha penangkapan kelompok MIT, warga di pesisir Poso yang mayoritas muslim mengalami krisis bahan pangan karena hasil panennya sangat minim akibat tidak dapat mengurus lahan sehingga banyak tanaman yang mati atau rusak. Kondisi ekonomi ini dibantu oleh warga Nasrani melalui Institut Mosintuwu, mereka mendistribusikan hasil panen kepada warga di pesisir Poso.

Gerakan-gerakan yang dilakukan saat inipun masih sesuai dengan tujuan lembaga Institut Mosintuwu didirikan, yaitu untuk membekali perempuan dengan ilmu pengetahuan supaya open mainded dan tidak mudah termakan hoax. Saling support dan belajar bersama membicarakan isu-isu tentang pluralisme, hak-hak ekonomi, sosial budaya maupun politik, khususnya yang terkait dengan perempuan dalam konteks paska konflik. Sekolah perempuan ini juga menjadi alternatif untuk mengumpulkan perempuan dari berbagai agama, suku, latar belakang sosial, ekonomi, politik sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan saling bekerjasama dan berkreativitas.

Kini Institut Mosintuwu semakin berkembang. Banyak masyarakat poso baik laki-laki dan perempuan yang memiliki visi misi serupa ikut turut andil dalam upaya-upaya memajukan Poso kearah yang lebih baik. Tantangan mereka juga semakin besar. Melalui siaran langsung di TV9, Sufyan Siruyu yang mewakili Institut Mosintuwu bersama dengan Lian Gogali menjelaskan bahwa ada dua konflik yang sedang di hadapi masyarakat Poso. Pertama di wilayah pesisir yang menghadapi situasi keamanan kurang stabil akibat problematika MIT dan maraknya kasus pembunuhan. Kedua di wilayah pedalaman yang terletak di pinggiran danau Poso yang mengalami eksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan, pendapatan dan kebudayaannya. Keadaan inilah yang saat ini terus di perjuangkan oleh Lian Gogali melalui Institut Mosintuwu.

Tak disangka pula, berkat perjuangan dan kegigihannya dalam memperjuangkan kerukunan antar umat beragama pasca kasus perpecahan di Poso dan turut serta membuka ruang belajar bagi para perempuan lintas iman membuat Lian Gogali mendapatkan penganugerahan GUSDURian Award kategori Penggerak terbaik tahun 2020 dan Institut Mosintuwu mendapatkan penganugrahan GUSDURian Award kategori Lembaga Terbaik tahun 2020 yang diumumkan dalam acara Closing Ceremony Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian pada tanggal 16 Desember lalu.

Lian Gogali dan Institut Mosintuwu layak dan berhak mendapatkan penghargaan. Perjuangannya tidak main-main. Dia, sosok perempuan yang siap pasang badan untuk melindungi hak-hak kemanusiaan dan merawat perdamaian. Hidupnya didedikasikan untuk kemaslahatan antar umat beragama. Semoga benih-benih persaudaraan semakin tumbuh subur, tidak hanya di Poso, tetapi juga di seluruh penjuru Nusantara. Ini bukan hanya tugas Lian Gogali atau orang-orang tertentu saja. Ini adalah tugas kita bersama sebagai warga Negara Indonesia.