Bagaimana Mengenali Nyeri pada Pasien di ICU?

 


Mayoritas individu, atau sekitar 52% - 78%, berkunjung ke rumah sakit karena keluhan nyeri (Iyer, 2011). Pengalaman nyeri ini seringkali diartikan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan adanya kerusakan jaringan tubuh (Sengkeh & Chayati, 2021). Dampak nyeri yang berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan metabolisme glukosa, perubahan sistem kekebalan tubuh, serta gangguan jantung dan pernafasan. Selain itu, nyeri juga dapat menambah lama waktu perawatan pasien di rumah sakit (Sedighie et al., 2020).

Metode penilaian nyeri yang dianggap paling akurat adalah ketika pasien yang mengalami nyeri menyampaikan keluhan nyerinya (Shan et al., 2018). Namun, terdapat beberapa kondisi yang menghambat pasien dalam berkomunikasi verbal, salah satunya penurunan tingkat kesadaran. Pemberi layanan kesehatan dapat mempertimbangkan pengamatan perilaku pasien, misal ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau vokalisasi sebagai cara untuk menilai nyeri pada pasien di ICU (Birkedal et al., 2021).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan cara menilai nyeri pada pasien tidak sadar, namun beberapa artikel memberikan rekomendasi yang berbeda mengenai metode penilaian nyeri tersebut. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai metode dalam menilai tanda-tanda nyeri pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.

Penulis melakukan penelusuran artikel melalui 6 sumber jurnal, yaitu PubMed, Scopus, Science Direct, SAGE, Taylor & Francis, dan ProQuest. Seluruh artikel yang diperoleh kemudian disaring hingga menghasilkan 7 artikel yang relevan. Berdasarkan proses telaah artikel, penulis memperoleh hasil bahwa metode yang dapat digunakan dalam menilai nyeri pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran yaitu melalui pengamatan terhadap indikator fisiologis nyeri (Lin et al., 2018) dan menggunakan alat ukur nyeri berdasar perilaku (Gelinas et al., 2013).

Metode penilaian nyeri berdasar perilaku lebih direkomendasikan penggunaannya pada pasien di ICU (Asadi-Noghabi et al., 2015). The American Society for Pain Management Nursing (ASPMN) memberikan rekomendasi serupa, terutama pemakaian alat ukur nyeri yang memiliki keakuratan dan kehandalan yang baik (Herr et al., 2019). Instrumen Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) merupakan alat ukur yang paling direkomendasikan beberapa artikel penelitian, disebabkan memiliki kelebihan: 1) Menunjukkan nilai validitas dan reliabilitas tinggi; 2) Mudah diaplikasikan terhadap pasien sukar berkomunikasi verbal, keadaan sedasi, penurunan tingkat kesadaran, atau terpasang intubasi (Georgiou et al., 2015); dan 3) Rata-rata waktu untuk menyelesaikan penilaian relatif singkat, yaitu sekitar 4 menit (Khanna & Pandey et al., 2018).

Indikator fisiologis nyeri, misalnya tekanan darah dan frekuensi denyut jantung, mengalami perubahan ketika pasien mendapat rangsangan nyeri. Namun, perubahan tanda-tanda tersebut tidak dapat digunakan sebagai petunjuk tunggal terkait nyeri. Pasien dengan penyakit kritis sering mengalami perubahan tanda-tanda vital akibat ketidakstabilan fungsi fisiologis (Herr et al., 2019), serta pengaruh berbagai jenis obat dan kondisi penyakit yang mendasari (Khanna & Chandralekha et al., 2018).

Hasil telaah artikel menunjukkan bahwa instrumen nyeri berbasis perilaku: CPOT memiliki keakuratan lebih baik daripada indikator fisiologis nyeri, terutama parameter hemodinamik. Instrumen CPOT menunjukkan hasil pengujian yang baik ketika digunakan dalam menilai nyeri pada pasien dengan penyakit kritis dan tidak mampu berkomunikasi verbal; sedangkan respon perilaku yang menjadi indikator paling relevan dalam menilai perubahan nyeri adalah ekspresi wajah. Penulis merekomendasikan penggunaan instrumen CPOT sebagai metode penilaian nyeri sebagai upaya meningkatkan performa perawat dalam akurasi penilaian nyeri dan kualitas tatalaksana nyeri pasien di ICU.

 



Sumber  :  Asriyanto, L. F. & Chayati, N. 2022. The Validity and Reliability of Pain Instruments in Patients with Decreased Level of Consciousness: A Literature Review. Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan, 7, 93-104


Posting Komentar