Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa

 



Gerakan mahasiswa pada mulanya di mulai jauh sebelum kemerdekaan. Gerakan Boedi Oetomo merupakan sebuah wadah gerakan yang ada pada waktu itu yang di bentuk pada tahun 1908 yang merupakan sebuah wadah dengan struktur organisasi modern pada masanya. Organisasi ini didirikan di Jakarta oleh sekelompok mahasiwa yang menjalani pendidikan di Sekolah Kedokteran STOVIA.

STOVIA (School tot Opleding van Indische Artsen)merupakan sebuah sekolah kedokteran untuk pemuda pribumi yang ada di era Hindia Belanda. STOVIA didirikan untuk mengurangi penyakit menular pada masa itu seperti tipes, kolera, dan lain sebagainya yang tersebar di beberapa kota, misalnya Banyumas dan Purwokerto pada tahun 1847.

Pada saat yang hampir bersamaan ada sebuah organisasi yang didirikan oleh Mohammad Hatta bersama mahasiswa yang sedang bersekolah di Belanda dengan nama Indische Vereeninging yang merupakan cikal bakal Perhimpunan Indonesia, Tahun 1925.

Organisasi-organisasi tersebut merupakan tanda bahwa akan muncul orang-orang terpelajar dan kaum mahasiswa indonesia sebagai  penggerak dan pembawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Dan masih banyak lagi organisasi-organisasi mahasiswa yang lahir setelah itu.

Setelah lahirnya organisasi tersebut, semakin banyak lagi organisasi-organisasi pemudan dan mahasiswa seperti Persatuan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang membawa ide tentang persatuan bangsa Indonesia dan menghasilkan Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1928.

 Tidak berhenti sampai di situ, gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia masih terus berlanjut hingga gerakan menuju kemerdekaan Negara Indonesia yang mana para pemuda Indonesia melakukan penculikan terhadap Presiden Indonesia yaitu, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai wakilnya yang diasingkan ke Rengasdengklok lalu mendesak untuk Proklamasi disana, hal ini terjadi pada 16 Agustus 1945.

Setelah kemerdekaan, gerakan-gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia semakin besar dan semakin berkembang, walaupun masih banyak yang berlatarbelakang partai politik. Seperti, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Concrentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dekat dengan Partai Masyumi.

Gerakan aksi unjuk rasa pada tahun 1966, tepat setelah polemik lama kejadian G30S PKI pada tahun 1965. Karena, pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno di anggap gagal. Protes pun mengalir dari kalangan mahasiswa pada masa itu yang tercatat dalam sejarah sebagai Tiga Tuntutan Rakyat atau yang di kenal sebagai Tritura.

Tiga Tuntutan Rakyat ini mewakili masalah dan pernyataan tegas atas sikap tegas pemerintahan kala itu, yaitu: 1. Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) 2. Rombak kabinet Dwikora 3. Turunkan harga.

Pertama, mengenai pembubaran PKI. Hal ini bermula karena lambannya pemerintahan dalam menangani insiden berdarah G30S PKI yang dituduhkan terhadap partai pimpinan D. N. Aidit, empat bulan setelah penculikan beberapa petinggi Tentara Angkatan Darat (TNI), Soekarno masih bingung dan bimbang dalam mengambil keputusan, padahal tingkat kegeraman masyarakat sudah meluas.

Oleh karena itu, para pemuda dan mahasiswa yang terutama berada di jakarta yang semulanya sudah memiliki organisasi kemahasiswaan yang bernama Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia menjadi terpecah menjadi 2 golongan.

Sebagian anggota dari PPMI yang berhaluan ideologi kiri yang terdiri dari: Concrentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Permindo), serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) meragukan terhadap PKI sebagai dalang terjadinya aksi berdarah G30S PKI pada tahun 1965 karena belum adanya bukti yang kuat.

Selanjutnya, sebagaian anggota yang lainnya yang berhaluan ideologi kanan yang terdiri dari: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), serta Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia (PMII) yang benar-benar menuntut tegas pemerintah agar segera membubarkan PKI karena sudah dianggap sebagai dalang dalam G30S PKI pada tahun 1965.

Kedua, tuntutan untuk membubarkan kabinet Dwikora karena Presiden Ir. Soekarno dianggap tidak becus dalam mengendalikan stabilitas sosisal-ekonomi yang mengalami penurunan sangat drastis. Dan karena didalam kabinet Dwikora banyak anggotanya yang merupakan anggota dari PKI. Padahal, sebagaian masyarakat mendesak untuk membersihkan anggota PKI dalam struktur pemerintahan.

Ketiga, adanya tuntutan turunkan harga disebabkan kesalahan fatal yang dilakukan oleh kebijakan ekonomi pemerintahan. Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan presiden no. 27 untuk mengatur kembali mata uang rupiah yang diumumkan pada tangga 13 desember 1965.

Lalu para mahasiwa dan para pemuda yang kian geram terhadap kebijakan pemerintah yang kian menyusahkan rakyat kemudian memutuskan untuk mengadakan aksi unjuk rasa (demonstrasi) dengan menyuarakan Tritura tersebut. Namun, aksi tersebut disambut dengan panser, bayonet, serta semburan gas air mata. Dan tuntutan mereka pun tidak didengar oleh pemerintah pada saat itu. Akhirnya, tuntutan Tritura itu pun sampai kepada presiden hingga isu demonstrasi yang bertujuan untuk melengserkan Presiden Soekarno dari jabatan kepresidenan pun bermunculan.

 Lalu, massa kembali menggelar aksi yang menuntut presiden pada tanggal 24 februari 1966, yang berakhir bentrok antara mahasiswa dengan Resimen Bhirawa (pasukan pengawal presiden). Hingga, tembakan dari resimen mengenai sampai menewaskan salah satu dari mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang bernama Arif Rahman Hakim. Karena  Soekarno yang geram atas perilaku mahasiswa membubarkan KAMI. Dan akhirnya keluarlah Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang menunjuk Soeharto untuk mengendalikan ketertiban dan keamanan negara pada saat itu

Namun, SUPERSEMAR dimanfaatkan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno hingga bisa menjabat sebagai presiden RI ke-2 hingga 32 tahun lamanya. Dan oleh rezim Orde Baru, Soekarno dijadikan sebagai tahanan rumah hingga beliau wafat pada tahun 1970.

Kemudian, ada beberapa mahasiswa dan pemuda yang ikut dalam perjuangan dalam mendirikan Orde Baru (ORBA). Gerakan orde baru ini terjadi pada tahun 1965-1966. Dan kemudian memasuki tahun 1970-an mulai bermunculan kritik tentang masa orde baru yang mana banyak bermunculan gerakan Golongan Putih (GOLPUT) dalam pada pemilu tahun 1972 karena salah satu partai politik melakukan kecurangan dalam acara tersebut. Pelopor dalam gerakan ini adalah Arif Budiman, dan beberapa rekannya. Kemudian, pada tahun yang sama 1972 ada penolakan terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah karena akan ada penggusuran besar-besaran. Selain itu, isu tentang kenaikan harga bahan pokok seperti beras dan lain-lain, hingga korupsi yang memicu terjadinya unjuk rasa di berbagai tempat di penjuru negeri. Serta, demonstrasi besar-besaran terjadi karena penolakan terhadap kedatangan perdana menteri jepang, hingga terjadi peritiwa MALARI (Malapetaka 15 Januari) pada tahun 1974.

Malari merupakan suatu kegiatan demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa dan pemuda yang bertujuan untuk memprotes akan kedatangan perdan menteri jepang yang berkunjkung ke jakarta pada 14-17 januari 1974. Selain berdemonstrasi, kegiatan itu juga sebagai bentuk penyambutan terhadap kehadiran Perdana Menteri jepang yang akan datang ke Indonesia.

Selanjutnya, seruan “Turunkan Soeharto!” mulai terdengar pada tahun 1977, gerakan ini tidak hanya berlaku di jakarta namun, sudah meluas di setiap kampus-kampus mulai Bandung hingga Surabaya, dan aksi ini selalu berhasil di gagalkan hingga sampai pada puncaknya pada tahun 1998.

Gerakan mahasiswa menuntut akan adanya reformasi dan dihapuskannya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dengan didudukinya gedung DPR/MPR ribuan mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar Soeharto melepaskan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Aksi pada tahun ini pun bisa dibilang aksi dengan kericuhan sangat besar. Kerusuhan ini bermula karena aspirasi mahasiswa yang semulanya melakukan aksi demonstrasi di kampus masing-masing merasa tidak didengar oleh pemerintah dan akhirnya pun memutuskan untuk menjalankan aksi di depan istana hingga Presiden Soeharto mengumumkan bahwa ia akan mundur atau turun dari jabatannya menjadi Presiden Republik Indonesia.

Tidak hanya aksi demonstrasi pada tahun 1998, namun terjadi juga kericuhan yang sangat besar di Indonesia. Yaitu penjarahan besar-besaran yang dilakukan terhadap toko-toko warga Indonesia yang memiliki keturunan Tionghoa, serta ada banyak wanita-wanita yang memiliki keturunan Tionghoa yang mendapat hal yang tidak senonoh yaitu diperkosa oleh masyarakat yang pada saat itu sangat emosi. Hingga banyak masyarakat Indonesia yang memiliki keturunan Tionghoa banyak yang meninggalkan Indonesia karena merasa tidak aman lagi berada di Indonesia.   

Aksi ini pun meluas hingga Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, terjadi aksi yang disertai bentrokan yang melibatkan antara mahasiswa dan aparat di Gejayan 8 Mei 1998, hingga satu mahasiswa dari Universitas Sanata Dharma (USD) meninggal dunia.

Gerakan mahasiswa bersama rakyat diwarnai berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan kota besar lainnya. Peristiwa Cimanggis, Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II serta Tragedi Lampung. Gerakan terus berlanjut hingga pemilu 1999. Puncaknya visi bersama “Turunkan Soeharto” terwujud pada 21 Mei 1998. Soharto menjabat Presiden selama 32 tahun. Ia diturunkan karena terjadi penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Di sinilah periode emas gerakan mahasiswa.

Sejarah gerakan mahasiswa tidak berhenti di situ, meski kini banyak organisasi mahasiswa justru menjadi wadah pengkaderan neo-kolonialisme, akan tetapi masih saja ada mahasiswa yang benar-benar berjuang untuk rakyat. Aksi #Reformasidikorupsi 2019 membuktikan bahwa mahasiswa bisa saja sewaktu-waktu bangkit dan melawan penguasa yang dzolim. Pada 2020 terjadi aksi besar-besar tolak Omnibus Law, meski aksi ini mendapat represifitas aparat di mana-mana, namun terus saja hadir gelombang aksi selanjutnya.

Sebuah gerakan tidak akan hadir dari slogan-slogan kosong tentang pergerakan atau teriakkan “Hidup Mahasiswa!!!” sambil terus mencuri uang-uang mahasiswa hingga uang rakyat Indonesia. Perilaku koruptif yang ada di internal organisasi mahasiswa kini sangat-sangat menghambat laju gerakan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang berkata berjuang untuk rakyat Indonesia, tapi nyatanya hanya berjuang untuk kepentingan organisasinya sendiri, sangat lucu memang.

Di akhir tulisan, mengutip sebuah kalimat di Buku Joni Melawan Arus “Mari mengubah tanpa menghafal diksi-diksi perubahan. Mari bergerak tanpa tersandera satu warna perjuangan!”

Tujuh Air Suci



Hari Ahad besok Arta dan teman-teman sekelasnya akan melaksanakan studi ilmiah. Mereka akan mengunjungi Air Terjun Tujuh Bidadari dan Mata Air Madu. Selain bertamasya, mereka juga akan belajar tentang alam.

Semalam sebelum pergi studi ilmiah, Arta menyiapkan beberapa keperluan yang akan dibawa. Ia membawa beberapa makanan ringan dan minuman untuk dinikmati saat perjalanan. Tak lupa Arta juga membawa sarung untuk salat ketika di tempat wisata. Sudah menjadi kebiasaan Arta jika pergi kesuatu tempat pasti selalu membawa sarung.

Seusai menyiapkan barang-barang, Arta beranjak pergi ketempat tidur.  Sebelum tidur tak lupa ia panjatkan doa. Malam yang dingin ini membuat ia cepat terlelap dalam mimpi. Malam pun mulai hening seakan memberi kenyamanan bagi para manusia untuk beristirahat.

🥰🖤🥰

"Nak bangun, ayo segera ambil air wudlu. Kita shalat subuh berjamaah," suara Bunda membangunkanku.

"Iya, Bun. Arta bangun nih." sambil mengucek mata, aku mencoba duduk. Bunda pergi meninggalkanku ketika aku sudah benar benar bangun. Aku lihat jam dinding ternyata sudah pukul setengah lima. Aku segera menuju ke kamar mandi.

            "Bundaaaa!" panggilku sedikit keras.

"Ada apa, Nak? Teriak-teriak, gak sopan," jawab bunda sedikit kesel.

"Maaf Bunda, habisnya air krannya mati. Aku gak bisa ambil wudlu nih," jawabku sambil cengengesan.

"Yaudah wudlu diluar aja sana!" saran bunda.

"Hah wudlu diluar? Emang wudlu dimana bunda?" tanyaku agak heran.

"Itu di pipa yang nampung air hujan. Mumpung di luar masih hujan, sana wudlu!" jawab Bunda agak sedikit tersenyum tertawa.

"Hah wudlu pakai air hujan, emang boleh, Bunda?" Aku bertanya, semakin heran.

"Dah sana wudlu dulu, kita shalat subuh dulu. Setelah selesai shalat nanti bunda jelasin. Nanti keburu habis waktu subuhnya." suruh Bunda.

"Iya, Bunda," jawabku mengalah. Aku berjalan keluar rumah. Ternyata di luar memang sedang hujan. Begitu aku membuka pintu hawa dingin pun menyerang. Segera aku berwudlu di air yang mengalir dari pipa. Setelah selesai wudlu aku dan bunda pun melaksanakan shalat subuh berjamaah.

Setelah shalat usai, wiridan juga sudah selesai. Aku menanyakan kepada Bunda tentang air hujan buat wudlu tadi. Apa air hujan boleh buat wudlu? Akupun mendekati bunda yang masih memakai mukenah.

"Bunda, tentang air hujan tadi, bagaimana penjelasannya bunda?" tanyaku pada bunda.

"Hahaha, kamu memang anak yang haus ilmu Arta," jawab bunda.

"Aaaahhhh, Bunda. Cepat jawab, aku dah gak sabar mau tau jawabannya." Aku merengek.

"Baik, Nak. Kamu tuh suka gak sabaran kalo masalah ilmu. Jadi, air hujan itu termasuk dalam tujuh air suci yang dapat mensucikan. Arta tau apa saja tujuh air suci mensucikan itu?" jawab bunda.

"Oohhh gitu tho bunda. Tapi aku gak tau apa saja tujuh air suci mensucikan," sahut Arta.

"Baiklah bunda akan jelaskan tentang tujuh air suci mensucikan. Dalam islam, air suci mensucikan adalah air suci yang bisa digunakan untuk mensucikan tubuh dari segala macam hadast dan najis. Air suci mensucikan ini ada tujuh macam yang terbagi dua bagian, air langit dan air bumi. Tujuh macam air tersebut ialah : air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber(mata air), air es, dan air embun. Jadi kita bisa menggunakan tujuh air itu untuk bersuci seperti wudlu dan mandi. Paham?" jelas bunda.

"Ohhh begitu tho bunda, Arta paham kok. Oh iya bunda, hari ini aku mau pergi ke mata air bunda. Aku mau bersiap siap dulu ya. Mau mandi dulu bunda," sambungku sekaligus beranjak berdiri.

"Iya sayang. Sana mandi dan bersiap siap." Bunda menjawab. Aku pun pergi meninggalkan bunda.

……………………

Pagi itu, aku dan teman sekolahku akhirnya pergi menuju tempat tujuan studI ilmiah. Kami berangkat menggunakan bus. Di dalam bus kami asik bercerita bersenda gurau membayangkan keindahan tempat tujuan kami.

Lama perjalanan adalah sekitar tiga jam dari sekolah. Akhirnya setelah tiga jam perjalanan kami sampai di Air Terjun Tujuh Bidadari. Di tempat ini, pemandangannya sangat indah. Ada tujuh air terjun yang mengalir. Oleh sebab itu, air terjun ini dinamakan tujuhbidadari.

            Setelah satu jam menikmati air terjun kami melanjutkan studi kami. Tujuan kami selanjutnya adalah Mata Air Madu. Satu setengah jam dari Air Terjun Tujuh Bidadari. Kali ini bus terlihat agak sepi.

Sesampainya di Mata Air Madu ternyata hari sudah siang. Waktu shalat dzuhur pun telah tiba. Kami melaksanakan shalat dzuhur di mushola dekat mata air tersebut. Saat setelah selesai shalat aku bertanya tanya dengan guruku.

 

            "Ustaz, apa di mushola ini airnya berasal dari mata air itu?" tanyaku pada guruku.

"Iya, Arta," jawab guruku.

"Berarti kita tadi berwudlu dengan air dari mata air ya ustaz? tanyaku lagi.

"Iya Arta, air yang kita gunakan untuk berwudlu tadi berasal dari mata air," jawab guru.

"Ustadz, apa benar mata air termasuk dalam tujuh air suci mensucikan? Tadi pagi bundaku baru saja menjelaskan tentang masalah tujuh air suci mensucikan," jelasku.

"Benar sekali apa yang ibumu jelaskan. Mata air adalah air yang termasuk dalam tujuh air suci mensucikan. Dalam kitab ghayah wa taqrib dijelaskan air suci mensucikan itu terbagi dalam tujuh air. Yaitu air hujan ( ma'us sama'i), air laut ( ma'ul bahri ), air sungai ( ma'un nahri), air sumur ( ma'ul bi'ri), air sumber/mata air ( ma'ul aini), air es ( ma'us salji), dan air embun ( ma'ul bardi ). Begitu arta, penjelasannya.

"Wahhh, terima kasih ustaz. Sekarang saya sudah semakin paham tentang tujuh air suci mensucikan ini. Saya pamit dulu ya ustaz" ucapku dan pamit meninggalkan guruku.

Akhirnya aku habiskan hari itu dengan menikmati kekuasaan Allah. Senang rasanya bertamasya sambil belajar. Apalagi dapat ilmu baru tentang tujuh air suci mensucikan. Sungguh menyenangkan hari ini.

 

End.

Sembuh?

 


Cahaya mentari pagi ini menyapa dengan eloknya dunia yang kian ramai dengan manusia. Orang-orang mengawali aktifitas paginya dengan penuh rasa semangat, seorang petani yang bergegas kala fajar, seorang santri yang mengumpulkan nyawa ketika bersimpuh mendengarkan pengajian, ada pula seorang siswi cantik yang bersiap untuk menuju gerbang ilmu.  Siswi ini juga seorang santri disalah satu Pondok Pesantren di tengah kota. Arunika Siswara lengkapnya, akrab dipanggil Runi. Pagi ini ia tampak bahagia layaknya putri yang telah bertemu dengan pangerannya.

Setelah siap menuju ke sekolah, dengan seragam putih abu-abunya, rapi dengan sabuk, dasi, jilbab putih dan sepatu hitam layaknya identitas anak sekolahan. Berjalan kaki merupakan kesehariannya untuk menuju ke sekolah. Runi berjalan dengan semangat sembari menyanyi lirih sepanjang jalan, sembari ertebar sapa dengan tetangga yang sedang beraktifitas di depan rumah

“Selamat pagi, Dek Runi, terlihat lebih semangat ya,” sapa tetangganya sambil meledek.

“Hehe iya, Ibu, selamat pagi.” Runi menjawab sapaan tersbut sembari tersenyum manis.

Lima belas menit perjalanan dari pondok pesantren ke sekolah, akhirnya Runi sampai. Runi masuk kelas masih dengan suasana yang sama, sampai-sampai temannya terheran melihatnya sangat bahagia.

Ya... rupanya si Arunika ini sedang jatuh cinta. Sangat langka memang, karena itu kali pertamanya merasakan itu.

Berawal dari hari itu, Aruika yang selalu bahagia dan ceria dihadapan teman-temannya. Efek yang bagus dari kisah cinta pertamanya itu. Setiap harinya Runi tak pernah absen untuk memikirkan kekasihnya. Namanya Candramawa, akrab dipanggil Candra.  Kabarnya kekasih Runi ini 3 tahun lebih tua darinya.

Sesekali saat liburan pondok, di layar gadget Runi terbaca sebuah pesan yang menggemaskan.

Andai rasa semudah terucap

Andai senyum semudah mengarah kepadamu

Andai tatapku kau tau kepadamu

Andai teroossssss

Tidur wooiiiiii

Begitu pesan yang Candra kirim, ya Candra memang orang dingin yang sulit untuk memberikan perhatian, bisa dikatakan gengsi. Namun, entah mengapa Runi menyukainnya.

Hari, bulan, bahkan tahun pertama mereka lalui. Pastinya kisah mereka tidak selalu lurus, sedikit goresan itu sudah menjadi hal umum yang terjadi di antara3 sepasang kekasih. Hingga pada suatu masa dimana Candra menghilang tiba-tiba, seketika otak Runi dipenuhi pertanyaan. Nomornya tidak bisa dihubungi, pesannya tidak dibalas. Sejak saat itu Runi bukanlah Runi yang ceria seperti biasanya, lebih sering diam, tapi dia selalu menutupi segala rasa khawatir itu dengan canda-tawa bersama kawannya.

Suatu saat, kawannya bertanya.

“Kamu kenapa, Run? Runi yang aku kenal itu periang.

“Gapapa kok, tenang aja hehe” jawab Runi singkat sambil mengulas senyum.

Hari-hari Runi seakan ada yang hilang. Kekasih nya pergi tidak meninggalkan kabar. Semua itu berlalu selama 1 bulan sampai masa liburan berakhir. Pada masa-masa itu Runi selalu mecari kesibukan agar tidak terus meikirkan kekasihnya itu. Waktunya ia isi untuk membaca, mengaji, belajar, dan menyibukkan diri lewat organisasi yang ada di sekolahnya. Masa yang tidak mudah untuk seorang gadis kecil yang baru mengenal soal rasa.

Setelah  bulan berlalu, tiba-tiba Candra kembali memberi pesan kepada Runi lewat facebook, begitu bahagianya Runi detik itu juga, langsung menanyakan lewat pesan

“Kemana saja kau 3 bulan lalu?”

Dengan santainya Candra hanya menjawab “Aku hanya ingin menguji kesetiaanmu”

Dari jawaban itu isi kepala Runi dipenuhi dengan tanya dan  rasa yang tidak meyakinkan. Hingga pada akhirnya Runi tertipu dengan bait puitis yang Candra kirim.

Terima kasih cinta

Telah hadir

Telah tingal

Dan tak berfikir untuk pergi

Jika kesempatan itu pergi

Jika kesempatan itu menakdir

Akan kutunggu kau

Di ujung harapan terakhir

Semudah itu Runi percaya dengan bait-bait yang dibuat Candra.

Setelah itu mereka berdua membuat kisah layaknya sepasang kekasih. Benar-benar terlihat bahagia. Bertahan kurang lebih 8 bulan, saat itru Runi duduk dibangku kelas 3 SMA, masa sulit untuk memikirkan masa depannya di dunia perkuliahan.

Sayangnya Runi tidak seberuntung teman-temannya yang mudah diterima di kampus yang mereka inginkan. Runi mendaftar di berbagai jurusan, dan beberapa kali mendapat penolakan oleh beberapa kampus. Di saat itulah dimana seharusnya Runi membutuhkan support baik dari keluarga, teman, atau bahkan kekasihnya, Candra. Namun, ekspetasi itu tak sampai pada realita. Saat Runi ditolak berbagai kampus, saat itu pula Runi ditinggalkan teman-temannya tanpa alasan, begitu pun Candra yang pergi kedua kalinya dengan alasan yang tidak masuk akal. Rasa sedih, kecewa, ingin marah bercampur menjadi satu di ruang dimensi rasa sebagai manusia. Merasa ingin putus asa, tapi Runi ingat bahwa ia adalah harapan terakhir kedua orag tuanya, ia harus bisa menjadi wanita yang berdaya dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri.

Perlahan kesedihannya itu mulai terbayar saat ia diterima di kampus yang jauh dari kotanya, cukup sedikit mengobati rasa khawatir dan kegelisahannya perihal masa depan.  Seperti biasa, hal yang diakukan mahasiswa baru angkatan Corona, masuk grup calon mahasiswa baru, dan mulai berkenalan lewat online. Perlahan goresan-goresan yang disebabkan oleh Candra mulai menghilang.

“Kadang, dibalik perginya seseorang adalah awal hadirnya seseorang baru yang lebih menghargai hadirnya kita” ungkap Runi dalam hati.

Perihal rasanya dengan Candra, barangkali masih sama, hanya saja ia kecewa karena kepercayaan yang diberikan kepada Candra dengan mudahnya dikhianati. Kini Runi lebih memilih mencintai dirinya sendiri, dan fokus pada mimpi-mimpinya. Ia membuka buku diarinya dan menuliskan beberapa kalimat di dalamnya.

Dan luka adalah penghias cerita

Sesosok teman yang jujur, buatku dewasa

Bahwa cinta bukan mereka yang pandai berkata

Tapi, mereka yang pandai menjaga rasa

Di tengah badai maupun gerimis

Sejak belia, hingga tubuh terkikis.

 

                                                                                                             Semesta, 11 Juli 2021

Kekuatan dan Penguatan

 


Tertanggal 6 Februari 2021

Meja kayu berwarna coklat ditambah kursi minimalis terparkir di sudut kanan kamar. Layar laptop terbelah dengan Google Chrome di sebelah kanan dan Microsoft Word diseberangnya. Hentakan keyboard turut mengikuti gerak jemari Fafa.

Drrrt drrrrt....

“Hhhhh break dulu deh, siapa nih yang ngechatt? Semoga bukan notif grup lah hmm” tangannya meraih ponsel kemudian melangkahkan kaki ke ruang tamu. Di suatu roomchatt grup WA ...

Putra : Muncak2 yoh ...

Fafa berfikir sejenak, kemudian tangannya membuka-buka kalender yang menempel di dinding. ‘Mei gassskeun Slamet xixixi abis lebaran tapi’ balas Fafa...

Tertanggal 18 Juni 2021

Fafa : Besok pada transit Semarang dulu yak, ngambil pinjeman alat baru ke Moga rumahnya Mbak Ana.’

Putra : ‘Malemnya belanja logistik, sewa perlengkapan, packing.’

Rends : ‘Besok paginya gasss BC!’  

            Tertanggal 21 Juni 2021

            Tas Carier 60 liter, sepatu tebal yang mengikat kaki, ditambah masker yang tersyaratkan dalam tiap kegiatan melengkapi 7 orang yang berniat menginjakkan kaki di salah satu tempat ikonik dengan ketinggian 3.428 mdpl. Mereka adalah Fafa, Putra, Rends, dan Ana yang biasa satu grup mendaki, ditambah Rama, Nurul, dan Nita yang sudah lebih dari dua kali bernafas di sini. Langit masih membiru dengan elok, hanya saja sinar sang mentari berhasil dijinakkan si kabut tipis. Pukul 9 lebih sedikit kaki mereka menjejak keluar basecamp Dipajaya menuju medan pendakian. Tidak ada tanda-tanda buruk dan semua berjalan santai sesuai rencana. Deru mesin motor membelah tanah subur bumi Pemalang dengan berbagai tanam-tanaman yang berjejer rapih. Para petani sawah dengan wajah tersenyum seakan menyambut kami di jalur pendakian. 

            Kedatangan orang baru dalam tim tentu menjadi keseruan tersendiri karena topik obrolan baru kian meluas, salah satunya Fafa dan Nita. Pada pertemuan perdana kali ini, Fafa baru mengetahui bahwa Nita pernah ikut salah satu perguruan bela diri yang ternyata sama dengannya. Namun sekarang mereka berdua sudah vakum dari perguruan, mereka pun menyelingi perjalanan dengan cerita seputar pengalaman saat masih aktif di perguruan itu. Nita yang berjalan lebih santai dari rekan lainnya membuat Fafa juga memelankan langkahnya. Mereka pun menjadi dua orang terakhir dari tim.

            “Mereka pada cepet juga ya jalannya, Ta” ucap Fafa setelah melongok ke depan dan ternyata sepi.

            “Iya, Fa. aku sih biasa santai gini, kadang juga ditinggal di belakang. Kamu kalo mau duluan gapap, Fa,sahut Nita dengan trekking pole di tangan kanannya.

            “Engg, Ta. Kalo di timku tuh ngga biasa ninggal orang sendirian di belakang. Pasti ada yang mbarengin.” Mereka pun lanjut berjalan sambil menikmati flashback saat di perguruan bela diri tadi.

            Ada sedikit ketidak nyamanan yang menimpa Fafa, bukan karena dia bersama Nita ataupun karena dia berada paling belakang. Melainkan kaki kirinya agak terasa berat digerakkan padahal baru di awal pendakian. Ia pun sering menggoyang-goyangkan punggungnya karena posisi tas carier yang dirasa kurang pas. Namun ia masih menganggap hal ini biasa, “hmm paling efek lupa ngga pemanasan tadi di BC,” batinnya. Setelah melewati sawah, medan pun mulai berganti ke hutan-hutan dengan trek tanah yang sudah lebih menerjal.  

            Setibanya Fafa dan Nita di pos 1, Nurul langsung melontarkan satire dengan santainya, “Baru pos 1 ada yang udah nyiapin masa depan nih kayanya hahaha”

            “Apasiihh.., netijen Mogaa..” balas Fafa. “Mbak An, obat-obatan dimana? Aku minta balsem, Mbak sambung Fafa, ia merasa perlu mengolesi otot kakinya agar lebih rileks untuk berjalan.

            Setelah semua dirasa siap, perjalanan kembali dilanjutkan ke pos 2. Nita sempat minum obat alergi dingin di tengah-tengah. Tak lama setelahnya kaki Fafa kembali terasa berat, yang awalnya terasa hanya di betis kali ini naik hingga ke otot paha. Bahkan semakin lama kaki kanannya menunjukkan reaksi yang sama. Semakin jauh ia melangkah, justru kedua kaki Fafa terasa berat, tentu ia mulai memikirkan efek dari apa yang dirasa. Ia menyangka pos 2 sudah semakin dekat sehingga ia mengabaikan sinyal pada kakinya. Ia pun menjadi kesulitan mengontrol nafas di trek.

            Tiba-tiba.., “Ahhh! Ta berhenti bentar Ta! Aduhhh ssshhh....” Fafa tidak bisa lagi menahan rasa sakit di kakinya. Kaki kiri Fafa sepenuhnya kram! Bahkan jempol kakinya terus menekuk dan tidak bisa lurus dengan sendirinya.

            “Kenapa Fa?” tanya Nita kaget.

            “Aku... kram Ta! Sssshhhh......”, sambil menahan sakit ia gulingkan carier ke samping kemudian ia duduk meluruskan kedua kakinya. Setelah dipijat-pijat oleh Fafa sendiri, rasa sakitnya memudar. Lima menit kemudian Fafa kembali bangkit.

            Awan mendung tiba-tiba muncul menghiasi jalur pendakian, bahkan semakin pekat. Tentu ini bukan pertanda baik. Benar saja! Rintik air tak kuasa melawan gravitasi bumi, ia pun dibawa turun membasahi apa saja yang ada di bawahnya. Mungkin akan menjadi romantis jika situasinya sedang bersama pasangan di taman kota. Tapi ini beda! Air hujan yang membasahi trek pendakian tentu membuat tanah menjadi lebih sensitif. Semakin lama gerimis itu berubah deras. Demi keselamatan bersama, mereka berdua sepakat memakai jas hujan baru lanjut berjalan.

            Namun ketika Fafa memasukkan kakinya ke dalam celana jas hujan, petaka itu datang lagi! Otot kakinya mengeras bahkan hingga kedua kakinya! Ia coba meluruskan kakinya namun sakit itu semakin mencengkeram. Ia coba menekkukkan kakinya namun sia-sia saja, sama-sama sakit! Bahkan telapak kaki kirinya sedikit membengkok dan tidak bisa diluruskan! Dengan setengah mengaduh, ia memanggil Nita, “Ta Nita! Kakiku keram lagiii! Ahhhh sshhhhh....” aku pun terduduk di pinggir trek.

            “Fa, minggir dulu aja gimana? Di atas ada yang lebih landai dikit lagi kok.” Nita yang sudah melangkah yang ketiga kembali mendekat.

            “Ahhhh! Ga bisa Ta! Ini dah sakit banget,, dua duane kram! Ga bisa jalan aku...” jawab Fafa sambil meringis.

            Kok bisa gini sih? Dari dulu kalo naik ga pernah keram kok. Paling pas summit atau pas nyampe BC baru kerasa, itu pun pegel doang..” pikirannya berkecamuk. Di tengah-tengah jalur pendakian, dibawah guyuran hujan yang cukup deras, dan timnya sudah terlampau jauh di depan tidak bisa dijangkau hanya dengan panggilan suara dari keduanya. Kalaupun ia memilih menyerah dengan keadaan dan turun kembali ke basecamp, rasanya mustahil! Karena kakinya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Ia hanya berharap salah satu dari timnya ada yang menjemputnya kemudian membantu memulihkan kakinya.

            “Ada sesuatu yang kamu lakuin ngga dari awal jalan? Kok bisa sampe gini sih, Fa?” tanya Nita,

            “Aku ga ngelakuin yang aneh-aneh, Ta.” Jawab Fafa sambil terus meringis. Ia pun memijit dan memutar-mutar pergelangan kakinya. Ia coba berdiri, namun masih belum memungkinkan untuk berjalan. Apalagi ditambah menggendong carier.

...

Priiiit...Priiitt..Priiittt.. terdengar suara peluit dari atas.

            “Faaa Fafaaa? Posisiiii?” ternyata itu suara Putra.

            “Mas Putraaa! Kami di bawah siniiii...” jawab Nita.

            “Ada apa dengan kalian?” tanya Putra sambil bergegas turun.

            “Keram berat ini Put! Dua kaki!!” jawab Fafa dengan suara lantanng/

            Setelah Putra datang, ia memijit mijit kedua kaki Fafa. Ia pun keheranan mengapa kakinya bisa sekeras ini. Setelah semua mereda baik sakit maupun hujannya, Fafa kembali bangkit. Kini ia sudah bisa berjalan, tentu dengan langkah yang masih gontai. Putra pun membawakan carier yang tadi digendong Fafa, dan mereka sepakat lanjut naik ke pos 2.

            Setelah sampai di pos 2, Fafa dan Nita pun kembali berkumpul dengan timnya. Tak terasa sudah lebih dari 1 jam mereka menunggu Fafa dan Nita. Tak heran jika Putra memutuskan untuk turun menjemput, disusul Rama yang membantu membawakan carier Nita. Kedua kaki Fafa pun kembali diurut oleh Putra sambil dalam hatinya membaca do’a – do’a. Baik Fafa maupun Putra bertanya-tanya misterius tentang keadaan kaki Fafa yang menjadi sekeras kayu.

            Setelah beberapa waktu dan kramnya menghilang, tim melanjutkan perjalanan. Kali ini Fafa menggendong backpack, bertukar dengan Nurul yang membawa carier. Tentu rasanya agak berbeda karena kedua kaki Fafa tidak bisa diberi tekanan secara maksimal, sehingga tim berjalan tidak secepat di awal. Putra dan Rama berinisiatif berjalan lebih dahulu untuk kemudian mendirikan tenda di pos 7. Lima orang lainnya menyusul di belakang.

Namun kejutan tidak hanya sampai di situ. Baru sampai di pos bayangan, hujan kembali mengguyur jalur pendakian, bahkan lebih deras. Problem baru pun muncul, Nurul tidak membawa jas hujan. Tim pun tidak mau mengambil resiko, sehingga memilih berteduh di shelter terdekat sambil menunggu hujan mereda. waktu sudah menuju petang sedangkan tubuh semakin mendingin karena suhu dan cuaca, tentu ini akan memburuk jika tidak segera melanjutkan berjalan. Setelah 3 jam terjebak hujan, tim kembali berjalan naik ke pos 3. Medannya semakin terjal dan licin, bahkan beberapa kali Nurul terpeleset.

Pukul 17.30 petang tim baru sampai di pos 3. Sementara dua orang yang berangkat lebih dahulu memutuskan tetap lanjut ke pos 7 dan ngecamp disana. Melihat jalur pendakian yang licin, membuat kelima orang tersebut berhenti di pos 3. Problem baru pun muncul, di mana kedua tenda serta logistik utama dibawa oleh Putra dan Rama. Untuk perlindungan sementara mereka menggunakana flysheet yang dipinjamkan dari tim pendaki yang ternyata dari kampus tetangga. Baru pada jam 9 malam ada tim lain yang meminjamkan tenda pada tim Fafa. Rends dan Ana pun mendirikan tenda, kemudian mereka berlima tidur di dalam tenda. Beberapa bantuan seperti mie, beras, dan roti sandwich juga didapat dari tim lain yang kebetulan mendirikan tenda di pos 3 bersama tim Fafa.

Pukul 3 dini hari, sedikit ketegangan terjadi dalam tim Fafa.

“Gimana ini? Pada mau lanjut naik kagak?” tanya Rends.

“Aku kayaknya engga deh. Mending disini aja” jawab Nurul.

“Aku ngikut si Nurul sama Nita aja Ren,” jawab Ana.

“Apa kita mau turun aja pagi ini? Kita tunggu Putra sama Rama di basecamp.” Rends menimpali.

“Kalo kita turun ane kepikiran ama Putra Ren. Ane takutnya dia bakal turun nyariin kita ke pos-pos sebelumnya. Ente tau kan dia orangnya gimana. Itu sih yang ane khawatirin. Hmmm ada kemungkinan lain ga?” Fafa sedikit tidak setuju jika perjalanan harus diakhiri pagi nanti.

“Iya sih. Ini ane remed juga masa gagal lagi sampe atas ya. Sayang banget...” jawab Rends.

“Yaudah kalian terserah mau gimana, kalo mau lanjut naik ya gapapa. Bareng sama  tim sebelah tuh. Tapi kita yang cewe tetep jaga tenda aja. Tuh si Nita juga masih merem.” Ana menimpali.

“Hmmm okee. Ane pribadi lebih milih lanjut si Ren, ente gimana?” tanya Fafa.

“Oke ane juga lanjut. Yuk prepare dulu sama ngisi perut.” Ucap Rends sembari bangkit.

Tepat jam 4 dini hari, Fafa dan Rends melanjutkan trek menyusul Putra dan Rama. Sementara Nita, Nurul, dan Ana lebih memilih tidak melanjutkan. Kali ini mereka berdua ikut tim dari kampus tetangga. Bukan karena takut, namun ini kali pertama mereka berdua ke Gunung Slamet, tanpa pengetahuan jalur maka resikonya akan besar, terancam tersesat dan bahkan ‘hilang’.

“Fa kaki ente gimana? Masih bisa lanjut kagak?” tanya Rends memastikan.

“Hmm aman Ren. Insyaallah ane bisa kok.” Fafa berusaha tenang.

“Serius gapapa Fa?” tanya Ana memastikan.

“Iya mbak gapapa. Kalo disini terus ngga digerakkin malah kambuh lagi.” Fafa meyakinkan timnya.

Di perjalanan, beberapa kali Fafa meminta break (berhenti) untuk menjaga kestabilan kedua kakinya. Ia tak bisa lagi memaksakan dan naik dengan tempo berjalan yang cepat. Alih-alih menghemat waktu hingga pos 7, justru akan memperparah kesakitan pada kakinya. Ternyata kram sebegitu berbahaya jika berada di jalur pendakian.

Capek itu konsekuensi, sakit itu resiko. Namun bangkit adalah pilihan! Fafa terus menyulut kekuatan dalam dirinya. 

Setelah 3 jam berada di jalur, Fafa dan Rends melihat dua tenda dengan flysheet kuning di pos 7. Fafa merasa lega, kali ini dia mengembangkan senyum yang sedikit lebih lebar.

Fafa mengedarkan pandangan ke sekeliling tenda. Dipandanginya bentang alam sekitarnya, beberapa burung jalak datang menghampiri, seakan mereka ingin menyalaminya. Suasana kedamaian kembali ia rasakan. Suasana yang sudah sekian lama ia rindukan. Terakhir kali ia kembali ke alam adalah 6 bulan yang lalu, Desember 2020.

“Put? Gimana ente semalem? Aman-aman aja kan?” tanya Rends sambil mengecek kedua tenda.

“Hmm... Aku kedinginan semalem. Tidur pake baju basah. Jaketku di carier kalian kemarin lupa diambil.” Jawab Putra dengan wajah yang tidak secerah biasanya.

“Fa? Piye sikilmu wes mari?” tanya Putra sambil keluar tenda.

“Wes mending si, tapi ijeh kerasa sithik. Mengko tulung diurutke neh yo Put neng pos 9 nek arep summit.” Jawab Fafa sambil menggerak-gerakkan kakinya.

“Iku kaosku sing dhowo dienggo awakmu sek ae Put, ben gak kademen. Ren baju ane kasihin Putra aja dulu ya..”

Jam 7 kurang Fafa, Rends, dan Putra dengan Pendaki dari kampus tetangga bersama-sama menuju puncak Gunung Slamet, sedangkan Rama memilih berdiam di tenda. Berbekal tongkat kayu dari potongan batang pohon, Fafa melanjutkan langkahnya. Tim tiba di pos 9, pos terakhir sebelum menghadapi medan yang semakin terjal dengan medan bebatuan dan sedikit berpasir. Beberapa orang yang pernah mencoba medan ini berujar, “dua tiga kali melangkah naik, satu langkah mundur ke belakang”. Jika masih penasaran dengan medannya, silahkan berselancar di internet dimana banyak potret medan summit attack Gunung Slamet.

Rasa takut dan was-was selalu menghantui Fafa, bahkan sedikit banyaknya timbul rasa ragu untuk memilih mana langkah yang tepat. Pertama kali menjejakkan kaki di lereng Gunung Slamet, ditambah kondisi kaki yang tidak sepenuhnya fit, wajar saja jika ia sangat berhati-hati. Namun tiap kali ia melihat kebelakang, sia-sia saja jika ia memilih berhenti dan turun. Toh ia juga pasti lebih bingung turunnya daripada saat naik seperti ini. Keyakinan pada kuatnya cengkeraman sepatu gunung yang ia pakai, dan berkat keinginan dari dalam dirinya untuk menyusul Putra dan Rends di depan, ia tetap terus naik ke atas.

Hingga akhirnya...

“Puncakkk!!!” teriak Putra. Satu setengah jam adalah waktu yang mereka tempuh untuk bisa mencapai titik tertinggi di Jawa Tengah!

Ada perasaan haru yang bereaksi dengan senang, ada rasa bangga yang terlumuri rasa syukur. Ada rasa tidak percaya akan raga yang mampu bertahan hingga diatas sana. Ragu yang akhirnya sirna, takluk dengan kuatnya angan dan ingin yang menyesakki jiwa, serta sejuta tolong yang tentu berasal dari-Nya. Ingatan Fafa kembali pada momen dimana dirinya hanya bisa duduk meringis di jalur pos 2, dengan ketidakmampuan diri menguasai pijakannya. Ditambah ia hanya beristirahat beralaskan matras beratap flysheet di pos 3 melawan hawa dingin yang menembus jaket merahnya. Teringat pula bagaimana susahnya ia mengatur nafas di perjalanan menuju pos 7 sembari menjaga keseimbangan langkah. Hingga butir-butir pasir dan bebatuan yang bergerak menuruni lereng seakan menyuruhnya mundur.

Namun keyakinan tetaplah menjadi sumber kekuatan. Bagi segelintir orang mungkin hal ini terbilang nekat, atau... tidak tahu diri? Tapi bagi Fafa ini tentang bagaimana mengolah keegoisan diri, tidak terlalu banyak dan tidak pula terlalu takut. 

Pikiran mungkin banyak menerima protes kelelahan dari tubuh, mencerna sejauh mana tubuh ini akan bergerak utuh, dengan hasil yang selalu merujuk pada kata rapuh. ‘turun saja ke basecamp’.

Namun pikiran pun sejatinya terhubung dengan hati, pusat kendali dari jiwa dan interaksi bersama Ilahi. Dalam hati itu pula, bersemayam sesuatu bernama keyakinan. Seringkali ia tak seirama dengan pikiran, karena terkadang keyakinan mampu melihat apa yang belum sesuai secara logika. Bukankah kekuatan tidak hanya dilihat dari jasmani? Bukankah kekuatan rohani sejatinya mampu menguatkan kekuatan jasmani?

  Mungkin inilah yang terjadi pada Fafa. Tentu pikirannya memiliki opsi untuk berhenti, kembali turun dan tidur nyenyak di basecamp. Tapi hatinya menolak demikian, ada keyakinan akan kemampuan diri sanggup mencapai titik tertinggi. Ada kekuatan yang mungkin saja diantarkan malaikat-Nya dalam langkah kaki. Mungkin tidak hanya terjadi pada diri Fafa, melainkan pada semua orang dalam timnya. Kemudian dari sinilah jiwa mengirim sinyal kepada pikiran untuk bersyukur. Yah... sepertinya tidak ada diksi yang lebih pantas dipanjatkan selain syukur. Mensyukuri segala yang telah diberikan oleh-Nya.

            Menurut kacamata Fafa, mendaki bukan tentang unjuk kekuatan, bukan menjadi siapa yang terkuat, siapa yang tertinggi, bahkan siapa yang paling berotot, apalagi siapa yang terbanyak. Mendaki itu kemauan mengenal lebih dekat ciptaan-Nya, mengadaptasikan tubuh dengan berbagai kesulitan, serta membiasakan diri tidak bergantung layaknya hidup di kota. Mendaki bukanlah tentang menaklukkan alam, mengagresi puncak, atau bahkan menjadi penguasa yang sanggup menatap langit. Mendaki itu tentang menaklukkan egoisme diri, tentang menjaga kebersamaan. Ketika langkah kaki berhenti di puncak, kita akan menyadari betapa kecilnya makhluk bernama manusia dihadapan alam-Nya. Alam dengan sederhana telah menunjukkan keestetikaannya, tanah berundak dengan jejak sepatu yang membekas, akar pepohonan yang saling bertaut erat, dan hembus udara dalam kegelapan malam yang erat mendekap. Hati yang menghangat, pikiran yang mencair, sikap yang membumi, bersatu dengan suasana alam yang mendamaikan. Dari sini Fafa sadar bahwa ‘Alam mengajarkan banyak hal, tapi tidak untuk menyerah!’.

            Kejutan-kejutan masih tetap setia menghampiri di kepulangan Fafa dan timnya. Rends harus dijemput rangers basecamp (tim penolong) di bawah pos 1, ia menahan luka di kakinya bahkan semenjak turun dari puncak. Perjalanan kami ditutup dengan turunnya air Tuhan bak serbuan pasukan tentara. Beruntung tim masih tetap aman di basecamp Dipajaya.  

            Rasa haru berkecamuk mengisi relung hati Fafa dalam perjalanan yang kali ini dirasa cukup berbeda. Satu tarikan nafas panjang ia hembuskan..., kemudian lahirnya sepatah frasa dari benaknya,

            ~ Kekuatan lahir dari dalam dirimu. Penguatan datang dari sekelilingmu. ~