Latihan Pernafasan Sebagai Alternatif Terapi PPOK

 





Pandemi covid 19 mengakibatkan pasien dengan PPOK banyak yang tidak berobat rutin ke rumah sakit. Latihan pernafasan dapat dijadikan alternatif terapi non farmakologi untuk mengurangi keluhan sesak nafas.PPOK..Sebuah istilah yang sering kali terdengar di lingkungan kita..

PPOK.. Penyakit yang sering kali terdengar di lingkungan kita..

Ya.. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan salah satu jenis penyakit pernafasan yang tidak menular. Organisasi nirlaba di bawah naungan WHO, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) pada tahun 2015 mendefinisikan sebagai penyakit paru yang disebabkan karena adanya hambatan pada jalan nafas sehingga mengakibatkan aliran udara terganggu. Data dari Kementrian Kesehatan tahun 2017 menyatakan bahwa PPOK merupakan penyebab kematian nomer empat setelah penyakit jantung, kanker, dan diabet (penyakit gula). Penyakit ini biasanya ditandai dengan adanya sesak nafas dengan adanya suara nafas khas yang biasanya disebut mengi atau bunyi “ngik..ngiik..”. Sesak nafas akan memberat seiring dengan adanya faktor pencetus seperti terpapar polusi udara, bertambahnya usia, dan kondisi cuaca juga sering berpengaruh terhadap kekambuhan.

Salah satu penyebab utama penyakit ini adalah riwayat merokok dan seringnya terpapar polusi udara seperti debu dan asap kendaraan bermotor. Meskipun PPOK tidak menular, namun angka kejadiannya cukup tinggi dan diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan penerapan pola hidup yang tidak sehat.

Pengobatan dilakukan secara rutin untuk untuk mengurangi keluhan sesak nafas dan mencegah kekambuhan yang lebih parah. Pengobatan yang sering digunakan adalah penggunaan obat jenis inhaler yaitu sejenis obat yang digunakan dengan dihirup atau disemprotkan pada mulut pasien untuk melonggarkan jalan nafas. Pengobatan jenis ini didapatkan dengan periksa rutin ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Dengan adanya pandemi covid 19 yang melanda Indonesia sejak awal tahun 2020, banyak pasien yang kemudian tidak melakukan periksa rutin ke rumah sakit. Ketakutan terhadap wabah covid 19 dan dilakukannya kebijakan pembatasan kunjungan ke rumah sakit menjadi alasan utuk tidak berkunjung. Lalu, bagaimana pasien PPOK menjaga dirinya agar tidak kambuh??

Penelitian yang dilakukan pada trimester pertama tahun 2022 dengan melakukan wawancara kepada pasien usia pra lansia, keluarga pasien, dan perawat di salah satu rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden mengatakan merasa khawatir untuk melakukan kunjungan kontrol rutin ke rumah sakit, sehingga dengan terpaksa selama pandemi tidak melakukan pengobatan rutin. Kekhawatiran tersebut merupakan menjadi wajar karena adanya peningkatan kasus covid 19, yang diikuti dengan tingginya kasus kematian karena covid 19.

Banyak pasien PPOK yang kemudian tidak berobat rutin, hal mengakibatkan resiko kekambuhan PPOK meningkat. Sehingga banyak pasien dalam penelitian berupaya untuk mengurangi terjadinya kekambuhan yang berat, meskipun tidak kontrol ke rumah sakit. Dalam wawancaranya mengatakan bahwa untuk mengurangi kekambuhan yang berat, mereka melakukan beberapa terapi non farmakologi yang mudah dan dapat dilakukan di rumah.

Mengurangi aktivitas berat adalah upaya non farmakologi untuk mengurangi sesak nafas dan kekambuhan PPOK. Respoden penelitian juga mengatakan melakukan latihan pernafasan, olah raga ringan, dan meningkatkan asupan gizi sebagai upaya untuk mengurangi kekambuhan. Latihan pernafasan ini disebut sebagai Pursed Lips Breathing. Penelitian yang dilakukan Tarigan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dengan melakukan PLB secara benar dapat meningkatkan otot pernafasan sehingga sesak nafas berkurang.






Penggunaan teknik PLB dan terapi non farmakologi lainnya dapat mengurangi keluhan sesak nafas, namun perlu diketahui bahwa terapi non farmakologi bukan terapi utama dalam program terapi PPOK. Perlu adanya konsultasi dengan petugas medis baik dokter maupun perawat untuk mengetahui kemampuan dan kesesuaian memilih terapi non farmakologi. Mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan terapi farmakologi merupakan prioritas utama dalam pengobatan PPOK. Namun setidaknya, terapi non farmakologi dapat dilakukan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi keparahan dan kekambuhan PPOK pada saat pandemi covid 19.




Referensi

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2015). Global Strategy for The Diagnosis, Management, And Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease



Kemenkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI


Efektivitas Audiovisual terhadap Kemampuan Caregiver dalam Merawat Pasien Skizofrenia

 



Pandemi Covid 19 menjadi masalah kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Dampak Pandemi Covid 19 mengharuskan pelayanan keperawatan untuk beradaptasi terhadap perubahan pelayanan kesehatan seperti pembatasan tatap muka dan jaga jarak maka pelayan keperawatan perlu mencari solusi agar pelayanan kepada pasien skizofrenia tetap optimal dan menjaga protokol kesehatan. Salah satu upaya dalam adaptasi pelayan keperawatan dilakukan melalui kesadaran perawat terhadap pemanfaatan teknologi informasi.

Skizofrenia merupakan gangguan neurobiologikal otak kronis yang dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara individu, keluarga dan komunitas (Stuart,2016). Dampak yang sering muncul adalah berulangnya periode sembuh dan kambuh sehingga membutuhkan perawatan yang berkelanjutan. Pada era Pandemi Covid 19 permasalah yang muncul adalah ketidakteraturan minum obat dan tidak rutin kontrol. Kondisi tersebut menjadi beban keluarga untuk merawat pasien skizofrenia dirumah. Diduga kondisi kurang pengetahuan keluarga, sikap yang tidak mendukung dan kurang keterampilan atau kemampuan keluarga dalam merawat pasien skizofrenia.

Care giver adalah seseorang yang merawat individu lain (pasien) dalam kehidupannya. Caregiver mempunyai tugas sebagai emotional support, merawat pasien (memandikan, memakaikan baju, menyiapkan makan, menyiapkan obat), mengatur keuangan, membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan dengan pelayanan kesehatan (Award et al,2008). Anggota keluarga yang berperan sebagai caregiver memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting agar dapat merawat pasien skizofrenia dengan optimal.

Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan caregiver dalam merawat penderita skizofrenia yaitu pemanfaatan tekhnologi informasi dengan media audiovisual tentang pendidikan kesehatan jiwa, pencegahan penyakit, mengenal gangguan jiwa secara dini, upaya pengobatan dan perawatannya.

Berdasarkan hasil 5 artikel yang telah dianalisis tentang efektifitas media audio visual terhadap kemampuan Caregiver dalam merawat pasien skizofrenia. menyebutkan bahwa media audiovisual efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan caregiver dalam merawat pasien skizofrenia. dibandingkan melalui tatap muka.

Efektifitas intervensi keperawatan melalui media audiovisual pada caregiver seperti e-health psikoedukasi bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan caregiver mengetahui kondisi penyakit klien, mampu menggunakan strategi pemecahan masalah, dan mengurangi kesalahpahaman terhadap tindakan keperawatan pada pasien skizofrenia.

Media audiovisual dengan model film naratif terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan caregiver dalam merawat pasien skizofrenia dirumah. Seperti penelitan dari Hernandez, et al (2016) sebanyak 40 responden yang memiliki pasien skizofrenia untuk meyaksikan film naratif tentang pengetahuan gejala utama, masalah halusinasi dan kekacauan bicara sebagai tanda dasar pasien skizofrenia, terbukti bahwa intervensi tersebut meningkatkan pengetahuan dan kemampuan komunikasi caregiver kepada pasien secara interpersonal.

Alasan mengapa media audioviual efektif karena tidak memerlukan seting tempat formal atau kunjungan ke rumah sakit, tidak ada perasaan canggung atau malu pada perawat, hemat transport, dan caregiver dapat menyaksikan contoh intervensi keperawatan jiwa secara berulang. Namun juga memiliki tantangan yang harus diantisipasi yaitu koneksi internet, ketersediaan gadget/smartphone atau kemampuan caregiver dalam mengaplikasi media audiovisual.


Dukungan Keluarga Mempercepat Pemulihan Pasien Stoke

 


Seperti kita ketahui bersama bahwa penyakit stroke merupakan penyakit yang menyerang pembuluh darah otak sehingga otak akan mengalami kekurangan oksigen, jika berlangsung lama maka akan menyebabkan sel otak menjadi rusak yang berakibat terjadinya kecacatan atau kelumpuhan pada pasien stroke. Data dari Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas Kemenkes tahun 2018 jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke dan jumlah tersebut sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami kelemahan atau kelumpuhan ringan sampai sedang. Stroke bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif, oleh karena itu meningkatnya jumlah penderita stroke usia muda akan berdampak buruk karena kecacatan akibat stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kemampuan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dalam proses penyembuhan pada pasien sroke dibutuhkan proses rehabilitasi supaya pasien stroke dapat mandiri.

Proses penyembuhan dan rehabilitasi pasien stroke dapat terjadi dalam waktu lama, oleh karena itu dalam perawatan lanjutan pasien stroke membutuhkan kesabaran dan ketekunan pasien dan keluarga. Dalam masa rehabilitasi seringkali pasien stroke kurang semangat untuk melakukan latihan dalam menjaga mobilitas seperti melakukan latihan rentang gerak, maka dari itu sangat diperlukan dukungan dari keluarga untuk memberikan pengertian kepada pasien dan melatih serta membantu pasien untuk selalu melakukan latihan.

Kepatuhan pasien stroke pada saat rehabilitasi memerlukan dukungan keluarga untuk mencapai hasil yang maksimal, pasien stroke juga tidak dapat sepenuhnya mandiri sehingga membutuhkan bantuan orang lain atau anggota keluarga. Keluarga merupakan bagian yang paling dekat dengan pasien dan memiliki peran sebagai pendukung bagi pasien stroke yang ssedang melaksanakan program kesehatan secara mandiri. Jika tidak ada dukungan dari keluarga, maka keberhasilan pemulihan semakin kecil.

Peran keluarga dalam merawat pasien stroke antara lain dengan cara mempertahankan keadaan kesehatan pasien stroke agar tetap memiliki priduktivitas tinggi.

Selain itu keluarga juga mempunyai peran kesehatan dalam merawat pasien stroke lanjutan antara lain megenal masalah kesehatan keluarga, memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, memodifikasi lingkungan keluarga unuk menjamin kesehatan serta memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitar keluarga. Dukungan keluarga merupakan sesuatu yang penting bagi pasien stroke sehingga pasien stroke tersebut mengetahui bahwa dirinya diperhatikan oleh keluarga.

Keluarga juga sangat berperan dalam masa pemulihan, sehingga sejak awal perawatan keluarga diharapkan terlibat dalam penanganan penderita. Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien stroke antara lain dilakukan melalui pendekatan keluarga dimana keluarga diharapkan dapat memberikan dukungan pada pasien stroke baik berbentuk dukungan fisik, informasi, maupun dukungan emosional.

Dukungan emosional ditunjukkan keluarga dengan selalu mendengarkan keluhan-keluhan yang diungkapkan pasien, menjaga perasaan agar tidak tersinggung, menghibur saat pasien sedih dan mengungkapkan rasa sayangnya dengan perkataan maupun perbuatan.

Dukungan keluarga juga merupakan suatu bentuk hubungan yang terdiri atas sikap, tindakan, dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga ada yang memperhatikan, dukungan keluarga yang baik pada pasien stroke menunjukkan bahwa keluarga senantiasa ikut berupaya dalam hal penyembuhan dan dan mempercepat pemulihan pasien dan meningkatkan kualitas hidup penderita stroke.



Referensi

Hariandja, J. R. O. (2013). Identifikasi kebutuhan akan sistem rehabilitasi berbasis teknologi terjangkau untuk penderita stroke di Indonesia.

KementerianKesehatan. (2018). Hasil utama Riskesdas 2018.

Rahman, Dewi, F. S. T., & Setyopranoto, I. (2017). Dukungan keluarga dan kualitas hidup penderita stroke pada fase pasca akut di Wonogiri

Parellangi, A. (2018). Home Care Nursing: Aplikasi Praktik Berbasis Evidence-Base. Penerbit Andi.


Waspadai Disfungsi Seksual pada Wanita dengan Diabetes Mellitus

 


Tahukah kamu, bahwa perempuan dapat mengalami disfungsi seksual….

Seksualitas pada wanita dengan diabetes belum banyak mendapat perhatian dari tim kesehatan. Hal tersebut karena pasien jarang mengeluhkannya. Hal ini terkait dengan faktor budaya, terutama hambatan akibat dari mengatakan yang dialami. Penelitian yang berkaitan dengan disfungsi seksual yang terjadi di perempuan sangat masih relatif rendah.

Jumlah disfungsi seksual pada perempuan di Asia mencapai 40,2%, adanya perubahan pada gangguan gairah sebanyak 32,7%, adanya gangguan pada orgasme sebanyak 27,5%, adanya perasaan nyeri 22,1 % serta hanya ada 7-13% pasien yang datang ke pelayanan Kesehatan untuk mencari pengobatan (Kementrian Kesehatan RI, 2020).

Apa sih yang di maksud dengan disfungsi seksual?

Disfungsi seksual bukan berarti ketidakpuasan seksual. Kepuasan seksual tampaknya dibentuk oleh kenikmatan seksual pribadi dan proses antara individu dan pasangannya, dan bukan hanya karena tidak adanya disfungsi atau konflik seksual. Hasrat yang rendah, kurangnya kepuasan seksual, pelumasan yang tidak mencukupi dan infeksi vagina telah diakui sebagai masalah seksual utama pada wanita dengan diabetes (Bijlsma-Rutte et al., 2017).

Penyebab disfungsi seksual pada wanita diabtes adalah…

Disfungsi seksual pada wanita Diabetes melitus disebabkan oleh berbagai mekanisme yaitu hiperglikemia, infeksi, gangguan pembuluh darah, saraf, dan neurovaskular. Hiperglikemia dapat mengurangi hidrasi selaput lendir di jaringan vagina, sehingga menghasilkan pelumasan vagina yang buruk dan dispareunia. Diabetes dapat menyebabkan pembuluh darah dan saraf mengalami disfungsi yang dapat mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional dalam alat genital wanita sehingga mengganggu respon seksual (Amelia, Khatimah, & Istiana, 2016).


Gejala disfungsi seksual pada wanita

Saat berhubungan seksual terjadi penurunan Hasrat atau minat dalam berhubngan intim, merasa kurang puas dalam berhubungan seksual, pelumas pada vagina berkurang, merasa nyeri saat berhubungan

Tips untuk mencegah disfungsi seksual pada wanita dengan diabetes:

- Konsumsi obat rutin

- Olahraga teratur

- Melakukan senam kegel

- Menjaga berat badan stabil/normal

- Komunikasi dengan pasangan terkait kondisi

- Berkomunikasi dengan tenaga medis/ Dokter


Berdasarkan hasil studi literatur review didapatkan bahwa disfungsi seksual pada pasien diabetes melitus tipe II pada perempuan dipengaruhi hasrat atau keinginan seksual yang rendah, kurangnya kepuasan seksual, pelumasan yang tidak mencukupi dan infeksi vagina telah diakui sebagai masalah seksual yang utama pada wanita dengan diabetes (Rutte et al., 2015). Tingkat kepuasan pada pasien diabetes rendah, orang dengan diabetes lebih sering emosi berhubungan dengan ketakutan dan cemas terkait kondisi yang dialami. Stres psikososial secara keseluruhan sepertinya memiliki dampak yang lebih besar pada wanita (Kautzky-Willer et al., 2016).

Berdasarkan studi dapat di simpulkan bahwa pasien diabetes melitus tipe II pada perempuan banyak mengalami disfungsi seksual. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ketidakpuasan seksual dan faktor psikologis yaitu depresi. Perempuan yang mengalami diabetes tipe 2 dengan disfungsi seksual merasa kurang puas dengan seksualitasnya, akan tetapi masih banyak masyarakat beranggapan bahwa disfungsi seksual merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan baik kepada pasangan atau kalangan medis, sehingga penelitian terkait disfungsi seksual masih sangat terbatas, dan pelayanan Kesehatan masih jarang mengkaji tentang seksualitas pada pasien, sehingga kurangnya penyediaan layanan konseling terkait pasien dm yang mengalami masalah disfungsi.



Daftar Pustaka

Ahmed, M. R., Shaaban, M. M., Sedik, W. F., & Mohamed, T. Y. (2018). Prevalence and differences between type 1 and type 2 diabetes mellitus regarding female sexual dysfunction: a cross-sectional Egyptian study. Journal of Psychosomatic Obstetrics and Gynecology, 39(3), 176-181. doi:10.1080/0167482X.2017.1318123

Amelia, H., Khatimah, H., & Istiana, I. (2016). Perbedaan Kejadian Disfungsi Seksual Pada Wanita Dengan Diabetes Melitus Dan Tanpa Diabetes Melitus. Berkala Kedokteran, 12(2), 133-141.

Bijlsma-Rutte, A., Braamse, A. M. J., van Oppen, P., Snoek, F. J., Enzlin, P., Leusink, P., . . . Elders, P. J. M. (2017). Screening for sexual dissatisfaction among people with type 2 diabetes in primary care. Journal of Diabetes and its Complications, 31(11), 1614-1619. doi:10.1016/j.jdiacomp.2017.07.020

Kalka, D. (2018). Depressive symptoms, sexual satisfaction and satisfaction with a relationship in individuals with type 2 diabetes and sexual dysfunctions. Psychiatria Polska, 52(6), 1087-1099. doi:10.12740/PP/OnlineFirst/85192

Kautzky-Willer, A., Harreiter, J., & Pacini, G. (2016). Sex and gender differences in risk, pathophysiology and complications of type 2 diabetes mellitus. Endocrine Reviews, 37(3), 278-316. doi:10.1210/er.2015-1137

Rutte, A., van Splunter, M. M., van der Heijden, A. A., Welschen, L. M., Elders, P. J., Dekker, J. M., . . . Nijpels, G. (2015). Prevalence and correlates of sexual dysfunction in men and women with type 2 diabetes. Journal of sex & marital therapy, 41(6), 680-690.



Partisipasi Pasien selama Fase Rehabilitasi menjadi Kunci Keberhasilan bagi Pasien Jantung

 


“Partisipasi Pasien Selama Fase Rehabilitasi Menjadi Kunci Keberhasilan Bagi Pasien Jantung”

Rehabilitasi pada penderita gangguan jantung merupakan program multifase yang dirancang untuk memulihkan gangguan jantung, dan mengurangi resiko terjadinya serangan jantung kembali, serta penurunan gejala PJK (AHA, 2015). Bermacam-macam studi penelitian telah menunjukkan efektivitas program rehabilitasi dalam mengurangi kematian, membantu pemulihan, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi efek samping.

Yang masih menjadi permasalahan, meskipun sudah banyak penelitian yang menunjukan manfaat dari rehabilitasi jantung akan tetapi angka partisipasi pasien untuk mengikuti program rehabilitasi jantung masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunamura et al (2017) menyimpulkan bahwa masih rendahnya pemanfaatan program rehabilitasi pada pasien jantung dan hanya 10% pasien yang patuh terhadap program rehabilitasi yang telah direkomendasikan. Kurangnya partisipasi pasien dapat berakibat buruk pada penyakit, kematian, dan meningkatkan biaya pengobatan. Tujuan penulisan ini adalah untuk untuk meningkatkan partisipasi pasien terhadap program rehabilitasi jantung.

Berdasarkan pencarian database melalui jurnal Ebsco, PubMed, dan Proquest. Hasil penelusuran literature dari tahun 2017 sampai 2022, didapatkan 6 artikel yang relevan terkait efek partisipasi pasien jantung terhadap program rehabilitasi. Rehabilitasi jantung merupakan strategi yang baik untuk mengurangi readmisi pasien kerumah sakit.

Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari program rehabilitasi jantung maka perlu dilakukan upaya yang komprehensif mencakup seluruh komponen program rehabilitasi kardiovaskuler dengan tujuan program yang jelas. Berdasarkan panduan PERKI

program rehabilitasi jantung terdiri dari empat fase yaitu : "fase I selama pasien di rumah sakit, fase II segera setelah pasien keluar rumah sakit, fase III segera setelah fase II masih dalam pengawasan tim rehabilitasi jantung, dan fase IV merupakan fase pemeliharaan jangka panjang".

Program rehabilitasi jantung mempunyai beberapa fase komponen inti. Komponen ini termasuk “ pemeriksaan awal pasien, konseling nutrisi, modifikasi faktor resiko, intervensi psikososial, konseling aktivitas fisik dan latihan ringan ”. Dapat disimpulkan bahwa Pada pasien gagal jantung rehabilitasi merupakan suatu prosedur yang aman dan bermanfaat. Rehabilitasi ini terbukti dapat meningkatkan kapasitas fungsional pasien gagal jantung. Rehabilitasi ini hendaknya menjadi bagian integral pasien gagal jantung setelah pulang dari rumah sakit sehingga hasilnya lebih baik dan dapat diwujudkan menjadi aktifitas kesukaan pasien sehingga menurunkan angka ketidakpatuhan pasien mengikuti program ini.

Saran edukasi pemanfaatan rehabilitasi jantung meningkatkan kesadaran pasien akan pentingnya rehabilitasi jantung terhadap upaya penanggulangan penyakit jantung koroner.Ketika seorang pasien kembali kelayanan primer yang kesadarannya akan rehabilitasi jantung sudah terbina, maka program rehabilitasi jantung akan memasuki tahap optimal dan pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kualitas hidup penderita.



Penanganan Pasien COVID-19 di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

 


Pada awal tahun 2020, dunia sedang waspada dengan adanya corona virus yang menyebabkan suatu wabah yang menular ke bebagai negara. Virus corona ini muncul di akhir tahun 2019, sehingga disebut Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Penyebaran COVID-19 di berbagai negara sangatlah cepat, sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pada tanggal 11 Maret 2020 bahwa COVID-19 sebagai pandemi (Nyamnjoh, 2020). Penyakit ini menyebar ke masyarakat luas melalui perantara droplet pernapasan. Seseorang mengalami infeksi apabila memegang sekitaran wajah atau area pernafasan setelah tangannya terkontaminasi dengan benda yang terdapat virus COVID-19 dan tidak melakukan cuci tangan dengan desinfektan. Setelah tiga hari pertama penularan, maka akan muncul gejala seperti demam, batuk, dan sesak napas. Meskipun program vaksinasi telah dilakukan, langkah pencegahan seperti mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak dengan orang lain, serta tidak bersosialisasi secara fisik (social/physical distancing) tetap harus dilakukan.

Seluruh rumah sakit di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta juga melakukan adaptasi untuk dapat memberikan pelayanan terbaik selama masa pandemi COVID-19. Saat memasuki pandemi COVID-19 di awal tahun 2020, relatif tidak terdapat perbedaan dalam pola pelayanan pasien di UGD rumah sakit jumlah pasien suspek COVID-19 harian masih dapat dikendalikan dengan kurang dari lima pasien suspek COVID-19 per hari. Saat memasuki bulan Agustus 2020 yang merupakan masa puncak COVID-19, terjadi banyak perubahan, terutama dalam hal triase dan pemisahan antara pasien suspek COVID-19 dan non COVID-19. Pada periode itu seluruh ruang UGD dipenuhi oleh pasien suspek COVID-19 yang menunggu ketersediaan ruang perawatan khusus COVID-19, sehingga pelayanan UGD bagi pasien non COVID-19 harus ditutup. Hal ini menyebabkan berbagai perubahan proses pelayanan di seluruh rumah sakit tersebut dan masih berlangsung hingga saat ini.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa COVID-19 merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan rumah sakit, khususnya UGD, untuk melakukan penyesuaian prosedur pelayanan agar dapat memberikan pelayanan terbaik dan tetap menjaga keselataman tenaga medis yang bertugas. Sesuai dengan kondisi tersebut terdapat suatu penelitian tentang gambaran penanganan pasien COVID-19 di UGD rumah sakit di seluruh wilayah Yogyakarta pada bulan April – Juni 2022 dikaitkan dengan standar Kemenkes, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan American Heart Association (AHA) dengan metode diskriptif observasional dengan desain cross sectional, didapatkan gambaran hasil yang meliputi :

1. Proses Skrining dan Triase

Gambar Ilustrasi Proses Skrining dan Triase

Terkait proses skrining dan triase, berdasarkan dari pihak rumah sakit didapatkan bahwa mayoritas rumah sakit di DIY telah secara rutin melakukan prosedur skrining dan triase secara bersamaan terhadap pasien yang akan masuk. Mayoritas rumah sakit juga didapatkan telah secara rutin menerapkan aturan keharusan untuk skrining dan triase. Meskipun demikian, secara proporsi terlihat bahwa rumah sakit tipe D memiliki kedisipilinan yang paling rendah, diikuti dengan rumah sakit tipe C. Triase pada masa pandemi telah mengalami modifikasi untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19. Idealnya, proses triase dilakukan bahkan sebelum pasien mencapai rumah sakit (fase pre-triase). Proses ini dapat dilakukan misalnya melalui informasi riwayat kontak rinci dan riwayat pekerjaan pasien yang terintegrasi melalui aplikasi, misalnya Peduli Lindungi yang digagas oleh Kementerian Kesehatan RI. Informasi tersebut kemudian dapat dikombinasikan dengan keluhan utama, riwayat penyakit, gejala, dan tanda-tanda pasien. Berdasarkan hasil pre-triase tersebut, mereka yang dicurigai mengalami penyakit menular harus dipisahkan di area triase khusus untuk penyakit menular. Proses triase di rumah sakit menjadi sangat penting karena pada puncak pandemi COVID-19, sumber daya dan staf medis sangat terbatas, sehingga memilih pasien yang sangat membutuhkan perawatan harus diutamakan (Wang et al., 2020).

2. Proses Pelayanan Rutin
Gambar Ilustrasi Proses Pelayanan Rutin

Gambaran proses pelayanan rutin di UGD juga dapat diidentifikasi melalui dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pengelola rumah sakit dan sudut pandang petugas kesehatan. Terdapat penelitian yang mendapati bahwa seluruh rumah sakit telah membuat prosedur yang secara rutin dijalankan terkait ruang perawatan pasien suspek atau confirm COVID-19. Didapatkan bahwa seluruh rumah sakit, di tipe apapun, telah menyediakan ruangan isolasi khusus di area UGD untuk merawat pasien suspek atau confirm COVID-19. Namun demikian, hanya rumah sakit tipe A, B, dan D yang memiliki prosedur agar pemeriksaan penunjang dapat dilakukan di dalam ruang isolasi tersebut. Hal ini penting dilakukan agar pasien yang dicurigai infeksius tidak dibawa melewati ruangan lain, sehingga infeksi kepada individu lain dapat dicegah. Berdasarkan sudut pandang petugas kesehatan, didapatkan bahwa mayoritas petugas kesehatan UGD di tipe rumah sakit apapun telah secara disiplin menerapkan hand hygiene termasuk menerapkan 5 moment hand hygiene. Didapatkan juga mayoritas petugas kesehatan telah secara disiplin menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan prosedur rumah sakit dan secara rutin telah memberikan edukasi tentang etika batuk kepada pasien. Namun saat ini kesadaran semua orang akan kebersihan tangan meningkat, sehingga tingkat kedisiplinan terhadap kebersihan tangan umumnya juga meningkat. Selain itu, terdapat ketakutan pada petugas kesehatan bahwa mereka akan membawa virus kembali ke rumah mereka dan menularkan anggota keluarga yang lebih berisiko (Roshan et al., 2020).

3. Proses Resusitasi
Gambar Ilustrasi Proses Resusitasi

Gambaran proses resusitasi terdapat penelitian yang dapat mengidentifikasi dari prosedur yang diatur dan sarana-prasarana yang tersedia yaitu mendapati bahwa hanya rumah sakit tipe A dan B yang memiliki prosedur agar pasien-pasien yang dikhawatirkan akan mengalami henti jantung segera dipindahkan ke ruangan bertekanan negatif. Sementara rumah sakit tipe C dan D tidak memiliki prosedur tersebut, sehingga petugas jarang melakukannya. Keamanan petugas kesehatan merupakan aspek terpenting yang perlu diperhatikan saat akan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19. Setiap personel yang memasuki ruangan isolasi harus dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD), yang meliputi gaun pelindung, sarung tangan, pelindung wajah, penutup kepala, dan masker N95 atau respirator (Alhazzani et al., 2020). Semua pedoman yang diterbitkan hingga saat ini merekomendasikan penggunaan kompresi mekanis perangkat pada pasien COVID-19 karena potensinya untuk mengurangi jumlah personel yang diperlukan untuk RJP dan membatasi paparan terhadap virus (Lakkireddy et al., 2020). Jika perangkat kompresi mekanis tidak tersedia, personel tambahan mungkin diperlukan di ruangan untuk membantu kompresi dada manual (Matos & Chung, 2020).



Daftar Pustaka

Alhazzani, W., Møller, M. H., Arabi, Y. M., Loeb, M., Gong, M. N., Fan, E., … Rhodes, A. (2020). Surviving Sepsis Campaign: guidelines on the management of critically ill adults with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Intensive Care Medicine. https://doi.org/10.1007/s00134-020-06022-5

Matos, R. I., & Chung, K. K. (2020, Juni 18). DoD COVID-19 Practice Management Guide: Clinical Management of COVID-19. Defense Technical Information Center US. Diambil dari https://apps.dtic.mil/sti/citations/AD1097348

Nyamnjoh, F. B. (2020). Covid19: In Covid Stories from East Africa and Beyond. https://doi.org/10.2307/j.ctv1b74222.31

Roshan, R., Feroz, A. S., Rafique, Z., & Virani, N. (2020). Rigorous Hand Hygiene Practices Among Health Care Workers Reduce Hospital-Associated Infections During the COVID-19 Pandemic. Journal of Primary Care and Community Health, 11. https://doi.org/10.1177/2150132720943331

Wang, Q., Wang, X., & Lin, H. (2020). The role of triage in the prevention and control of COVID-19. Infection Control & Hospital Epidemiology, 41(7), 772–776. https://doi.org/10.1017/ICE.2020.185



 



Pemenuhan Hak-Hak Orang dengan Gangguan Jiwa; Ungkapan Hati Perawat

 


ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) adalah seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (Undang Undang No 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa., 2014). ODGJ berat akan berdampak bukan hanya pada pasien itu sendiri, namun juga pada keluarga, masyarakat bahkan pemerintah. Dampak yang ditimbulkan bisa dampak fisik, psikis, maupun sosial. Dampak pada diri sendiri antara lain bisa membahayakan diri, misalnya perilaku amuk dan melukai diri sendiri bahkan hingga mengakibatkan kematian, Dampak pada orang lain antara lain melukai orang lain hingga menyebabkan kematian pada orang lain dan merusak lingkungan, sehingga menyebabkan ketakutan dan keresahan pada masyarakat sekitar, Dampak yang terjadi bagi pemerintah adalah adanya beban yang lebih baik dari pasien maupun keluarga (Rinawati & Setyowati, 2020). Oleh karena itu gangguan jiwa ini masih menjadi perhatian yang sangat penting dari berbagai lintas sektor baik pemerintah maupun masyarakat, hal ini dikarenakan gangguan jiwa menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Hak asasi manusia merupakan hak yang diperoleh oleh semua orang termasuk orang dengan gangguan jiwa. Salah satu bentuk dari pemenuhan hak asasi manusia adalah mendapatkan pelayanan hak kesehatan. Sedangkan untuk perawatnya sendiri merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan termasuk yang bekerja di rumah sakit jiwa sangat dituntut untuk memiliki komitmen yang tinggi sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien, mengingat kondisi pasien yang memerlukan penanganan khusus.

Tujuan tulisan ini untuk melakukan telaah literatur tentang persepsi perawat terhadap pemenuhan hak-hak orang dengan gangguan jiwa. Dalam tinjauan literature review ini menggunakan 3 data base. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Koschorke et al pada tahun 2021 di dapatkan 4 faktor yang memenuhi yaitu Kesejahteraan dan kelelahan penyedia layanan, Faktor struktural dan praktik yang berkontribusi terhadap stigma dalam perawatan primer, Harapan untuk layanan kesehatan mental di fasilitas spesialis versus perawatan primer, Kompetensi klinis dan pengalaman serta kebutuhan pelatihan tidak mendukung. Faktor yang paling signifikan adalah kompetensi klinis dan pengalaman serta kebutuhan pelatihan yang tidak mendukung. Dari faktor ini melaporkan bahwa pelatihan terbatas, mereka menyatakan keinginan yang kuat untuk lebih banyak pelatihan, terutama pelatihan praktis, seperti tentang cara berkomunikasi dengan pengguna layanan atau tentang cara menghadapi situasi yang menantang. Mereka juga menginginkan lebih banyak pengawasan oleh layanan spesialis ketika memberikan perawatan bagi pengguna layanan. Secara keseluruhan, dari semua situs mengeluhkan kurangnya komunikasi dan kerjasama dengan layanan kesehatan mental khusus.

Berdasarkan tinjauan dari literatur review ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak pasien yang belum mendapatkan haknya selama di rawat di rumah sakit maka dari itu perlu adanya pelatihan kepada perawat jiwa serta edukasi terkait hak-hak orang dengan gangguan jiwa.



Daftar Pustaka

Undang Undang No 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. (2014).

Rinawati, F., & Setyowati, N. (2020). STIGMA DAN PERSEPSI TIM PELAKSANA KESEHATAN JIWA MASYARAKAT TENTANG MASALAH KESEHATAN JIWA DI MASYARAKAT. 3(4), 8.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Adityawarman. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) Dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Ditinjau Dari Kuhp Dan Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.



Mengapa Penderita Diabetes Perlu Disiplin dalam Mengelola Diri di Era Pandemi dan New Normal

 


Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada tanggal 31 Januari 2020 dan pertepatan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi (Kementerian Kesehatan, 2020).  

Pandemi Covid-19 berdampak pada self-management atau managemen diri  pasien Diabeter Melitus Type 2, seperti ruang gerak pasien selama Pandemi Covid-19 sangat terbatas. Mereka juga menyesuaikan dengan kondisi penyakitnya dan harus memikirkan takut tertularnya Covid-19. DM juga merupakan salah satu komorbid  yang paling banyak ditemukan pada pasien Covid-19. Oleh karena itu perlu diketahui lebih tentang pengaruh atau dampak Pandemi Covid-19 terhadap managemen diri pasien dengan penyakit DM Type 2. ( Hamid Farhane, et al. 2021)

Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan wawasan terhadap penderita diabetes dalam pengelolaan diri terhadap penyakitnya. Pentingnya seorang penderita diabetes mampu menjaga pola hidup sehat, dengan aktifitas cukup, pola makan teratur dengan menerapkan 3J(Jadwal,Jumlah, dan Jenis), kontrol rutin, konsumsi obat sesuai anjuran dokter, dan deit.


Gambar: Gendhismanis.id

Hasil kajian menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan glycemic pada pasien DM Type 2 menunjukkan nilai yang tidak terkontrol.   Pada Pasien DM Type 2, ada perubahan gaya hidup, seperti pola makan, aktivitas fisik, dan  managemen diri selam Pandemi Covid-19 dan lockdown.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lockdown memiliki pengaruh yang negatif terhadap status kesehatan pasien DM Type 2, terutama pada perempuan. Pandemi Covid-19 dan dampaknya yang meluas terhadap memberikan efek tidak langsung terhadap kerapuhan sistem kesehatan dan manajemen perawatan pada pasien DM Type 2. Ada banyak pasien yang menghindari pengobatan karena takut tertular Covid-19.  Dapat disimpulakan bahwa  Pandemi Covid-19 berpengaruh Signifikan negatif terhadap self-management atau  managemen diri  pasien DM Typ2. Saran dari penulis untuk meningkatkan  kemampuan dalam melakukan  managemen diri dalam pengelolaan diabetes, yang dibutuhkan oleh pasien DM seperti  pengelolaan diet, pengukuran kadar gula darah, pengobatan, akvitas fisik dan olah raga serta mengelola stres.


Jaga Gula Darah Anda Tetap Stabil dan Hidup Lebih Sehat pada Pasien Diabetes Mellitus







Diabetes mellitus ialah suatu sindrom akibat terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat kekurangan atau hilangnya sekresi insulin (Hall, 2016). Diabetes melitus apabila tidak tertangani secara benar maka dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi, komplikasi pada diabetes mellitus dapat dicegah dengan memperhatikan perawatan diri untuk menjaga agar kadar glukosa berada pada level normal (Papatheodorou et al., 2018).


Perawatan diri yang dapat dilakukan pada pasien diabetes mellitus salah satunya yaitu pengecekan kadar glukosa darah. Cara pengambilan sampel darah yang akan dilakukan yaitu dengan diperiksa kadar gula darahnya menggunakan alat glucometer (Anonim, 2016). Diabetes mellitus perlu melakukan self-care atau perawatan diri untuk mengontrol gula darah secara optimal serta mencegah terjadinya komplikasi (Dye et al., 2018). Tujuan tulisan ini adalah agar masyarakat mengetahui pentingnya perawatan diri untuk menjaga kadar gula darah tetap stabil dan hidup lebih sehat pada pasien diabetes mellitus.


Cara Menjaga Dan Melakukan Agar Glukosa Darah Tetap Stabil Atau Normal

> Pengaturan pola makan

Pengaturan pola makan didasarkan pada status gizi penderita DM. Manfaat dari pengaturan pola makan antara lain dapat menurunkan berat badan penderita DM, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar gula darah Pengaturan pola makan ini bertujuan mempertahankan kadar gula dalam batas normal (Glukosa puasa 90-130 mg/dL, Glukosa darah 2 jam setelah makan < 130 mmHg) (Corwin, 2018).


> Latihan jasmani (olahraga)

Olahraga menggerakkan ikatan insulin dan reseptor insulin di membran plasma sehingga dapat menurunkan kadar gula dalam darah. Latihan jasmani yang rutin dapat memelihara berat badan normal dengan indeks massa tubuh (BMI) ≤25. Manfaat latihan jasmani (olahraga) adalah menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL-Kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida (Damayanti, 2019).


> Monitoring kadar gula darah

Monitoring kadar gula darah secara mandiri atau yang dikenal juga self monitoring blood glucose (SMBG) sangat penting untuk dilakukan karena dapat berfungsi sebagai pendeteksi dini dan pencegah komplikasi pada DM. Monitoring ini dianjurkan untuk penderita DM yang tidak stabil dan berpotensi mengalami ketosis berat hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa gejala ringan (Smeltzer & Bare, 2016).


> Terapi farmakologi / minum obat DM

Terapi farmakologi diberikan jika target kadar gula darah yang diinginkan belum tercapai dengan perencanaan DM sebelumnya (Damayanti, 2019).


> Perawatan kaki

Perawatan kaki merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan penderita DM untuk merawat kaki yang bertujuan mengurangi risiko ulkus kaki. Perawatan kaki perlu diberikan edukasi secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease (PAD) (Damayanti, 2019). Edukasi perawatan kaki meliputi:

1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.

2. Periksa kaki setiap hari, dan melaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.

Hal ini sangat efektif apabila setelah melakukan perawatan kaki masyarakat bisa mengelola atau mengontrol kadar gula darah, menjaga pola hidup sehat dengan mengatur pola makan melakukan olahraga secara teratur.


“JIKA ANDA MENGALAMI KESULITAN, ANDA BISA MENGHUBUNGI MAGISTER KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA”

Website Mkep UMY

https://mkep.umy.ac.id/

Bagaimana Mengenali Nyeri pada Pasien di ICU?

 


Mayoritas individu, atau sekitar 52% - 78%, berkunjung ke rumah sakit karena keluhan nyeri (Iyer, 2011). Pengalaman nyeri ini seringkali diartikan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan adanya kerusakan jaringan tubuh (Sengkeh & Chayati, 2021). Dampak nyeri yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan metabolisme glukosa, perubahan sistem kekebalan tubuh, serta gangguan jantung dan pernafasan. Selain itu, nyeri juga dapat menambah lama waktu perawatan pasien di rumah sakit (Sedighie et al., 2020).

Metode penilaian nyeri yang dianggap paling akurat adalah ketika pasien yang mengalami nyeri menyampaikan keluhan nyerinya (Shan et al., 2018). Namun, terdapat beberapa kondisi yang menghambat pasien dalam berkomunikasi verbal, salah satunya penurunan tingkat kesadaran. Pemberi layanan kesehatan dapat mempertimbangkan pengamatan perilaku pasien, misal ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau vokalisasi sebagai cara untuk menilai nyeri pada pasien di ICU (Birkedal et al., 2021).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan cara menilai nyeri pada pasien tidak sadar, namun beberapa artikel memberikan rekomendasi yang berbeda mengenai metode penilaian nyeri tersebut. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai metode dalam menilai tanda-tanda nyeri pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.

Penulis melakukan penelusuran artikel melalui 6 sumber jurnal, yaitu PubMed, Scopus, Science Direct, SAGE, Taylor & Francis, dan ProQuest. Seluruh artikel yang diperoleh kemudian disaring hingga menghasilkan 7 artikel yang relevan. Berdasarkan proses telaah artikel, penulis memperoleh hasil bahwa metode yang dapat digunakan dalam menilai nyeri pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran yaitu melalui pengamatan terhadap indikator fisiologis nyeri (Lin et al., 2018) dan menggunakan alat ukur nyeri berdasar perilaku (Gelinas et al., 2013).

Metode penilaian nyeri berdasar perilaku lebih direkomendasikan penggunaannya pada pasien di ICU (Asadi-Noghabi et al., 2015). The American Society for Pain Management Nursing (ASPMN) memberikan rekomendasi serupa, terutama pemakaian alat ukur nyeri yang memiliki keakuratan dan kehandalan yang baik (Herr et al., 2019). Instrumen Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) merupakan alat ukur yang paling direkomendasikan beberapa artikel penelitian, disebabkan memiliki kelebihan: 1) Menunjukkan nilai validitas dan reliabilitas tinggi; 2) Mudah diaplikasikan terhadap pasien sukar berkomunikasi verbal, keadaan sedasi, penurunan tingkat kesadaran, atau terpasang intubasi (Georgiou et al., 2015); dan 3) Rata-rata waktu untuk menyelesaikan penilaian relatif singkat, yaitu sekitar 4 menit (Khanna & Pandey et al., 2018).

Indikator fisiologis nyeri, misalnya tekanan darah dan frekuensi denyut jantung, mengalami perubahan ketika pasien mendapat rangsangan nyeri. Namun, perubahan tanda-tanda tersebut tidak dapat digunakan sebagai petunjuk tunggal terkait nyeri. Pasien dengan penyakit kritis sering mengalami perubahan tanda-tanda vital akibat ketidakstabilan fungsi fisiologis (Herr et al., 2019), serta pengaruh berbagai jenis obat dan kondisi penyakit yang mendasari (Khanna & Chandralekha et al., 2018).

Hasil telaah artikel menunjukkan bahwa instrumen nyeri berbasis perilaku: CPOT memiliki keakuratan lebih baik daripada indikator fisiologis nyeri, terutama parameter hemodinamik. Instrumen CPOT menunjukkan hasil pengujian yang baik ketika digunakan dalam menilai nyeri pada pasien dengan penyakit kritis dan tidak mampu berkomunikasi verbal; sedangkan respon perilaku yang menjadi indikator paling relevan dalam menilai perubahan nyeri adalah ekspresi wajah. Penulis merekomendasikan penggunaan instrumen CPOT sebagai metode penilaian nyeri sebagai upaya meningkatkan performa perawat dalam akurasi penilaian nyeri dan kualitas tatalaksana nyeri pasien di ICU.

 



Sumber  :  Asriyanto, L. F. & Chayati, N. 2022. The Validity and Reliability of Pain Instruments in Patients with Decreased Level of Consciousness: A Literature Review. Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan, 7, 93-104


Diabetes Melitus Berefek Impotensi pada Pria







Tahukah Anda kalau disfungsi ereksi alias impotensi akibat diabetes itu ternyata benar adanya?

Impotensi atau Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan mempertahankan ereksi untuk berhubungan seksual. Kondisi ini sering kali terjadi pada pria pengidap diabetes melitus, Pria yang menderita diabetes mellitus dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol akan mengalami kerusakan sistem vaskuler dan syaraf. Kerusakan vaskuler akan mengurangi dan menghambat aliran darah sehingga terjadi disfungsi reflek endotel pada pembuluh darah, termasuk di dalamnya adalah kurangnya aliran darah ke penis yang mengakibatkan gangguan fungsi ereksi, sedangkan kerusakan syaraf dapat menyebabkan hilangnya sensasi karena neuropati otonomik yang berakibat pada ejakulasi dini (Jackson, 2004 dalam Muhalla, 2011).

Berdasarkan literature yang di review penulis dari Nisahan et al 2020 bahwa ditemukan dari total populasi pria sebanyak 365 orang yang mengidap Diabetes mellitus tipe 1 dan tipe II dan berusia antara 18 sampai 65 tahun dengan penyakit penyerta berupa kardiovaskuler dan berkomplikasi terjadinya Disfungsi Ereksi. Meski bisa dialami diabetes tipe 1 dan tipe 2, rata-rata impotensi terjadi pada pria dengan diabetes tipe 2. Namun, bukan berarti kondisi ini tidak bisa diperbaiki ataupun dicegah. Mari simak ulasan berikut ini untuk mengetahui seluk beluk soal Disfungsi ereksi pada diabetes.

Seks merupakan bagian penting dari kebutuhan dasar manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan seks dapat menimbulkan rasa bersalah dan penolakan sehingga menyebabkan permasalahan dalam keharmonisan hubungan pasangan (Diabetes UK, 2015).

Gejala Disfungsi Ereksi Akibat Diabetes

Tidak mampu melakukan penetrasi, Sensasi seksual menurun, merasa nyeri pada penis ketika berhubungan seksual. Jika merasa terganggu dengan disfungsi ereksi, Anda dapat meminta bantuan pada dokter yang menangani Anda.Dokter akan menentukan penyebab disfungsi ereksi dan menentukan pengobatan untuk mengatasi kondisi Anda.

Terganggu dengan disfungsi ereksi?, Anda dapat meminta bantuan pada dokter yang menangani Anda. Dokter akan menentukan penyebab disfungsi ereksi dan menentukan pengobatan untuk mengatasi kondisi Anda.


Tapi jangan khawatir… Impotensi Bisa diatasi dengan pengobatan dan therapy yang tepat…

Obat-obatan oral

Sildenafil (Viagra),tadalafil (Cialis, Adcirca),vardenafil (Levitra, Staxyn), dan avanafil (Stendra). Berdasarkan hasil telaah literature di pencarian journal Pubmed dan Proquest.


Disfungsi ereksi (DE) adalah salah satu komplikasi kronik yang sering terjadi pada pasien pria dengan diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dan ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada diabetes mellitus type 1 (DMT1).

Pengobatan Disfungsi Ereksi Akibat Diabetes


Kabar baiknya, memperbaiki kadar gula darah ternyata dapat membantu mencegah kerusakan saraf dan pembuluh darah yang menyebabkan disfungsi ereksi. Tapi, hati-hati dalam pemilihan obat yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter.. beberapa pengobatan yang dapat Anda pilih untuk mengatasi disfungsi ereksi akibat diabetes.

Senam Kegel Bisa Mengatasi Impotensi

Cara melakukannya yaitu perlu mengetahui otot panggul bawah untuk menhentikan atau memperlambat aliran urine. Untuk awal melakukan senam kegel ini biasanya dengan posisi berbaring.

Namun jika sudah tahu otot mana yang akan dilatih dan merasakan kontraksi, kalian bisa melakukan latihan ini dengan posisi apa pun.

Lakukan gerakan ini hingga beberapa kali dan tahan selama 3 detik saat kontraksi.

Therapy lain

Apabila pengobatan oral tidak mampu bekerja dengan baik maka dokter akan melakukan tindakan therapy lain seperti alat kecil yang dimasukkan ke ujung penis sebelum berhubungan seks, dan obat dalam bentuk injeksi yang disuntikkan ke pangkal atau samping penis.




Jangan lupa lakukan gaya hidup sehat, ya!



Andai Ada Anggaran Buat Dangdut

 

Oleh: Ade Novianto

ruang dan waktu selalu dicatat oleh sejarah

bukan karena kelelahan mengikuti trendnya

biar begitu orang-orang selalu antusias setiap updatenya

mang Otot setiap hari nemuin suara-suara itu di meja tamunya

           

            Setelah kena sabet dari ormas entah dari mana, warung Mang Otot tetep buka seperti biasa. Malem memang tak seramai seperti pagi, siang, dan sore, hanya ada kesempatan santai untuk menikmatinya mulai dari obrolan politik sampe obrolan mesin ledeng.

            Nyamuk kota memang tak seganas seperti nyamuk kebon yang melanda pemukiman dengan deretan pohon-pohon liar di sekelilingnya. Tinggal di kota seperti Jakarta memiliki nilai lebih untuk mengatasi itu semua. Dengan hanya jalan beberapa langkah maka banyak ditemukan warung-warung dalam kompetisi yang sehat di lingkungannya. Membeli penangkal nyamuk mulai dari yang oles, ber-asap, sampai yang dicolok ke listrik adalah suatu kemudahan yang tak dimiliki di beberapa desa.

            “kemane Mang?” tanya Bonte yang abis mandi di WC umum karena gerah seharian diguyur terik matahari jalan.

            “beli salep nyamuk, Te”

            Rutinitas nyamuk di warungnya pada malam hari memang selalu menjadi benalu bagi dirinya dan pelanggan di warungnya, apalagi duel maut jagoan dangdutnya bakal pentas malam ini di salah satu stasiun TV. Mang Otot yang tergabung dalam Asosiasi Warkop Seluruh Caekek (AWSC) memang dilarang menjual yang sifatnya di luar makanan dan minuman, hal ini disebabkan adanya upaya penyetaraan di lintas para pedagang. Sering bolak-balik juga Mang Otot dibekali lewat pelatihan seperti workshop yang diadakan per-smester dalam setahun, hasilnya adalah tumpukan inovasi di kepalanya dengan slogan mautnya “modal kecil” untuk menggaet pelanggan.

            Dengan modal kecil Mang Otot tahu apa yang harus dilakukan seperti memenuhi kebutuhan langganannya. Tv rongsokan yang dibeli Mang Otot 50 ribu dari tukang abu masih berfungsi dengan baik cuma butuh solderan sedikit pada speakernya meski bitnik-bintik jerawat di TV nya lebih banyak. Diletakkannya di atas etalase tempat menumpuknya mi instan untuk memanjakan pelanggannya terutama di malam hari. Tata letak yang ideal menurutnya dapat menarik suasana pelanggan. Tak sekadar melihat apa yang ditonton untuk pelanggannya, terkadang Mang Otot menonton pelanggannya sendiri -ketika melayani- seperti angsa yang menjulurkan lehernya ke arah penyanyi dangdut di televisi.

***

            “nah…ni dia!”

            Sambil mencet tombol + di volume televisi dengan tusuk gigi, Mang Otot ngedengerin obrolan buruh konveksi yang semakin nyaring sambil manggut-manggutin kepalanya.

            “ini lagu bocah yang kemaren di Istana Jokowi dinyanyiin kan?” serobot Nawi tukang buang benang

            “emang iye?” Mamat si tukang obras balik nanya

            “iye, beneran”

            “bukan lagunye, tapi emang iye Jokowi punye istane?”

            “ye...kaga lah. Istana kan kontrakan lime taonan”

            “bujug…dikate ape Presiden? Kontraktor?”

            “hahaha bener juge lu, kalok korupsi pelakunya dibilang koruptor, nah kalok orang yang ngontrak pasti dibilang kontraktor”

            “iye, ngontraktor-in jalannya negare, tiap-tiap Presiden kan bise laen-laen tuh ngejalaninnya, same kayak kontraktor bangunan, berapa sak semen dibutuhin buat bikin tembok”

            “nah ibarat kate ntu, mirip anggaran nye militer di sono noh, deket laut perbatesan ame Vietnam ame sapa lagi tuh nyang Menteri Susi nyuruh tembak kapal ikan nya”

            Sementara suara lengkingan penyanyi dandut yang keluar dari lubang-lubang kecil televisi itu terus mendendangkan nyanyian trend terkini. Gemuruh di dalam studio stasiun televisi ber-genre dangdut berbanding terbalik dengan pasien di warung Mang Otot sebagai penikmat musik tradisional yang selalu bermetamorfosis makna dan warnanya.

            “dangdut dulu ame sekarang beda ye?” Mang Otot nyambung omongan.

            “beda apenye, Mang?”

            “ya beda aje”

            “kalo beda emang nape, Mang?” tanya Nawi sambil narik kacang yang dibungkus plastik kecil di bawah kipas gantung.

            “cengkoknye itu”

            “cengkok? Mangkok kali? Hahahahahaha” Mamat sambil nepokin nyamuk di jidatnya

            “hah..payah luh, biase nonton dangdut di warung mulu si. Kali-kali liat langsung, gini-gini gua penikmat dangdut dari mulai Rita Sugiarto sampe Ayu ting-ting. Sekarang mah udeh pake segale mikser-mikseran buat bagusin suara, dulu mah boro-boro”

            “aaajigile…manipulasi suare tu, Mang. Dulu emang orisinil?”

            “jelas lahyauuwww” Bonte yang tadi ketemu Mang Otot ikut nimbrung sambil gibrik-gibrik rambutnya yang cepak

            “lu pada tau gak kalok dangdut kita karya orosinil Endonesa?” lanjut Bonte si kurir paket. “lu pade tau gak kalo kita pernah nginvasi negaranya Hitler?”

            Mang Otot, Nawi, dan Mamat ngelongok serius ke arah muka Bonte.

            “nah ntu Nasida Ria nginvasi Jerman kemaren”

            “nginvasi bukannye pakek senjata, Te? Hebat amat Endonesa nginvasi sampe Eropah?” tanya Mamat

            “lah itu mah konsepnya orang-orang barat, Mat. Kita nyang punye budaye dangdut yang dung-tak-dung-tak bise kiprah di tengah perang Putin ame sapa yang komedian ntu nyang jadi presiden Ukraina. Bukti kite bisa ke Jerman buat deklarasi perdamaian lewat lagu dangdut” Bonte ngejelasin sambil ngolesin obat nyamuk di lehernya

            “seharusnye pemerinteh ngubah konsep dangdut ke arah yang lebih berwarna ye, Te.” Saut Nawi sambil ngerogoh kantong celana kolornya

            “iye bener. Dari atas nye sebenernye harus peka same hiburan-hiburan kite ini. Berapa jumlah korban bacok gegara alkohol terus jadi rebutan biduan, kalok ade anggarannye buat dangdut jadi lebih ngetop di dunia kan bisa jadi alat diplomasi kite di internasyionel, bukan lantas berita-berita kriminal yang banyak pake nama dangdut. Dibikin aje Kementerian Dangdut terus dikelola bae-bae dah”

            “bukan cume dorong-dorong bok speker buat ngamen dong, ye,”

            “nah, ntu dah, dangdut terdegradasi di rumahnya sendiri, kaleh same musik tek-jing-tek-jing anak-anak muda blepotan moral” mpo Asnah dateng “krupuk gendar nya, Mang”

            “nih gua kasih tau ni ye, sebenernya gua gagal jadi biduan gegara laki gue sensitipan” mpo Asnah sambil bediri nyabet pesenannya

            “kok bisa?”

            Belum sempat dijawab Mpo Asnah ngeloyor pergi

            “maklum, kebahagiaannya udeh kebagi ame nyang laen” Mang Otot jawab sambil ngisi aer panas di termos “belon lame…”

            Bonte, Mamat, dan Nawi mendadak mulutnya mangap

            Malam ditemani rembulan. Kemudian tertutup awan. Lantas muncul lagi. Empat orang di dalam warung semakin menikmati malamnya.

            “begadang jangan begadang…….”

bersambung…

***

Penjaringan, 15 Oktober 2022

Ade Novianto

Alumnu Hubungan Internasional Universitas Satyta Negara Indonesia

0821243022