Pena dan Nestapa

 


"Mungkin diamku kali ini adalah yang terakhir kali, tapi perlawanan akan tetap abadi"

Tembakan gas air mata membuyarkan barisan demonstran. Mereka berlarian kesana-kemari untuk menghindar. Di tengah-tengah para demonstran yang berlarian, seorang gadis sedang mencari seseorang diantara kerumunan massa. Tak peduli tubuh kecilnya yang ditabraki orang-orang sampai terpental ia tetap bersikukuh mencari keberadaan Reza. Seorang pria yang sangat ia sayangi. Hingga sebuah tangan kokoh menggapainya dan membawanya menjauh dari lokasi aksi demo yang sedang ricuh tersebut.

Kau gila ya? Cari mati? Bukankah sudah kubilang untuk pulang saja tadi, kenapa tak mau mendengarkank, Ra, keras kepala sekali kamu ini. Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu tadi. Apa kau tidak memikirkan kekhawatiranku,” bentak Reza pada Dhira. Yang diikuti dengan setitik air mata yang mengalir di pipi Dhira. Spontan Reza langsung memeluknya.

Maaf, Ra. Maaf sudah membentakmu. Aku tak mau kau kenapa-kenapa. Aku tak mau kehilangan kamu, Ra..... kumohon mengertilah. Kau tak perlu risaukan aku, ini sudah tugasku. Aku bisa jaga diri. Jangan sampai  hal bodoh seperti tadi itu terulang lagi ya,ucap Reza yang berubah 360 derajat menjadi sangat lembut.

~~~~~~~~

“Halo, Reza tulisan-tulisanmu yang menkritisi mengenai pembangunan di daerah X itu bagus sekali. Banyak yang membaca, lanjutkan ya...” suara redaktur tempat Reza bekerja dari telepon.

Tentu saja, Pak.”jawab Reza singkat.

Keren Za. Kau tahu, tulisanmu ini memicu munculnya desakan untuk memecat Kepala Daerah X loh. Apa kau tak takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ucap Kenan, salah satu temannya yang menjadi fotografer di kantor redaksi yang sama dengan Reza.

“Enggak, aku akan menerima konsekuensi apapun mengenai tulisan-tulisanku itu, Ken”

“Tetap hati-hati, Za. Tak sedikit jurnalis kena intimidasi. Mereka para ber-uang itu bisa melakukan apapun,” jelas Kenan dengan nada serius, tapi Reza diam tak menanggapi.

“Oh iya besok kan minggu, aku lupa mau ngajakin Dhira malmingan hehe,” celetuk Reza mengalihkan pembicaraan Kenan, yang sebenarnya Reza sudah merasakan ada yang mencurigakan akhir-akhir ini.

“Kamu ngeledekin aku, Za? Tega kamu ngomongin malmingan depan aku hiks, keluh Kenan.

“Makannya bro cari pacar dong wkwkwk”

“Tak semudah itu ferguso, tipe aku tuh langka, makanya masih jomblo sampe sekarang”

“Tipe kamu apa emang? badak bercula satu, atau harimau sumatra,” sahut Reza sambil berlari keluar rumah hendak menjemput Dhira.

“Awas kamu, Za” ancam Kenan.

Selepas menjemput Dhira, Reza memacu motornya menuju sebuah cafe outdoor romantis di Kota X. sesampainya di cafe mereka mencari tempat dengan view lampu-lampu perkotaan yang cantik di waktu malam.  Setelah membincangkan banyak hal tiba-tiba Dhira teringat dengan  berita di koran lama yang tak sengaja ia baca mengenai “Kasus teror terhadap seorang Jurnalis”.

“Za, aku mau ngomong serius sama kamu,ucap Dhira

“Iya, Ra ngomong aja”

“Aku mau kamu berhenti bekerja sebagai jurnalis.” Terang Dhira to the point.

Reza kaget bukan main, Dhira yang sedari dulu mendukungnya untuk menulis dan mencari pekerjaan sesuai hobbynya itu sekarang malah menyuruhnya berhenti bekerja menjadi jurnalis.

“Kenapa, Ra? ” tanya Reza, berusaha untuk tetap tenang.

“Aku sayang kamu Za, aku gamau kamu kenapa-kenapa karena  tulisan-tulisanmu. Apalagi Mengenai pembangunan Kota yang banyak menimbulkan kontradiksi terhadap pemerintah.”

Reza mengerti apa yang di maksud Dhira.

“Maaf, Ra. Untuk permintaanmu kali ini aku ga bisa menurutinya. Ini jalan yang sudah aku pilih dan aku ga mungkin berhenti di tengah-tengah.”

Dhira terdiam cukup lama, sepertinya akan sangat sia-sia jika ia memohon pada Reza.

“Za, kau harus memilih. Berhenti jadi Jurnalis atau .....”

Atau apa, Ra”

Atau kita putus”

Nggak, Ra, aku ga mau milih antara dua hal konyol itu. Nggak akan”

“Kamu harus milih, Za” tegas Dhira sambil menahan air matanya yang sudah mendesak untuk keluar. Sembari berdoa dalam hati semoga Reza mau berhenti dari pekerjaannya ini.

Reza benar-benar bingung ia tak mau kehilangan Dhira tapi juga tak mau kehilangan profesinya. Setelah melalui perdebatan yang cukup seru dengan Dhira yang sangat keras kepala. Akhirnya Reza memilih untuk berhenti menjadi jurnalis. Entah mengapa Dhira selalu bisa menyihirnya untuk terus mengikuti inginnya. Ia tak mau kehilangan Dhira.

Oke Ra. Aku akan berhenti dari pekerjaanku, aku akan tetap bersamamu dan nggak akan ninggalin kamu”.

“Janji?”

Iya, janji”

Makasih, Za”

Malam semakin larut. Keduannya memutuskan untuk pulang. Setelah mengantar Dhira kekontrakan. Reza pulang menyusuri jalanan seorang diri. Waktu itu pukul 24.00 WIB. Ketika melewati jalan yang sepi, tiba-tiba dari arah depan ada seorang pria bertubuh besar menghadangnya.

~~~

Keesokan harinya seperti biasa Dhira berselancar di media sosial miliknya. Mencari-cari banyak hal baru dan menarik. Tak sengaja ia membaca sebuah berita “Pembunuhan terhadap seorang Jurnalis.” Deg.... Dhira langsung menelfon Reza.

Berkali-kali ia mencoba menghubungi Reza tapi Nihil. Kemudian ia menghubungi Kenan sahabat Reza.

Halo Kenan, Reza dimana?”

Diujung telfon, Kenan sangat takut, ia bingung bagaimana cara ia menyampaikan kabar duka ini pada Dhira.

Halo Kenan, kau mendengarku kan? Reza dimana?”

“Re....Reza.... Reza dibunuh, Ra.

1 komentar :