Sebutan
atau istilah miskin dan kaya yang menjadi tolak ukur kemakmuran masyarakat di
Indonesia sejauh ini lekat dengan ketimpangan, seakan percuma saat pemerintah dalam
programnya berbicara tentang kesejahteraan, karena banyak fakta bicara bahwa
itu tidak sesuai dengan kenyataan. Model pembangunan dan gagasan sebaik apapun
perihal kesejahteraan rakyat dalam sistem perekonomian tidak akan terjadi jika
kesenjangan antara yang miskin dan kaya terus-menerus terjadi disebabkan segala
keserakahan penguasa atau segelintir orang yang punya modal masih tetap
menumpukan harta di tangan sekelilingnya. Akibatnya adalah dimana sebagian
besar masyarakat menjadi miskin dan jadi hamba atas eksploitasi kejam yang berkesinambungan.
Negara
Indonesia yang dalam sistem perekomonian disebut “ekonomi pancasila”. Istilah
ekonomi pancasila, dikenalkan oleh dua tokoh nasional bernama Emil Salim yang
awal mengenalkan ekonomi pancasila, kisaran tahun 1965. Tokoh lainnya bernama
Mubyarto, sejak tahun 1980-an, beliau
menegaskan bahwa ekonomi pancasila harus terkait langsung dengan ekonomi
masyarakat kecil dan bertumpu pada moralitas sosial, egalitarianisme,
nasionalisme ekonomi, koperasi dan keseimbangan antara perencanaan pusat dan
daerah. Perbedaan antara dua versi menurut Elim Salim dan Mubyarto secara umum
terletak pada dua pendekatan yang berbeda, yaitu antara pendekatan konseptual
dan pendekatan politik.
Mengenai
gagasan ekonomi pancasila secara konseptual yang kongkret dan identik dengan
ke-Indonesiaan, di mana tujuannya adalah kemakmuran untuk masyarakat; keadilan
pembangunan, kesetaraan sosial, dan politik kemanusiaan. Atas gagasan itu tentunya
yang berkuasa (pemerintah) bertanggung jawab mewujudkannya, tidak hanya sebatas
janji-janji dan sumpah pada kitab suci. Pokoknya pemerintah harus benar-benar
peduli pada rakyat. Tapi yang terjadi adalah eksploitasi berkelanjutan yang dilakukan
oleh kalangan pemangku kebijakan yang memiliki kepentingan pribadi maupun
golongan. Katanya menolak sistem ekonomi kapitalisme, kenyataanya dalam pikiran
dan tindakannya menganut itu. Apa buktinya? Pembangunan ekonomi yang masih
bergantung pada eksploitasi Sumber Daya Alam, khususnya hutan dan lautan.
Data
yang diperoleh dari Greanpeace Indonesia (LSM Lingkungan) menjelaskan bahwa
setiap 25 detik, hutan seluas lapangan sepakbola dihancurkan untuk perkebunan kelapa
sawit. Lebiih kejam lagi negara membuat kebijakan melalui Undang Undang Sapu
Jagat atau dengan gaya hukum menyebutnya UU Cipta Kerja (UU Omnibus Law). UU
Omnibus Law dibuat dengan maksud untuk mempermudah perizinan pengusaha atau
masuknya investasi. Yang digarap oleh DPR dan disahkan oleh Presiden Joko
Widodo secara gesit di masa pandemi dan saat masyarakat tak bebas berkumpul.
Sebenarnya tidak ada kaitan dengan respon krisis ekonomi dimasa pandemi, UU
Cipta kerja sudah digagas dan dilontarkan secara terbuka pada oktober, tahun 2019, kisaran lima bulan
sebelum WHO (Badan Kesehatan Dunia)
mengumumkan status pandemi. UU ini sudah berjalan setahun sejak pertama
disahkan tahun 2020.
Dalam
UU ini salah satu yang banyak disebut adalah dihapusnya ketentuan untuk
mempertahankan minimal 30% hutan dikawasan tertentu, tanpa aturan luasan
minimal hutan yang harus dipertahankan. Undang-Undang ini meningkatkan
hilangnya hutan. UU ini adalah angin segar bagi para pengusaha atau pebisnis
khususnya oknum pemerintah. Di bawah ini adalah data terkait latar belakang
bisnis DPR dan kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Gambar: Watchdoc dalam Film Kinipan
Kesenjangan
antara kelompok kaya dan miskin akan terus terjadi. Yang kaya semakin kaya dan yang
miskin nasibya bagaimana? Persoalan sebenarnya adalah bukan perseteruan antara
miskin dan kaya. Melainkan sikap tegas
Negara atas keadilan ekonomi. Suatu Negara harus selalu memperhatikan jangan
sampai ada bagian masyarakat yang kehilangan haknya untuk hidup layak,
berhati-hati terhadap hak orang lain bukan demi kepentingan mereka sendiri.
Sikap perilaku demikian harus dilakukan agar tidak menimbulkan banyak
kesengsaraan kepahitan dan kekacauan.