Mendakwahkan Smiling Islam: Dialog Kemanusiaan Islam Dan Barat

 



Judul Buku    : Mendakwahkan Smiling Islam: Dialog Kemanusiaan Islam Dan Barat

Pengarang      : Prof. H. Abdurrahman Mas'ud, Ph.D.

Penerbit          : Pustaka Compass

Tahun Terbit : Cetakan Pertama, April 2019

Jumlah Hlm   : xxiv + 340 Halaman

Peresensi        : Muhamad Syafiq Yunensa

 

Buku hasil karya Prof. Abdurahman Mas'ud ini merupakan autobiografi singkat tentang perjalanan hidup Prof Dur sendiri, mulai dari masanya menimba ilmu di pondok pesantren serta pemikiran atau kumpulan tulisan beliau tentang kehidupan barat maupun Islam. 

Dalam buku epic ini memberikan pemahaman, sebagaimana faktanya bahwa Islam adalah agama yang damai anti terhadap kekerasan, sangat jauh dari anggapan dunia barat yang sudah mengakar. Terkait prespektif mereka tentang Islam adalah agama kekerasan. Islam yang dikenal sebagai agama yang membawa kedamaian tentu memiliki tradisi Islam ramah. Penulis memperkenalkan Islam ramah lewat perjalanan intelektualannya.

Di selang kesibukan-nya sebagai mahasiswa dan peneliti. penulis sendiri gencar-gencarnya mengenalkan wajah Islam yang sebenarnya dan membuka pemahaman dunia luar tentang Islam sebagai agama kekerasan. Sebagaimana yang dilakukan oleh penulis sendiri dengan mengundang para koleganya yang ada di Amerika untuk makan malam di kediaman penulis, dengan menyuguhkan makanan khas Indonesia. 

Sehingga mereka mulai mengenal ciri khas Indonesia, sampai pada level ciri khas keislaman di Indonesia yang selama ini mereka mengenal Islam selalu menggunakan standar timur tengah yang kerap tampil dengan wajah garang dan kurang ramah, ternyata tidak sebagaimana anggapan mereka keliru setelah makan malam itu.

Selain itu penulis juga menggundang teman sesama mahasiswanya untuk makan malam, tujuan tersebut penulis lakukan dengan menjadi media strategis untuk menjelaskan beberapa hal yang sering mereka salahpahami seperti contohnya Islam dituduh tidak bisa memahami tetangga, Islam tidak bisa berkawan dengan yang lain, Islam sangat ekslusif dan sebagainnya. Berkat keuletan penulis dalam mengenalkan Islam ramah. Teman-teman penulis sudah sering menyebut Islam Indonesia sebagai Islam moderat. (Lihat halaman 52-53)

“Menyuguhkan ungkapan ngejaman dan meyakinkan tentang konsep atau ide hanya dilakukan oleh yang lazim mengejewantahkannya dalam tataran gagasan, inspirasi, pengalaman dan wawasan. Professor Aburrahman Mas’ud sebagai penulis, pemikir, birokrat, santri, akademik dan sekaligus universalis-humanis merupakan figur yang sangat layak membukukan resep beserta obsesi untuk melanjutkan langkah menuju pertengahan abad ke 21. Tulisan yang digarap berbasis studi agama, sosiologi, kesejarahan, dan kebijakan publik ini sangat diperlukan untuk dinikmati, disimak, dan dikaji lanjut oleh para peminat budaya keagamaan, santri, pengambil kebijakan publik dan bahkan pencita kuliner. Kedalaman memahami dan sekaligus mengagumi warisan tradisi, kecerdikan dan kesejukan moralitas santri dan sekaligus memformulasikan konsep kekinian global telah memantapkan akar teori dan konsep “memijak burni menggapai matahari.” Karya yang matang ini memang tidak bikin geger namun bikin mikir lebih dalam dan jauh ke depan. Dari sate sampai dengan dialog Barat dan Muslim sekali lagi mengungkap nalar jernih kita untuk membuatnya mewarnai kehidupan nyata. Itulah oleh-oleh mahal buku ini. Karenanya ia dapat menggugah inovasi menganyam kebijakan untuk menghunjamkan akar pemahaman dan pengamalan keagamaan yang humanis sekaligus berwawasan bumi lipat budaya.”

Buku “Mendakwahkan Smilling Islam” ini sangat dianjurkan untuk dibaca dan direnungkan berbagai kalangan, terutama mereka yang berusaha mencari referensi yang luas terkait keberislman dan bagaimana agama Islam yang sesungguhnya, yakni wajah yang humanis dan mementingkan aspek-aspek kehidupan yang damai.

Penulis sebagai santri yang juga menghadapi babak sejarah hidupnya dengan berbagai faktor sosio-historis yang sangat beragam,namun tetapi tidak mengurangi komitmen penulis pada agama yang dianutnya, serta mampu menjadikan penulis memahami dan menyandingkan wacana tradisionalitas dan modernitas. Komitmen terhadap keberlangsungan tradisi pesantren merupakan konsekuwensi logis yang dihadapi penulis untuk melanjutkan tradisi yang ditinggalkan oleh para leluhur. Walaupun penulis menyerap pemikiran-pemikiran baru secara rasional dan proposional namun penulis tetap berupaya obyektif dan open minded. Usaha-usaha penulis dalam mencoba bertaqlid secara proposional pada doktrin ajaran pesantren dan NU.

Oleh sebab itu dalam merespon Muhammadiyah, penulis tetap berusaha mengedepankan sikap moderat walaupun antara warga NU dan Muhammadiyah terdapat perbedaan prinsip dan pemahaman dalam menginterpretasikan Qur'an dan hadis.  Selain memaparkan tentang wajah Islam, penulis juga memaparkan bagaimana seharusnya Memperluas dialog cross cultural. Bahwa disetiap budaya tidak memahami budaya yang lain. (Lihat Halaman 62)

Dalam pidatonya penulis pada saat pengukuhan guru besar di IAIN Walisongo pada tahun 2004. Dalam pidato tersebut, penulis menyuarakan untuk mengadakan sebuah dialog sebagai pemersatu dan langkah toleransi antara umat beragama maupun budaya baik Islam maupun barat. Dengan langkah open mindet terhadap barat maupun Islam. Bahwa tidak memandang barat hanya sebatas fenomena Bush adalah suatu penyerderhanaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan kalau hanya melihat Islam hanya dengan kata jihad dengan mendistorsikan subtansinya adalah satu kepicikan. Prof Dur memaparkan berbagai kasus yang terjadi di luar (timur tengah) maupun di Indonesia. Prof Dur juga mengutip ciri-ciri peradaban hedonistic dari Al-Farabi. Filsuf besar abad sepuluh ini mengingatkan masyarakat dunia agar menjauhi peradaban yang tidak ideal dengan ciri-ciri:

1.      Indispensable, peradaban yang lebih mementingkan pertahanan hidup, pencarian nafkah sebagai tujuan utama.

2.      Vile, peradaban yang dipenuhi dengan iklim penumpukan kekayaan, keserakahan matrialisme yang berlebihan.

3.      Base, peradaban yang penuh hiburan dan petualangan sensasional, dengan ornament nafsu syahwat.

4.      Timocratic, bertujuan pada popularitas dan kehormatan.

5.      Tyrannical, Penindasan dan penguasaan terhadap kelompok lain menjadi tujuan utama yang terus dilanggengkan.

6.      Semu demokratis yang tidak memiliki tujuan bersama dan berbuat sekehendak mereka.

 

Sebuah hal yang sangat menarik, sebagai orang yang hidup 8 tahun di AS, akan tetapi masih memiliki kritisisme atas patologi peradaban Barat. Prof Dur dalam pidato tersebut dengan tegas menyatakan bahwa peradaban tak ideal menurut sudut pandang al-Farabi ini telah mewabah ke dunia modern. Dari hal ini sangat terlihat jelas bahwa Prof Dur masih menjaga independensinya sehingga tidak terbaratkan meski cukup lama belajar di Barat. (Lihat Bagian Pengantar Penyunting)

Pada bagian kedua penulis menyuguhkan kepada pembaca tentang Islamic Studies and Pesantren. Pada pembahasan kedua  ini merupakan kumpulan tulisan penulis pada saat menempuh pendidikan S2 dan S3 di UCLA AS. Paper-paper didalamnya memuat berbagai bidang pembahasan, seperti pendidikan Islam, sosiologi, sejarah Islam, filsafat dan perbandingan Islam.

Karya-karya tulis penulis tersebut memaparkan tentang keadaan Islam yang ramah yang didakwahkan oleh Rasulullah, yang pada setiap permasalahan lebih memilih jalan damai. Selain paparan tersebut penulis juga menyuguhkan keadaan kontemporer yang berkontribusi terhadap kebangkitan Islam. Penulis juga menulis tentang madrasah Nizamiya, yang merupakan madrasah pertama yang dibangun oleh umat Islam dan menjadi madrasah sebagai model institusi pendidikan tradisional pada abad pertengahan Islam.

Dalam buku ini menjelaskan: Kemunduran peradaban Islam yang terjadi sejak abad 12- M ditandai oleh dikotomisasi ilmu agama dan non-agama. Ini terjadi, misalnya sejak pendirian Madrasah Nizam Al-Mulk yang mengkhususkan diri pada Fiqh sebagai ratu pengetahuan. Di satu sisi hal ini bagus karena memaksimalkan pendidikan agama, namun di sisi lain telah meminggirkan ilmu-ilmu non-agama dari Islam. Dikarenakan dikotomisasi sejak ilmu agama vs umum, akal vs wahyu, wahyu vs alam, serta dikotomi aliran dalam Islam, seperti Sunni vs Syi’ah, dan lain sebagainya. Hal ini yang menyebabkan umat Islam mengerdilkan kebesaraannya sendiri yang sempat terbangun agung selama 4 abad sejak awal kelarihan Islam.

Terlepas dari pembahasan Islam abad pertengahan penulis juga menyuguhkan kepada pembaca tentang pesantren yang ada di Indonesia terkhususnya pesantren yang ada di pulau jawa serta paham sufis yang berkembang di Jawa.

Pembahasan ke tiga yaitu tentang dialog Islam dan barat. Pada awal pembahasan penulis memaparkan tentang mainstrim dunia Islam sunni, serta mengambarkan sunni yang tidak fundamentalis dan tidak teroris. Ditandai dengan salahsatunya lebih mengutamakan konsep jama'ah, mayoritas dan supremasi sunnah, hingga dijuluki sebagai ahlu sunnah wal jama'ah.

Penulis memberikan definisi terorisme dengan merujuk pada literatur sosiologi barat. Bahwa teroris adalah salahsatu bentuk aksi bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologi dan fisik yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan tuntutan terorisme terpenuhi. Senada juga yang dikutip oleh penulis dari pandangan intelektual muslim asal India bahwa terorisme merupakan fenomena politik dan sosial saja yang dibatasi oleh ruang dan waktu.

Salah pemahaman terhadap makna jihad yang berkembang di kalangan masyarakat garis keras khususnya yang ditujukan kepada "umat Islam" sehingga menimbulkan kekacauan dan menjadikan image Islam khususnya dimata dunia barat menjadi sah untuk dipandang sebagai agama jihad atau agama kekerasan. Namun pemahaman ajaran Islam yang dijalankan oleh kaum ekstrisme tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam dalam ajaran dasarnya menawarkan kedamaian dari peperangan sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin sekaligus teladan  umat Islam sejati nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang dikutip oleh penulis tentang pendapat Royster bahwa nabi Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya. (Lihat Halaman 208).

Jika diteliti lebih cermat bahwa belum sebanding dengan warna Islam itu sendiri yang penuh dengan kedamaian. Artinya bahwa wajah Islam secara umum lebih dominan menampakkan panorama kedamaian dari pada kekerasan. Bahkan bisa diteorikan: jika suatu negara berpenduduk mayoritas muslim maka non muslim dinegara tersebut pasti aman, terlindungi hak-haknya dan dijamin kedamaian kehidupan sosio-religius mereka. (Lihat halaman 227). Jadi bisa diantisipasi bahwa dialog positif dalam bentuk apapun pasti akan membawa hikmah dan berkah pada dunia tersebut, sebagaimana yang dipaparkan penulis pada awal pembahasan.

Dialog kemanusian solusi atas injustice sistem global. Pada pembahasan ini penulis memberikan kritik terhadap Bush sebagai pembeli utama ide huntingtondengan berhipotesa bahwa perang peradaban di masa mendatang tidak bisa dihindarkan, konflik itu adalah hubungan dunia barat ( mayoritas kristen) dengan selainnya. Penulis menganggap bahwa Huntingtong telah melakukan overgeneralisasi. Bahkan para ilmuan AS-pun seperti Donald Emmerson memberikan kritik, bahwa Huntington tidak mengakui heteroginitas peradaban barat. 

Pada akhirnya, ada ide-ide besar dari Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud. Ph.D tentang smiling Islam sangat menarik sekali untuk dikaji, yakni dialog antara Barat dan Islam, yang mana Islam mempunyai konsep dan nilai-nilai dasar yang bisa didialogkan sejak zaman Nabi sampai sekarang.