Peringati Hari Santri, KKN Kelompok 40 UIN Walisongo Luncurkan Buku bunga Rampai

 



Kelompok 40 Kuliah Kerja Nyata Reguler Dari Rumah 77 Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang menggelar diskusi dan peluncuran buku Bunga Rampai "Merekonstruksi Makna Perjuangan Santri" dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2021. Acara ini dilaksanakan pada hari Jum'at tanggal 22 Oktober 2021 di Desa Tempel, Kelurahan Jatisari, Mijen Kota Semarang.


“Buku ini ditulis oleh lima belas Mahasiswa KKN RDR 77 Kelompok 40 UIN Walisongo sebagai Refleksi, kritik, dan beberapa alternatif berfikir bagi santri di tengah hiruk-pikuk modernitas,” ucap Naila saat membuka diskusi selaku moderator.


Diskusi offline terbatas ini dimulai pada pukul empat hingga pukul enam sore. diisi oleh Muhammad Khabib selaku Ketua Komunitas Alumni Perguruan Tinggi Jawa Tengah dan Pegiat Tempel Guyub, Muhamad Syafiq Yunensa selaku kontributor terpilih, dan Andi Evan Nisastra selaku penanggap dan GUSDURian UIN Walisongo.


Khabib menyampaikan bahwa persoalan utama adalah pemahaman santri yang hanya sebatas pada pembicaraan agama yang bersifat ritual saja. Padahal kemunculan resolusi jihad tak bisa lepas dari perjuangan melawan kolonialisme.

“Bila perjuangan dulu melawan kolonialisme, maka kini neo-kolonialisme juga harus dilawan. Apa wujud dari neo-kolonialisme? Yaitu struktur sosial, ekonomi hingga ekologi yang timpang. Santri harus mengambil peran di situ,” tutur Khabib yang sudah lama berkecimpung di dunia gerakan.


Syafiq Yunensa menjelaskan tulisannya yang membahas bahwa santri belajar belajar dari Power Rangers untuk mendefinisikan kembali perjuangannya. Kita bisa menggunakan hal-hal yang bersifat imajinatif  untuk refleksi bersama. 

“Santri harus mau belajar dari berbagai sisi kehidupan, tidak sebatas kitab kuning, tapi kitab merah, biru, hijau dan warna-warni lain juga harus dipelajari. Belajarlah dari Power Rangers dengan segala warna-warninya, saya membayangkan ada santri yang menjadi pemuka agama Islam sebagaai ranger merah, menjadi pengusaha sebagai ranger biru, menjadi politikus sebagai ranger hijau, menjadi petani sebagai ranger kuning, dan akademisi sebagai ranger pink, dan berbagai warna lainnya,” ungkap novelis muda kelahiran Brebes tersebut.

 

Selain itu, Evan memaparkan tanggapannya tentang bagaimana santri berkembang dan membaca berbagai kondisi kemasyarakatan yang ada. Pesantren sebagai tempat santri belajar mendalami ilmu agama juga adalah wadah untuk memulai perubahan dan pergerakan di masyarakat.

“Pembelajaran terkait sosial masyarakat tidak hanya sebatas apa yang ada di atas kertas tapi juga melihat dan merasakan langsung apa yang terjadi di tengah masyarakat,” ungkap pegiat Gusdurian Walisongo yang juga Desainer Digdaya Book tersebut.

 

Reporter: Keredaksian DB

Posting Komentar