Kekuatan dan Penguatan

 


Tertanggal 6 Februari 2021

Meja kayu berwarna coklat ditambah kursi minimalis terparkir di sudut kanan kamar. Layar laptop terbelah dengan Google Chrome di sebelah kanan dan Microsoft Word diseberangnya. Hentakan keyboard turut mengikuti gerak jemari Fafa.

Drrrt drrrrt....

“Hhhhh break dulu deh, siapa nih yang ngechatt? Semoga bukan notif grup lah hmm” tangannya meraih ponsel kemudian melangkahkan kaki ke ruang tamu. Di suatu roomchatt grup WA ...

Putra : Muncak2 yoh ...

Fafa berfikir sejenak, kemudian tangannya membuka-buka kalender yang menempel di dinding. ‘Mei gassskeun Slamet xixixi abis lebaran tapi’ balas Fafa...

Tertanggal 18 Juni 2021

Fafa : Besok pada transit Semarang dulu yak, ngambil pinjeman alat baru ke Moga rumahnya Mbak Ana.’

Putra : ‘Malemnya belanja logistik, sewa perlengkapan, packing.’

Rends : ‘Besok paginya gasss BC!’  

            Tertanggal 21 Juni 2021

            Tas Carier 60 liter, sepatu tebal yang mengikat kaki, ditambah masker yang tersyaratkan dalam tiap kegiatan melengkapi 7 orang yang berniat menginjakkan kaki di salah satu tempat ikonik dengan ketinggian 3.428 mdpl. Mereka adalah Fafa, Putra, Rends, dan Ana yang biasa satu grup mendaki, ditambah Rama, Nurul, dan Nita yang sudah lebih dari dua kali bernafas di sini. Langit masih membiru dengan elok, hanya saja sinar sang mentari berhasil dijinakkan si kabut tipis. Pukul 9 lebih sedikit kaki mereka menjejak keluar basecamp Dipajaya menuju medan pendakian. Tidak ada tanda-tanda buruk dan semua berjalan santai sesuai rencana. Deru mesin motor membelah tanah subur bumi Pemalang dengan berbagai tanam-tanaman yang berjejer rapih. Para petani sawah dengan wajah tersenyum seakan menyambut kami di jalur pendakian. 

            Kedatangan orang baru dalam tim tentu menjadi keseruan tersendiri karena topik obrolan baru kian meluas, salah satunya Fafa dan Nita. Pada pertemuan perdana kali ini, Fafa baru mengetahui bahwa Nita pernah ikut salah satu perguruan bela diri yang ternyata sama dengannya. Namun sekarang mereka berdua sudah vakum dari perguruan, mereka pun menyelingi perjalanan dengan cerita seputar pengalaman saat masih aktif di perguruan itu. Nita yang berjalan lebih santai dari rekan lainnya membuat Fafa juga memelankan langkahnya. Mereka pun menjadi dua orang terakhir dari tim.

            “Mereka pada cepet juga ya jalannya, Ta” ucap Fafa setelah melongok ke depan dan ternyata sepi.

            “Iya, Fa. aku sih biasa santai gini, kadang juga ditinggal di belakang. Kamu kalo mau duluan gapap, Fa,sahut Nita dengan trekking pole di tangan kanannya.

            “Engg, Ta. Kalo di timku tuh ngga biasa ninggal orang sendirian di belakang. Pasti ada yang mbarengin.” Mereka pun lanjut berjalan sambil menikmati flashback saat di perguruan bela diri tadi.

            Ada sedikit ketidak nyamanan yang menimpa Fafa, bukan karena dia bersama Nita ataupun karena dia berada paling belakang. Melainkan kaki kirinya agak terasa berat digerakkan padahal baru di awal pendakian. Ia pun sering menggoyang-goyangkan punggungnya karena posisi tas carier yang dirasa kurang pas. Namun ia masih menganggap hal ini biasa, “hmm paling efek lupa ngga pemanasan tadi di BC,” batinnya. Setelah melewati sawah, medan pun mulai berganti ke hutan-hutan dengan trek tanah yang sudah lebih menerjal.  

            Setibanya Fafa dan Nita di pos 1, Nurul langsung melontarkan satire dengan santainya, “Baru pos 1 ada yang udah nyiapin masa depan nih kayanya hahaha”

            “Apasiihh.., netijen Mogaa..” balas Fafa. “Mbak An, obat-obatan dimana? Aku minta balsem, Mbak sambung Fafa, ia merasa perlu mengolesi otot kakinya agar lebih rileks untuk berjalan.

            Setelah semua dirasa siap, perjalanan kembali dilanjutkan ke pos 2. Nita sempat minum obat alergi dingin di tengah-tengah. Tak lama setelahnya kaki Fafa kembali terasa berat, yang awalnya terasa hanya di betis kali ini naik hingga ke otot paha. Bahkan semakin lama kaki kanannya menunjukkan reaksi yang sama. Semakin jauh ia melangkah, justru kedua kaki Fafa terasa berat, tentu ia mulai memikirkan efek dari apa yang dirasa. Ia menyangka pos 2 sudah semakin dekat sehingga ia mengabaikan sinyal pada kakinya. Ia pun menjadi kesulitan mengontrol nafas di trek.

            Tiba-tiba.., “Ahhh! Ta berhenti bentar Ta! Aduhhh ssshhh....” Fafa tidak bisa lagi menahan rasa sakit di kakinya. Kaki kiri Fafa sepenuhnya kram! Bahkan jempol kakinya terus menekuk dan tidak bisa lurus dengan sendirinya.

            “Kenapa Fa?” tanya Nita kaget.

            “Aku... kram Ta! Sssshhhh......”, sambil menahan sakit ia gulingkan carier ke samping kemudian ia duduk meluruskan kedua kakinya. Setelah dipijat-pijat oleh Fafa sendiri, rasa sakitnya memudar. Lima menit kemudian Fafa kembali bangkit.

            Awan mendung tiba-tiba muncul menghiasi jalur pendakian, bahkan semakin pekat. Tentu ini bukan pertanda baik. Benar saja! Rintik air tak kuasa melawan gravitasi bumi, ia pun dibawa turun membasahi apa saja yang ada di bawahnya. Mungkin akan menjadi romantis jika situasinya sedang bersama pasangan di taman kota. Tapi ini beda! Air hujan yang membasahi trek pendakian tentu membuat tanah menjadi lebih sensitif. Semakin lama gerimis itu berubah deras. Demi keselamatan bersama, mereka berdua sepakat memakai jas hujan baru lanjut berjalan.

            Namun ketika Fafa memasukkan kakinya ke dalam celana jas hujan, petaka itu datang lagi! Otot kakinya mengeras bahkan hingga kedua kakinya! Ia coba meluruskan kakinya namun sakit itu semakin mencengkeram. Ia coba menekkukkan kakinya namun sia-sia saja, sama-sama sakit! Bahkan telapak kaki kirinya sedikit membengkok dan tidak bisa diluruskan! Dengan setengah mengaduh, ia memanggil Nita, “Ta Nita! Kakiku keram lagiii! Ahhhh sshhhhh....” aku pun terduduk di pinggir trek.

            “Fa, minggir dulu aja gimana? Di atas ada yang lebih landai dikit lagi kok.” Nita yang sudah melangkah yang ketiga kembali mendekat.

            “Ahhhh! Ga bisa Ta! Ini dah sakit banget,, dua duane kram! Ga bisa jalan aku...” jawab Fafa sambil meringis.

            Kok bisa gini sih? Dari dulu kalo naik ga pernah keram kok. Paling pas summit atau pas nyampe BC baru kerasa, itu pun pegel doang..” pikirannya berkecamuk. Di tengah-tengah jalur pendakian, dibawah guyuran hujan yang cukup deras, dan timnya sudah terlampau jauh di depan tidak bisa dijangkau hanya dengan panggilan suara dari keduanya. Kalaupun ia memilih menyerah dengan keadaan dan turun kembali ke basecamp, rasanya mustahil! Karena kakinya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Ia hanya berharap salah satu dari timnya ada yang menjemputnya kemudian membantu memulihkan kakinya.

            “Ada sesuatu yang kamu lakuin ngga dari awal jalan? Kok bisa sampe gini sih, Fa?” tanya Nita,

            “Aku ga ngelakuin yang aneh-aneh, Ta.” Jawab Fafa sambil terus meringis. Ia pun memijit dan memutar-mutar pergelangan kakinya. Ia coba berdiri, namun masih belum memungkinkan untuk berjalan. Apalagi ditambah menggendong carier.

...

Priiiit...Priiitt..Priiittt.. terdengar suara peluit dari atas.

            “Faaa Fafaaa? Posisiiii?” ternyata itu suara Putra.

            “Mas Putraaa! Kami di bawah siniiii...” jawab Nita.

            “Ada apa dengan kalian?” tanya Putra sambil bergegas turun.

            “Keram berat ini Put! Dua kaki!!” jawab Fafa dengan suara lantanng/

            Setelah Putra datang, ia memijit mijit kedua kaki Fafa. Ia pun keheranan mengapa kakinya bisa sekeras ini. Setelah semua mereda baik sakit maupun hujannya, Fafa kembali bangkit. Kini ia sudah bisa berjalan, tentu dengan langkah yang masih gontai. Putra pun membawakan carier yang tadi digendong Fafa, dan mereka sepakat lanjut naik ke pos 2.

            Setelah sampai di pos 2, Fafa dan Nita pun kembali berkumpul dengan timnya. Tak terasa sudah lebih dari 1 jam mereka menunggu Fafa dan Nita. Tak heran jika Putra memutuskan untuk turun menjemput, disusul Rama yang membantu membawakan carier Nita. Kedua kaki Fafa pun kembali diurut oleh Putra sambil dalam hatinya membaca do’a – do’a. Baik Fafa maupun Putra bertanya-tanya misterius tentang keadaan kaki Fafa yang menjadi sekeras kayu.

            Setelah beberapa waktu dan kramnya menghilang, tim melanjutkan perjalanan. Kali ini Fafa menggendong backpack, bertukar dengan Nurul yang membawa carier. Tentu rasanya agak berbeda karena kedua kaki Fafa tidak bisa diberi tekanan secara maksimal, sehingga tim berjalan tidak secepat di awal. Putra dan Rama berinisiatif berjalan lebih dahulu untuk kemudian mendirikan tenda di pos 7. Lima orang lainnya menyusul di belakang.

Namun kejutan tidak hanya sampai di situ. Baru sampai di pos bayangan, hujan kembali mengguyur jalur pendakian, bahkan lebih deras. Problem baru pun muncul, Nurul tidak membawa jas hujan. Tim pun tidak mau mengambil resiko, sehingga memilih berteduh di shelter terdekat sambil menunggu hujan mereda. waktu sudah menuju petang sedangkan tubuh semakin mendingin karena suhu dan cuaca, tentu ini akan memburuk jika tidak segera melanjutkan berjalan. Setelah 3 jam terjebak hujan, tim kembali berjalan naik ke pos 3. Medannya semakin terjal dan licin, bahkan beberapa kali Nurul terpeleset.

Pukul 17.30 petang tim baru sampai di pos 3. Sementara dua orang yang berangkat lebih dahulu memutuskan tetap lanjut ke pos 7 dan ngecamp disana. Melihat jalur pendakian yang licin, membuat kelima orang tersebut berhenti di pos 3. Problem baru pun muncul, di mana kedua tenda serta logistik utama dibawa oleh Putra dan Rama. Untuk perlindungan sementara mereka menggunakana flysheet yang dipinjamkan dari tim pendaki yang ternyata dari kampus tetangga. Baru pada jam 9 malam ada tim lain yang meminjamkan tenda pada tim Fafa. Rends dan Ana pun mendirikan tenda, kemudian mereka berlima tidur di dalam tenda. Beberapa bantuan seperti mie, beras, dan roti sandwich juga didapat dari tim lain yang kebetulan mendirikan tenda di pos 3 bersama tim Fafa.

Pukul 3 dini hari, sedikit ketegangan terjadi dalam tim Fafa.

“Gimana ini? Pada mau lanjut naik kagak?” tanya Rends.

“Aku kayaknya engga deh. Mending disini aja” jawab Nurul.

“Aku ngikut si Nurul sama Nita aja Ren,” jawab Ana.

“Apa kita mau turun aja pagi ini? Kita tunggu Putra sama Rama di basecamp.” Rends menimpali.

“Kalo kita turun ane kepikiran ama Putra Ren. Ane takutnya dia bakal turun nyariin kita ke pos-pos sebelumnya. Ente tau kan dia orangnya gimana. Itu sih yang ane khawatirin. Hmmm ada kemungkinan lain ga?” Fafa sedikit tidak setuju jika perjalanan harus diakhiri pagi nanti.

“Iya sih. Ini ane remed juga masa gagal lagi sampe atas ya. Sayang banget...” jawab Rends.

“Yaudah kalian terserah mau gimana, kalo mau lanjut naik ya gapapa. Bareng sama  tim sebelah tuh. Tapi kita yang cewe tetep jaga tenda aja. Tuh si Nita juga masih merem.” Ana menimpali.

“Hmmm okee. Ane pribadi lebih milih lanjut si Ren, ente gimana?” tanya Fafa.

“Oke ane juga lanjut. Yuk prepare dulu sama ngisi perut.” Ucap Rends sembari bangkit.

Tepat jam 4 dini hari, Fafa dan Rends melanjutkan trek menyusul Putra dan Rama. Sementara Nita, Nurul, dan Ana lebih memilih tidak melanjutkan. Kali ini mereka berdua ikut tim dari kampus tetangga. Bukan karena takut, namun ini kali pertama mereka berdua ke Gunung Slamet, tanpa pengetahuan jalur maka resikonya akan besar, terancam tersesat dan bahkan ‘hilang’.

“Fa kaki ente gimana? Masih bisa lanjut kagak?” tanya Rends memastikan.

“Hmm aman Ren. Insyaallah ane bisa kok.” Fafa berusaha tenang.

“Serius gapapa Fa?” tanya Ana memastikan.

“Iya mbak gapapa. Kalo disini terus ngga digerakkin malah kambuh lagi.” Fafa meyakinkan timnya.

Di perjalanan, beberapa kali Fafa meminta break (berhenti) untuk menjaga kestabilan kedua kakinya. Ia tak bisa lagi memaksakan dan naik dengan tempo berjalan yang cepat. Alih-alih menghemat waktu hingga pos 7, justru akan memperparah kesakitan pada kakinya. Ternyata kram sebegitu berbahaya jika berada di jalur pendakian.

Capek itu konsekuensi, sakit itu resiko. Namun bangkit adalah pilihan! Fafa terus menyulut kekuatan dalam dirinya. 

Setelah 3 jam berada di jalur, Fafa dan Rends melihat dua tenda dengan flysheet kuning di pos 7. Fafa merasa lega, kali ini dia mengembangkan senyum yang sedikit lebih lebar.

Fafa mengedarkan pandangan ke sekeliling tenda. Dipandanginya bentang alam sekitarnya, beberapa burung jalak datang menghampiri, seakan mereka ingin menyalaminya. Suasana kedamaian kembali ia rasakan. Suasana yang sudah sekian lama ia rindukan. Terakhir kali ia kembali ke alam adalah 6 bulan yang lalu, Desember 2020.

“Put? Gimana ente semalem? Aman-aman aja kan?” tanya Rends sambil mengecek kedua tenda.

“Hmm... Aku kedinginan semalem. Tidur pake baju basah. Jaketku di carier kalian kemarin lupa diambil.” Jawab Putra dengan wajah yang tidak secerah biasanya.

“Fa? Piye sikilmu wes mari?” tanya Putra sambil keluar tenda.

“Wes mending si, tapi ijeh kerasa sithik. Mengko tulung diurutke neh yo Put neng pos 9 nek arep summit.” Jawab Fafa sambil menggerak-gerakkan kakinya.

“Iku kaosku sing dhowo dienggo awakmu sek ae Put, ben gak kademen. Ren baju ane kasihin Putra aja dulu ya..”

Jam 7 kurang Fafa, Rends, dan Putra dengan Pendaki dari kampus tetangga bersama-sama menuju puncak Gunung Slamet, sedangkan Rama memilih berdiam di tenda. Berbekal tongkat kayu dari potongan batang pohon, Fafa melanjutkan langkahnya. Tim tiba di pos 9, pos terakhir sebelum menghadapi medan yang semakin terjal dengan medan bebatuan dan sedikit berpasir. Beberapa orang yang pernah mencoba medan ini berujar, “dua tiga kali melangkah naik, satu langkah mundur ke belakang”. Jika masih penasaran dengan medannya, silahkan berselancar di internet dimana banyak potret medan summit attack Gunung Slamet.

Rasa takut dan was-was selalu menghantui Fafa, bahkan sedikit banyaknya timbul rasa ragu untuk memilih mana langkah yang tepat. Pertama kali menjejakkan kaki di lereng Gunung Slamet, ditambah kondisi kaki yang tidak sepenuhnya fit, wajar saja jika ia sangat berhati-hati. Namun tiap kali ia melihat kebelakang, sia-sia saja jika ia memilih berhenti dan turun. Toh ia juga pasti lebih bingung turunnya daripada saat naik seperti ini. Keyakinan pada kuatnya cengkeraman sepatu gunung yang ia pakai, dan berkat keinginan dari dalam dirinya untuk menyusul Putra dan Rends di depan, ia tetap terus naik ke atas.

Hingga akhirnya...

“Puncakkk!!!” teriak Putra. Satu setengah jam adalah waktu yang mereka tempuh untuk bisa mencapai titik tertinggi di Jawa Tengah!

Ada perasaan haru yang bereaksi dengan senang, ada rasa bangga yang terlumuri rasa syukur. Ada rasa tidak percaya akan raga yang mampu bertahan hingga diatas sana. Ragu yang akhirnya sirna, takluk dengan kuatnya angan dan ingin yang menyesakki jiwa, serta sejuta tolong yang tentu berasal dari-Nya. Ingatan Fafa kembali pada momen dimana dirinya hanya bisa duduk meringis di jalur pos 2, dengan ketidakmampuan diri menguasai pijakannya. Ditambah ia hanya beristirahat beralaskan matras beratap flysheet di pos 3 melawan hawa dingin yang menembus jaket merahnya. Teringat pula bagaimana susahnya ia mengatur nafas di perjalanan menuju pos 7 sembari menjaga keseimbangan langkah. Hingga butir-butir pasir dan bebatuan yang bergerak menuruni lereng seakan menyuruhnya mundur.

Namun keyakinan tetaplah menjadi sumber kekuatan. Bagi segelintir orang mungkin hal ini terbilang nekat, atau... tidak tahu diri? Tapi bagi Fafa ini tentang bagaimana mengolah keegoisan diri, tidak terlalu banyak dan tidak pula terlalu takut. 

Pikiran mungkin banyak menerima protes kelelahan dari tubuh, mencerna sejauh mana tubuh ini akan bergerak utuh, dengan hasil yang selalu merujuk pada kata rapuh. ‘turun saja ke basecamp’.

Namun pikiran pun sejatinya terhubung dengan hati, pusat kendali dari jiwa dan interaksi bersama Ilahi. Dalam hati itu pula, bersemayam sesuatu bernama keyakinan. Seringkali ia tak seirama dengan pikiran, karena terkadang keyakinan mampu melihat apa yang belum sesuai secara logika. Bukankah kekuatan tidak hanya dilihat dari jasmani? Bukankah kekuatan rohani sejatinya mampu menguatkan kekuatan jasmani?

  Mungkin inilah yang terjadi pada Fafa. Tentu pikirannya memiliki opsi untuk berhenti, kembali turun dan tidur nyenyak di basecamp. Tapi hatinya menolak demikian, ada keyakinan akan kemampuan diri sanggup mencapai titik tertinggi. Ada kekuatan yang mungkin saja diantarkan malaikat-Nya dalam langkah kaki. Mungkin tidak hanya terjadi pada diri Fafa, melainkan pada semua orang dalam timnya. Kemudian dari sinilah jiwa mengirim sinyal kepada pikiran untuk bersyukur. Yah... sepertinya tidak ada diksi yang lebih pantas dipanjatkan selain syukur. Mensyukuri segala yang telah diberikan oleh-Nya.

            Menurut kacamata Fafa, mendaki bukan tentang unjuk kekuatan, bukan menjadi siapa yang terkuat, siapa yang tertinggi, bahkan siapa yang paling berotot, apalagi siapa yang terbanyak. Mendaki itu kemauan mengenal lebih dekat ciptaan-Nya, mengadaptasikan tubuh dengan berbagai kesulitan, serta membiasakan diri tidak bergantung layaknya hidup di kota. Mendaki bukanlah tentang menaklukkan alam, mengagresi puncak, atau bahkan menjadi penguasa yang sanggup menatap langit. Mendaki itu tentang menaklukkan egoisme diri, tentang menjaga kebersamaan. Ketika langkah kaki berhenti di puncak, kita akan menyadari betapa kecilnya makhluk bernama manusia dihadapan alam-Nya. Alam dengan sederhana telah menunjukkan keestetikaannya, tanah berundak dengan jejak sepatu yang membekas, akar pepohonan yang saling bertaut erat, dan hembus udara dalam kegelapan malam yang erat mendekap. Hati yang menghangat, pikiran yang mencair, sikap yang membumi, bersatu dengan suasana alam yang mendamaikan. Dari sini Fafa sadar bahwa ‘Alam mengajarkan banyak hal, tapi tidak untuk menyerah!’.

            Kejutan-kejutan masih tetap setia menghampiri di kepulangan Fafa dan timnya. Rends harus dijemput rangers basecamp (tim penolong) di bawah pos 1, ia menahan luka di kakinya bahkan semenjak turun dari puncak. Perjalanan kami ditutup dengan turunnya air Tuhan bak serbuan pasukan tentara. Beruntung tim masih tetap aman di basecamp Dipajaya.  

            Rasa haru berkecamuk mengisi relung hati Fafa dalam perjalanan yang kali ini dirasa cukup berbeda. Satu tarikan nafas panjang ia hembuskan..., kemudian lahirnya sepatah frasa dari benaknya,

            ~ Kekuatan lahir dari dalam dirimu. Penguatan datang dari sekelilingmu. ~

 

 

Posting Komentar