Pre-Order Buku Rumpun Kisah Mahasiswa (Antara Uang, Juang, dan Idealisme)



Judul Buku    : Rumpun Kisah Mahasiswa (Antara Uang, Juang, dan Idealisme)

Penulis            : Marwan Aldi Pratama

Halaman         : 116 halaman

Harga              : 50.000

Stok                  : 100 Buku (Cetakan Pertama)

Free Pembatas Buku

Sinopsis

Buku "Rumpun Kisah Mahasiswa: Antara Uang, Juang, dan Idealisme", pembaca disuguhkan dengan kumpulan cerpen yang menggambarkan perjalanan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dan menemukan makna di tengah pergulatan kehidupan. Setiap cerpen menghadirkan konflik internal, dilema moral, dan pertarungan melawan sistem dengan gaya penceritaan yang khas. Dalam setiap halaman, pembaca akan terinspirasi untuk merenungkan arti pentingnya perjuangan, keberanian, dan solidaritas di masa-masa muda. Ini adalah sebuah perjalanan emosional yang menyentuh hati dan menggugah jiwa, menyoroti peran penting mahasiswa dalam membentuk masa depan yang lebih baik.


Info dan Pemesanan: 087834433309 (Digdaya Book)

Rahasia Tersembunyi di Balik Tawa


Dalam sebuah rintangan yang dilewati tak akan sia-sia jika berusaha. Ikhtiar dan berdoa pendamping dalam hal kesuksesan. Suatu hal yang dianggap remeh tak akan membuat hati ini merasa rendah. Hasil dalam sebuah rintangan untuk membungkam mulut jahat seseorang adalah hal yang terkadang diinginkan.

Di suatu pagi yang mungkin akan indah, seorang wanita yang sangat senang saat bergegas ke kampus, perkenalkan namanya Aruna salah satu mahasiswa di Semarang. Aruna adalah gadis yang cantik dengan mata coklat dan bulu mata lentik, alis tebal, bibir pink dan hidung yang tidak terlalu mancung. Impian yang sangat diinginkan oleh Aruna yaitu bisa menjadi mahasiswa. Dengan takdir dan usaha yang dilakukan Aruna, dia pun menjadi mahasiswa di salah satu universitas Semarang sesuai apa yang diinginkan. 

Namun, semangatnya tiba tiba hilang karena saat aruna berjalan kaki menuju halte bus, ada seorang ibu ibu yang datang menghampiri, dan ternyata ternyata ibu itu adalah Bu Yanti tetangga Aruna. 

Meh menyang ngendi to, Run? Esuk esuk kok wes ayu ne pol” ucap bu Yanti sambil berjalan ke arah Aruna.

Kulo ajeng teng halte bus, Bu. Ajeng tindak kuliah, njenengan ajeng teng pundi?” Aruna menjawabnya dengan semangat dengan harapan dapat pujian.

Halah, Run.... Run, ngopo to cah wedok kuliah, ngentek ngentekke duit, akhire yo neng dapur” jawab Bu Yanti dengan nada yang tak suka dan pergi begitu saja.

Aruna pun menghembuskan napas panjang, sangat jauh dari ekspektasinya, walaupun tidak terlalu memikirkan kata Bu Yanti tadi, namun tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa ia masih memikirkan perkataannya. Tidak lama kemudian, bus yang sudah aku tunggu akhirnya datang, Aruna masuk ke dalam bus dan duduk di kursi paling belakang. Di perjalanan, ucapan yang di lontarkan Bu Yanti tadi semakin membuatnya overthinking, ia terus bertanya tanya   “apakah benar yang di katakan Bu Yanti?” “apa perempuan tidak bisa jadi seseorang yang sukses?” “apa perempuan tidak boleh mengejar cita-citanya?” “apakah seorang Perempuan tidak bisa memiliki sebuah jabatan?” “apakah hanya laki laki yang bisa mendapatkan semua itu?” 

Pertanyaan itu terus berputar di kepala Aruna, hingga tanpa sadar ia sudah sampai di universitasnya. Ini adalah kuliah pertamanya, jadi Aruna memilih untuk mengabaikan omongan Bu Yanti dan tetap fokus kepada tujuannya. Ia tetap semangat melanjutkan hari-hari kuliahnya. 

Selama menjalani kuliah, Aruna termasuk mahasiswa yang terkenal aktif, dia mengikuti beberapa organisasi yang ada di kampus. Selain dia aktif organisasi, Aruna juga mahasiswa yang cerdas dan aktif pembelajaran di kelas. Aruna sering mengikuti ajang lomba dari Tingkat nasional dan internasional.

Banyak medali dan penghargaan yang sudah Aruna dapatkan. Dari basic dan skill yang Aruna miliki, Aruna lebih mendalami bidang jurnalis. Dia mendalami bidang jurnalis karena termotivasi Sang Idola yang sangat terkenal yaitu najwa shihab. Bahwa najwa shihab pernah berkata, “Perempuan jangan ragu menunjukkan ambisi. Tidak salah menunjukkan ambisi."

Najwa Shihab menyebutkan jika Perempuan hebat adalah mereka yang bekerja keras, punya ide berlian, berani merubah diri, dan memiliki empati. Dari situlah Aruna termotivasi untuk tetap bersemangat dalam menjalani kuliah dan tujuan cita-citanya. Bahwa mencapai sebuah kesuksesan tidak semudah seseorang membalikkan telapak tangan. Dia harus bertengkar oleh waktu, pikiran, hinaan, kritikan yang akan didapatkan. Hal hal yang entah membuat serasa putus asa selalu menghampiri. Sosok orang terdekat yang dulunya menjadi sosok yang selalu mengsupport pergi menjauh entah kemana. Masa depan yang harus di kejar untuk memenuhi kebanggaan terhadap orang tua.

Sesekali Aruna merasa putus asa, dengan cobaan yang dilaluinya. Hinaan yang dilontarkan oleh seseorang hanya karena aruna lebih unggul darinya. Sebuah ejekan yang di dapatkan namun sebuah kebangkitan juga yang di dapatkan. seorang mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang yang dewasa dan mandiri. Menjadi mahasiswa ternyata tidak semudah yang di bayangkan Aruna dari awal, aruna harus membagi waktu untuk mengerjakan tugas dan keaktifan Aruna di luar kampus. Perjalanan Aruna tidak selalu mulus. Ada saat-saat Ketika ia meragukan dirinya sendiri, terutama saat kegagalan yang ia alami. Tantangan muncul Ketika aruna memutuskan untuk pulang kerumah saat liburan semester tiba. Saat Aruna di rumah, Aruna mendapatkan sebuah lontaran kata dari Bu Yanti untuk kedua kalinya yang membuat Aruna putus asa untuk kesekian kali.

Bu Yanti berkata “pie, Run kuliahmu? Wes dadi opo awakmu? Opo wes dadi pejabat awakmu? Opo seng iseh trimo nganggur? Anakku lo wes duwe bojo sugeh, wes duwe omah dewe, wes duwe mobil dewe neng ndi ndi orak mlaku lan orak numpak bus terus.

Ngapuntene nggeh bu kulo mboten sehebat putrine njenengan” jawab Aruna

Iyolah, kuwi kan anakku, anak didikanku, orak perlu kuliah nanging tetep sugeh lan iso banggakke wong tuane,” ujar Bu Yanti.

Aruna meninggalkan Bu Yanti tanpa menghiraukan perkataannya. 

Setelah liburan selesai, Aruna pun Kembali untuk melanjutkan kuliahnya, tidak seperti dulu yang selalu memikirkan kata kata hinaan dari orang lain, tetapi sekarang aruna lebih menjadikan kata kata tersebut sebagai motivasi, dan dia lebih fokus terhadap tujuan kuliahnya. Waktu terus berjalan tanpa di sadari, Aruna telah menyelesaikan kuliahnya. Aruna menjadi mahasiswa lulusan terbaik. Setelah Aruna lulus, ia mendapatkan pekerjaan yang mapan sebagai seorang jurnalis yang terkenal dan sering diundang di acara TV sehingga dapat memotivasi banyak orang. Dia sering memotivasi bahwa Perempuan berhak mempunyai tujuan, perempuan berhak mempunyai keinginan dalam meraih cita citanya, perempuan berhak sekolah tinggi walaupun pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga dan berakhir di dapur, lalu apa salahnya? Apakah salah menjadi ibu yang cerdas? justru dengan kita berpendidikan tinggi, kita dapat melahirkan anak anak yang berkualitas karena didikannya.

Seorang perempuan tidak hanya dipandang untuk menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Sekolah yang tinggi salah satu pilihan yang sangat bisa dimiliki oleh seorang perempuan. Kewajiban perempuan memang mengurus anak dan suami, namun perempuan juga bisa bekerja untuk membantu ekonomi rumah. 

Saat orang merendahkanmu, ingatlah bahwa mereka tidak bisa menghalangi langkahmu ke arah kesuksesan. Biarkan hasil kerjamu dan dedikasimu yang berbicara, bukan kata-kata mereka yang merendahkan. Terkadang, langkah pertama menuju kesuksesan adalah dengan mengejutkan orang lain dengan kemampuan kita, bahkan ketika mereka merendahkan kita.

Zahra dan Mimpinya

 


Malam menyapa saat seorang gadis kecil yang bernama Zahra mulai menyeduh coklat panasnya. Zahra adalah gadis yang hidup bersama berjuta impiannya dalam sebuah rumah tinggi bak Istana.

Zahra merupakan gadis yang hidup dengan Keluarga yang berkecukupan, sayangnya Zahra tidak bisa menopang tubuhnya sendiri tanpa menggunakan bantuan kursi roda, sehingga ia merasa diacuhkan bahkan saat berada di rumah mewahnya tersebut. Kedua orang tua Zahra sering mengacuhkannya Karena mereka merasa tidak ada yang bisa diharapkan dari Zahra dengan kursi roda tersebut. Sementara kakaknya merasa malu mempunyai adik yang kurang sempurna seperti Zahra.

Setiap hari Zahra hanya menghabiskan hari-harinya di dalam Kamar dan sesekali menuju Ke taman. Gadis itu, pada usianya yang sudah 18 tahun tersebut sangat senang melukis untuk menepis rasa rendah dirinya yang terus menyesali keadaannya. Suatu pagi saat zahra keluar dari kamarnya menuju ke arah taman, Zahra jatuh dari kursi roda karena tidak sengaja melewati lubang.

"Aww sakit..."

"Ma, Pah bisa tolongin zahra nggak? Taka da orang yang mendengarnya.

*Kak… Kak Naza… Tolongin Zahra, Kak. Zahra nggak bisa bangun."

Namun, tidak ada seorang pun di dalam rumah tersebut yang menolongnya. Untung saja ada Pak Hari, tukang kebun rumahnya yang mendekat dan membantunya.

"Ya Allah, Non, Mari bapak bantu"

Pak Hari mengangkat Zahra dan membenarkan posisi kursi rodanya

"Terimakasih banyak ya, Pak" ucap Zahra.

"lya, Non. Hati-hati yah."

"Iya, Pak," jawab zahra dengan tersenyum.

"Non Zahra mau mau kemana? mari bapak antarkan"

"Ke taman, Pak."

Seperti biasa Zahra menyendiri di taman untuk mencoba menenangkan pikirannya.

Saat sedang menangis ditaman, tiba-tiba Zahra dihampiri oleh seorang gadis seusianya dengan kondisi yang sama dengan Zahra. Gadis itu Mengulurkan tangannya mengajak Zahra untuk berkenalan.

"Hai, Nama aku Dara."

Zahra membalas jabatan tangan Dara

"Zahra..."

Mereka berdua mudah sekali akrab, mungkin karena keduanya saling mengerti kondisi masing-masing. Lama kelamaan tercipta keheningan di antara mereka. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.

Tiba-tiba Zahra membuka suara "Kamu pernah gak sih ngerasa kalau hidup itu nggak adil buat kita, ngerasa hidup cuma jadi beban orang lain, selalu nyusahin orang lain... Aku sering ngerasain itu" ucap Zahra dengan raut wajah yang sedih.

"Aku juga pernah ngerasain sama seperti apa yang kamu rasain sekarang, Ra, tapi ingat ya Ra di dunia ini tidak ada seseorangpun yang sempurna, kekurangan kita ya seperti ini, nggak bisa berdiri tegak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tapi kita juga punya hak untuk bahagia. Perlahan cobalah untuk menerima apa saja keadaanmu." Zahra lalu merenung mencermati kata-kata Dara.

"Yaudah, Ra, aku pulang duluan ya," ucap Dara pada Zahra.

"lya, Dara, hati-hati ya." Dijawab senyuman oleh Dara.

Semenjak pertemuannya dengan Dara, Zahra mulai berfikir bagaimana caranya ia bisa bersyukur dengan kondisinya, ketika keluarganya tidak menganggapnya.

Meskipun Zahra masih sering mengeluh ketika masih diacuhkan keluarganya. Tapi keluhan itu tak lebih besar dari mimpi-mimpi dan harapan yang Zahra punya. Mimpi Zahra adalah menjadi penulis dan pelukis yang nanti karyanya bisa dipamerkan di pameran besar.

Zahra mulai dengan sering menulis dan melukis. kesibukannya juga supaya Zahra tidak terlalu memikirkan kata dan perlakuan orang lain terhadapnya.

Zahra mulai meng-upload karyanya melalui media sosial, ternyata banyak yang menyukai karya milik Zahra. Hingga ada seorang seniman yang melihat karya-karya Zahra di media sosial dan seniman tersebut menyukainya.

Seniman tersebut mendatangi rumah Zahra.

"Saya melihat karya-karyamu yang kamu upload di sosial media, makanya saya datang ke sini untuk mengajakmu berkolaborasi dengan saya untuk memamerkan karya-karya kita dipameran nanti."

"Apakah bapak benar-benar mengajak saya untuk mengikuti pameran tersebut?" Zahra kaget dengan ajakan tersebut.

"Benar, Zahra. Saya yakin kalau kamu ikut dalam pameran nanti, pasti banyak orang-orang yang suka dengan karya-karyamu yang indah ini." Seniman tersebut berusaha membuat Zahra yakin.

Tanpa berfikir panjang Zahra pun menyetujui ajakan tersebut, karena memang ini adalah mimpi Zahra.

"Kalau begitu saya siap, Pak, untuk mengikuti pameran ini," jawab Zahra dengan kebahagiaan.

Keluarga Zahra tidak menyangka bahwa gadis kursi roda yang biasa mereka acuhkan bisa membuat karya-karya yang indah. Zahra hanya tersenyum melihat reaksi dari keluarga yang sempat mengabaikannya. Karya seni Zahra dipajang dalam pameran yang sangat indah, semua orang yang menghadiri pameran tersebut pun sangat menyukai karya Zahra. Keluarga Zahra ikut menghadiri pameran tersebut, mereka merasa terharu dan bangga atas karya putri yang selama ini mereka acuhkan.

Dara pun merasa bahagia dan bersyukur dengan kondisi Zahra sekarang, di mana Zahra sudah mulai menerima kondisi diri sendiri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.



* Nabila Zaskia Azzahra adalah mahasiswa semester 2 STIT Al-Hikmah Benda dan Santri di Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Benda Sirampog Brebes.

Lautan Anarki

 


Di sebuah kota besar terdapat salah satu desa di tepian sungai, desa yang subur akan keanekaragaman hayati lautannya, mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Di sana terdapat banyak sekali jenis hewan hewan laut, salah satunya rajungan yang biasa ditangkap oleh nelayan, ia adalah hewan yang masih satu spesies dengan kepiting 🦀, namun rajungan hanya dapat hidup di air tak mampu hidup di darat.

Dari laut lah mereka mengepuli dapurnya, bak seorang pahlawan yang dapat menghidupi semua orang di sekitarnya, laut memang sudah menjadi mata pencaharian warga lokal.

Sayangnya bagi seorang Roni kecil, salah seorang anak yang tinggal di desa tersebut menganggap laut sebagai malapetaka baginya, karena ia hanya memiliki seorang perempuan di dalam hidupnya.

"Dalam kesunyian malam, ia berangkat bersama dua temannya, menuju samudra lepas di sana." Sembari menunjuk arah laut. “Dengan peralatan sederhana seperti sampan yang usang, jaring yang bolong dan tak lupa cotom (penutup kepala dari kayu) untuk melindunginya dari terik matahari."

“Hanya bermodalkan insting seorang nelayan tanpa adanya alat pendeteksi apa pun, Mereka bertiga berlayar mencari tempat di mana rajungan banyak ditemukan," ucapnya sambil menghela nafas. “Namun na’as, hal yang tak diinginkan terjadi, setelah sampai di tengah lautan dan mereka baru akan melemparkan jaring, ombak yang besar pun datang menimpa perahu mereka."

“Ombak yang ganas tersebut melahap habis sampan beserta sang empunya, tanpa ampun ombak tersebut menenggelamkan mereka semua, hingga tak terlihat dari penglihatan mata. Dari bibir pantai, terlihat ombak ganas itu. Tak lama kemudian datanglah seorang nelayan lain yang memberi tahukan berita duka kemari." Ia masih menatap laut yang telah melahap habis orang yang dicintainya. “Aku pun langsung lemas mengetahui hal tersebut, dengan tubuh yang lunglai aku kembali ke rumah. Selang beberapa waktu berangkat lah para timsar beserta nelayan setempat, untuk mencari mereka semua yang terlahap ombak."

“Sampai akhirnya di malam hari tim SAR menemukan puing puing dari sampan yang di gunakan untuk berlayar tadi dan membawa semua korban ke rumah masing masing, salah satunya di bawa ke rumah ini," ujar seorang wanita paruh baya sambil mengusap setetes air yang sebentar lagi akan membasahi pipinya.

Roni dewasa pun akhirnya mengerti akan hal yang menjadikannya trauma kepada air laut, di masa kecil ibunya hanya berkata bahwa ayahnya sedang berlayar ke lautan namun tak kunjung datang.

Penderitaan Roni tak sampai di situ saja, Saat ia beranjak dewasa makin banyak malapetaka yang mendatangi ke daerahnya, malapetaka tersebut terjadi bukan karena tanpa adanya alasan, melainkan banyak sekali alasan yang mengundang malapetaka berdatangan, salah satunya adalah tingkah laku para pejabat yang tak tahu malu.

Setelah Roni dewasa, ia mewarisi profesi bapaknya, lebih tepatnya ia terpaksa mengikuti profesi bapaknya karena ketiadaannya keadilan yang merata di daerahnya, yang mengakibatkan roni hanya bersekolah sampai lulus SD saja.

Mau bagaimana lagi, ia hanya hidup bersama ibunya saja, setelah kepergian ayahnya ibu roni bekerja sebagai penjual kue keliling yang omsetnya hanya cukup untuk keperluan sehari harinya.

Sekarang roni tak hanya menghadapi gelombang ombak saja, ia juga harus menghadapi para petinggi yang lebih mementingkan kepentingan cukong-cukong yang lebih menguntungkanya tanpa memikirkan warga sekitar yang terombang-ambing dibuatnya.  

Bagaimana tak terombang-ambing sebagian dari jalur yang digunakan sebagai jalur penghubung antara desa dan lautan sana diblokir secara semena-mena, tanpa adanya persetujuan dari masyarakat setempat yang mengakibatkan tersendaknya arus pulang pergi dari nelayan dan mengakibatkan penurunan dalam pemasukan mereka.

Jalur tersebut diblokade menggunakan beton besar yang ditenggelamkan sampai menyentuh lantai tanah yang paling bawah, beton tersebut digunakan sebagai pondasi untuk bangunan yang megah nan indah yang akan difungsikan sebagai tambang minyak.

Di mana setiap harinya berdatangan silih berganti ratusan truk besar yang mengangkut tanah untuk menjadikan perairan tersebut sebagai daratan, agar alat-alat yang akan di gunakan untuk mengebor dapat dengan mudah diletakan di area tersebut.

Setelah dua pekan berlalu, warga sekitar mulai geram dengan tingkah laku para pejabat setempat yang sudah sangat keterlaluan dalam merampas dan merusak semua aset terpenting mereka.

Akhirnya Roni pun berinisiatif untuk mengumpulkan warga sekitar untuk bersama-sama meminta keadilan yang selama ini masih ditanyakan keberadaan nya.

Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan para warga karena mereka juga merasakan hal yang sama, akhirnya sekitar 100 warga lokal terdiri kalangan tua serta kaum muda yang di komandoi Roni pun berangkat menuju tempat yang sedang dibangun tersebut.

Mereka semua menuntut keadilan yang tak kunjung mereka dapatkan padahal ini bukan negeri orang, ini negeri mereka sendiri namun mengapa kita yang harus terus menerus mengemis dan mengemis.

Setelah sampai di sana Roni yang berada di barisan depan langsung dihadang oleh para bodyguard yang bertubuh kekar, Roni terus menerus menggaungkan suara dengan lantang dengan megaphone, menuntut agar semua hak-hak mereka dikembalikan dan dihentikannya semua eksploitasi alam yang sudah terjadi.

Setelah sekitar 15 menitan mereka melakukan aksi unjuk rasa di depan sana, tak ada respon sama sekali dari pihak pengembang, akhirnya para masa pun melakukan aksi anarkis seperti menghujani para bodyguard dengan batu dan merusak sebagian kecil alat yang berada di sekitar mereka, namun para bodyguard tersebut tak mau kalah mereka justru lebih anarkis, mereka melakukan sebuah aksi kejam seperti menarik satu orang secara bergantian untuk dipukuli habis-habisan.

Salah satu dari korban kekerasan tersebut adalah Roni, ia sebagai garda terdepan sudah pasti terkena resiko seperti itu, setelah kejadian tadi Roni terus bertahan di situ sampai tak lama kemudian datanglah seorang pimpinan perusahaan yang menawarkan sebuah negosiasi yang tentunya tak seimbang, di mana ia menawarkan untuk warga sekitar akan bisa bekerja menjadi karyawan di sana.

Namun mau bagaimana lagi dengan berat hati mereka menerima tawaran tersebut karena tidak ada pilihan lain, mereka tak punya kekuatan baik polik maupun massa. Akhirnya para masa pun pulang ke rumah masing masing.

Setelah perusahaan itu dapat dioperasikan, memang benar sebagian dari warga setempat diterima sebagai karyawan disana, namun tidak dengan Roni yang hanya lulusan SD, karena di perusahaan tersebut hanya menerima lulusan SMA untuk menjadi pekerja di sana, dan lulusan SD yang melamar pekerjaan di sana hanya dijadikan sebagai OB. Roni terpaksa menjadi OB karena lautnya telah dirampas, ia harus pergi agak ke tengah Samudra agar bisa mendapatkan hasil tangkapan. Tentu dengan perahu kecil, tidak akan mampu lakukan itu.

Tiga tahun kemudian, masyarakat semakin bergantung pada perusahaan tersebut, namun tidak sedikit dari mereka yang terkena PHK. Letak perusahaan tersebut cukup jauh dari pemukiman, menjadikan akses yang sulit dan butuh biaya untuk sampai ke sana. Warga makin susah dan sebagian memilih pergi merantau.

Pada suatu sore, terjadi hutan badai dan angin puting beliung, pusat bencana itu ada di dekat Perusahaan yang telah merampas hak warga dan alam untuk tetap lestari. Ombak yang tinggi disertai angin kencang memporak-porandakan Gedung-gedung dari perusahaan tersebut, begitu pun sebagian rumah warga.

Keesokan harinya, ditemukan beberapa pekerja dan jajaran direksi perusahaan yang sudah tak bernyawa, karena tertimpa bangunan hingga terseret ombak. Korban jiwa mencapai angka belasan, namun tak ada satu pun pekerja dari desa yang meninggal, karena mereka bisa berenang dan kebetulan Gedung utama yang berisikan pekerja lokal tidak rata dengan tanah.

Rupanya lautan marah dengan penindasan struktural yang terjadi di sana. Setelah diusut, ternyata AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) perusahaan itu begitu bermasalah. Perusahaan itu membuat laut yang dulunya biru kini menjadi berwarna kecoklatan. Sebab itulah alam memberikan peringatan pada mereka dan membebaskan warga dari belenggu penindasan.

Sejak peristiwa tersebut Pabrik sudah tidak dapat beroperasi, masyarakat berbondong-bondong membersihkan sisa puing bangunan dan mengambil beberapa hal yang bisa mereka manfaatkan. Tidak ada lagi perusahaan yang berani membangun pabrik di situ, masyarakat mengambil peluang untuk menjadikan itu semacam kepercayaan bahwa siapa pun yang merusak alam, akan terkena azab hingga meninggal.



* Muqtafa Deka Yunensa adalah mahasiswa Semester 2 jurusan Pendidikan Bahasa Arab di UIN Walisongo Semarang, ia juga alumni Kelas Menulis Romansa Angkatan 3.

Menyelami Cobaan di Pesantren

 


Suatu suatu hari di sebuah pondok pesantren ada seorang santri yang bernama Arif. Ia berasal dari salah satu Kota di Jawa Tengah. Perawakannya terbilang sangat kecil dan kurus, tapi ia seorang santri yang pintar. Ketika Arif pertama masuk pesantren, ia bertemu banyak teman yang berbeda secara latar belakang keluarga, suku, hingga bahasa daerah yang berbeda. Dua teman yang satu kamar dengannya bernama Edi dan Zain. Saat arif baru pertama masuk pesantren ia malu untuk berkanalan dan berbicara dengan teman-temannya.Selang beberapa bulan di pondok, akhirnya Arif betah dan mulai berani bercakap–cakap dengan teman sekamarnya.

Suatu ketika di tangan Arif tumbuh benjolan kecil dan terasa sakit, ternyata Arif terkena penyakit gudik. Gudik yang tumbuh di tangan Arif dikarenakan Arif kurang menjaga kebersihan tubuhnya atau lingkungan kamarnya yang mungkin kurang bersih.

“Arif, tangan kamu kenapa kok ada benjolan merah dan bernanah?” ucap Edi, kawan sekamarnya yang bertubuh gempal.

“Nggak tau, kok pas aku bangun tidur tiba-tiba tanganku kayak gini, sebelum aku tidur belum,ada benjolan seperti ini, ” jawab si Arif yang sedang bingung dan kesakitan.

“Mungkin tanganmu terkena penyakit gudik,” ungkap Edi sembari memeriksa tangan Arif.

“Iya kayaknya, Ed,” jawab Arif.

“Kata kakak kelas kita kalau terkena gudik, cara menyembuhkanya pake salep dan selalu jaga kebersihan, Rif,” ujar Zain yang sedari tadi ikut mengamati tangan Arif yang terkena gudik.

“Udah ayo ke apotek, beli salep.” Edi mengajak kedua kawannya untuk bergegas, sebelum waktu sholat maghrib tiba.

Arif dan Zain menjawab “Ayo, gas!

Akhirnya mereka bertiga pergi untuk beli salep di apotek terdekat.

Sepulang dari apotek, Arif langsung mandi lalu mengoleskansalep pada kulit yang terkena gudik. Selang beberapa minggu, penyakit gudik Arif sembuh, tapi beberapa minggu kemudian Arif terkena gudik lagi. Saat itu Arif nangis karena gudik di tangan Arif lebih banyak dari sebelumnya, karena Arif tidak kuat dengan penyakit gudik tersebut ia memutuskan untuk pulang ke rumah, Tapi Zain menghentikannya.

“Kamu mau kemana, Rif?”

“Akum au pulang ke rumah, Zain. Sudah tak tahan dengan penyakit ini.”

“Tunggu dulu, Rif. Di sini bukan hanya kamu kok, ada beberapa santri lain, tapi mereka gak pulang.” Zain berusaha menahan Arif dan mencarikan solusi.

“Loh, Rif.. Kok tanganmu kaya tirex gitu.” Tiba-tiba Anas, santri kamar sebelah datang dan mengolok-olok Arif. “Kok bawa barang banyak, mau minggat?”

Mendengar ejekan Anas, Arif semakin bulat untuk boyong dan meneruskan sekolah di rumah. Zain memberikan tatapan tajam pada Anas seraya memberi kode agar ia diam dan pergi.

“Apaan sih kamu, Zain? Benerkan tangannya kaya tirex gitu?”

Tanpa banyak bicara, Zain mendorong Anas hingga jatuh. Ia memasang kuda-kuda, seakan mengajak Anas untuk bertengkar.

“Kalau disuruh diem ya diem, kawan kita lagi kesusahan gini, malah kamu hina!” Zain terdengar sangat keras dan membentak.

“Zain, udah Zain. Aku nggak papa kok…” Arif berusaha melerai.

Suara Zain itu terdengar sampai kamar ustaz yang tak jauh dari tempat keributan.

“Ada apa ribut-ribut? Zain? Anas? Kalian bertengkar?

Mereka bertiga dipanggil oleh pengurus keamanan dan ustaz untuk disidang, saat itu juga. Ustaz bertanya ke Zain, sebagai santri yang dinilai selalu menaati aturan, terlebih dahulu. Zain menjawab bahwa Anas mengolok-olok Arif yang sedang sakit gudik dan ingin boyong. Saat diperingatkan, Anas justru menantangnya dan tetap menghina Arif.

“Benar begitu, Anas?”

Anas hanya diam dan mengangguk, ia memang seringkali membuat onar di pesantren. Beruntung ustaz cukup bijak untuk memberi nasihat dan meminta Anas minta maaf dengan tulus ke Arif. Zain pun langsung minta maaf terlebih dahulu pada Anas karena telah mendorongnya.

Akhirnya semua saling memaafkan dan perihal penyakit gudik yang diderita Arif akan ditindaklanjuti dengan peningkatan kebersihan di Pondok, bahkan pihak pondok mengundang salah seorang dokter kulit untuk memberikan sosialisasi pada para santri.

Perlahan penyakit Arif mulai sembuh, ia bisa belajar seperti sedia kala. Kebersihan di pondok pun ditingkatkan, hingga enam bulan kemudian banyak santri yang sudah sembuh dari penyakit gudik. Arif tumbuh menjadi santri yang rajin dan pintar di sekolah maupun saat pengajian pondok. Peristiwa enam bulan lalu, saat Zain dan Anas bertengkar di hadapannya memberi pelajaran berharga, bahwa mem-bully orang lain adalah perbuatan yang sangat tercela, bahwa tidak semua mental korban bully bisa tegar. Walau begitu, pondok pesantren selalu menghadirkan berbagai karakter orang yang unik, dengan kisah-kisah yang tak kalah menarik. Arif mulai membiasakan diri dengan hal tersebut, laiknya miniatur dalam kehidupan bermasyarakat yang sesungguhnya.




* Arul Elfansyah adalah mahasiswa semester 2 STIT Al-Hikmah Benda, sekaligus santri di Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Benda Sirampog Brebes

Barokah itu Nyata Adanya



Matahari muncul seperti biasanya dari arah timur dan menyinari setiap ruangan Pon.Pes Al Anwar yang bernuansa hijau, ciri khas pondok tersebut. Ia menyinari setiap santri- santri yang ada di Pon.Pes Al Anwar yang sedang antri mengambil kos makan masing-masing. Ya, inilah Pondok Zain, santri yang terkenal paling bandel di pondok tersebut. Zain dulu sebelum mondok tinggal bersama kakek-neneknya, karena Zain sudah tidak mempunyai orang tua lagi, dia ditinggal saat umur 5 tahun karena orang tuanya terkena insiden kecelakaan. Zain berumur 17 tahun dengan tinggi 165 cm, dia mempunyai kulit coklat dan berambut agak panjang. Zain  dipondokkan karena kakek dan neneknya sudah tidak sanggup membimbingnya. Zain sejak SMP sudah bandel, jadi mereka memutuskan untuk memondokannya saat lulus SMP.

Zain pun terkenal sebagai santri yang paling bandel karena sifat dan pola pikirnya yang selalu membuat pengurus pondok kewalahan mengurusnya. Sampai suatu hari Zain melakukan sesuatu kejahilan terhadap temannya yang berupa menancapkan lidi di bagian kaki temanya yang sedang tidur dan membakarnya atau disebut juga semut arab, hingga membuat temannya menangis karena ulahnya. Kemudian teman Zain yang dijahili oleh Zain itu melaporkan perbuatan Zain kepada pengurus. Lalu pengurus memanggil Zain untuk menghadap ke kantor. Sudah menjadi kebiasaan Zain duduk di dalam kantor dan dilingkari pengurus keamanan untuk diinterogasi.

Usman selaku koordinator Keamanan sudah pusing menghadapi tingkah laku Zain yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Jadi hari ini Usman membawa Zain untuk menghadap K.H Muhammad Umar selaku pengasuh pondok tersebut untuk meminta saran bagaimana cara mengatasi Zain yang bandel tersebut.

Ketukan pintu terdengar dari arah luar kediaman K.H Muhammad Umar yang disambut oleh Azam selaku Abi dalem Abah yai.

"Assalamualaikum" ucap Usman.

"Waalaiikumussalam," jawab Azam seraya membukakan pintu untuk mereka. "Enten niku, bade sarapan pagi."

"Owalah nggih, Kula nunggu mawon teng mriki nggih?"

"Nggih Monggo, badeh nopo sii, Man."

"Niki bade ngelapor kalih Abah, Zain buat onar lagi." 

"Hufttt... nggih mpun di tunggu mawon," ungkap Azam sembari geleng-geleng kepala

"Nggih, matur suwun"

Azam pun masuk ke dalam untuk menyiapkan sarapan Abah yai dengan Abdi dalem lainnya. usman dan Zain pun duduk bersila di bawah sambil menunggu Abah yai sarapan.

15 menit kemudian.....

Abah yai menemui usman dan Zain yang sudah menunggu.

"Ada apa?"

"Niki bah, Zain Damel keributan Malih"

"Buat masalah apa?"

Usman pun menceritakan kronologi nya kepada Abah yai dari awal sampai akhir. Setelah Usman menceritakan kronologinya Abah yai pun angkat bicara.

"Ya sudah, Zain kamu ambil baju-baju kamu dan bawa ke sini, kamu sekarang pindah jadi abdi dalem aja biar Abah bisa ngawasin kamu."

"Pindah ndalem bah?" tanya Zain dengan raut wajah yang kaget, namun ia tak bisa membantah.

"Iya kamu pindah ndalem aja biar nanti Abah enak mantau kamu."

"Nggih, Bah..."

Selanjutnya Abah yai meminta Usman dan Azam untuk mengurus segala hal terkait perpindahan Zain ke ndalem beliau. Usman dan Zain pun pamit undur diri dan seperti biasa sebelum udur diri Meraka mencium tangan Abah yai terlebih dahulu.

Hari-hari berlalu setelah pindahnya Zain ke ndalem, Zain mulai membaik secara perilaku, tidak sering membuat onar lagi. Bahkan ia sering ikut Abah yai kesana-kemari guna mengisi pengajian.

Suatu hari Abah diundang untuk mengisi pengajian di sebuah desa, tapi Abah sedang ada halangan yaitu sakit di bagian kaki, jadi tidak bisa mengisi acara tersebut. Lantas Abah meminta Zain untuk mengisi acara tersebut. Zain pun kaget karena baru pertama kalinya mengisi acara-acara seperti itu, dan Zain pun belum bisa mengisi acara tersebut, jadi Zain ingin menolak printah Abah yai tersebut.

"Bah, ampun kula sing ngewakili, kula dereng saged."

"Abah percaya, kamu pasti bisa, Zain."

Zain hanya bisa mengangguk, sembari mulai mencari materi di buku-buku hingga bertanya pada santri-santri senior. Beberapa jam kemudian, ia berangkat sendirian dengan kendaraan motor ndalem.

Sesampainya di lokasi, ia disambut oleh Pak Andi selaku tuang rumah. Zain diminta untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan terlebih dahulu.

"Mas, katanya abah sakit, njih? Mas Zain nanti yang menggantikan beliau." 

"Njih, Pak. Insya allah, semampu saya."

"Matur suwun sanget njih, Mas. Saya percaya ke njenengan, Abah Umar pasti memilih santri terbaiknya."

Ucapan Pak Andi membuat Zain terenyuh, apakah benar bahwa ia santri terbaik yang dipilih? Padahal ia sama sekali tak pantas untuk menyandang gelar itu. Sudah banyak catatan hitam yang membuatnya merasa tidak layak, bahkan sekedar untuk menyandang gelar "santri". Baginya santri adalah sebuah proses belajar terus-menerus yang tak berkesudahan. Bukan gelar yang cuma-cuma didapatkan, saat di tinggal di pondok.

Pak Andi pun meninggalkan Zain lagi untuk kedepan menyiapkan acara. Setelah acara siap, Pak Andi meminta Mas Zain untuk mengisi pengajian tersebut.

"Ampun cemas, Abah ngengken jenengan pasti mpun percaya jenengan pasti bisa" Pak Andi memberinya semangat.

"Njih, Pak. Insyaallah saged."

"Bismillahirrahmanirrahim..." ucap Zain dalam hati.

Pak Andi pun mengantar Zain ke panggung.

Perlahan tapi pasti Zain pun menaki panggung dengan langkah yang agak sedikit gemetaran. Zain pun mengucapkan salam dengan agak grogi dan memulai pengajian tersebut. Seiring berjalannya acara Zain pun sudah mulai bisa mengontrol geroginya karena para audiens yang bisa diajak bercanda dan bergurau. Isi ceramah Zain adalah tentang taubat, ia membawakan beberapa kisah yang menarik, salah satunya tentang Wahsyi, salah seorang yang pernah membuat Nabi bersedih karena membunuh Paman Nabi, namun di akhir hayatnya ia mendapat hidayah.

Di tengah pengajian, ada seorang perempuan yang senang melihat Zain bisa mengisi pengajian, ia pun tersenyum ketika melihat Zain yang bisa membuat para audiens tertawa. Ia terlihat sangat bahagia karena melihat Zain berubah. Perempuan tersebut adalah Dinda, teman masa kecil Zain yang kebetulan pindah rumah di desa tempat Zain ceramah. Ia dulu pernah menyukai Zain, namun karena kenakalannya yang keterlaluan, ia lebih memilih untuk mengurungkan niat itu.

Setelah selesai acara Zain pun pamit undur diri, Pak Andi dan orang-orang di sekitarnya mengucapkan terima kasih banyak karena telah meluangkan waktu untuk mengisi acara tersebut. Zain pun pulang dengan hati gembira karena bisa mengisi acara tersebut dengan lancar.

4 tahun berlalu.....

Zain kini sudah sering mem-badali Abah untuk mengisi pengajian atau acara-acara lain nya, Zain pun sudah terkenal di kalangan pesantren dan desa-desa sekitar.

Kini Zain sudah lulus dari Perguruan Tinggi yang ada di pondoknya. Ia meminta izin untuk melanjutkan kuliah S2 di luar kota, namun Abah belum berkenan. Ia meminta Zain untuk tinggal satu tahun lagi di Pesantren Al-Anwar, sekaligus membantu mengajar para santri.

Beberapa bulan berlalu, Zain semakin kondang sebagai ustaz muda. Hari ini ia diundang di Pondok Al-Huda, sebelum mulai pengajian, diselingi dengan grup Hadroh yang membawakan lantunan shalawat. Mendengar lantunan yang sangat merdu, ia menengok ke sumber suara. Bak melihat bidadari, ia langsung terpana dengan kecantikan perempuan, vokal hadroh tersebut. Buru-buru ia memalingkan pandangan darinya. Setelah acara hadrohan selesai, Zain pun naik ke panggung untuk mengisi pengajian.

Perempuan itu adalah Dinda, kini ia juga terkenal sebagai vokalis hadroh yang biasa diundang di berbagai temnpat. Ia juga baru saja lulus dari salah satu perguruan tinggi agama Islam di Kota sebelah. Seusai pengajian, Zain memberanikan diri untuk menyapa Sang Vokalis.

"Assalamualaikum, Mbak... Tadi Mbak vokalis hadrohnya kah?" Zain pura-pura bertanya pada perempuan itu.

"Waalaikumsalam, Ustaz. Ya Allah, apa ustaz lupa siapa saya?"

Zain langsung kaget dengan pertanyaan itu, ia menatap wajah perempuan tersebut dengan sangat teliti. Ia mencoba menerka ingatan masa lalunya.

"Kamu........ Din...."

"Iya, aku Dinda. Teman sekelasmu saat SMP."

Zain tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia kembali teringat akan masa lalu, saat di mana ia punya rasa suka ke Dinda, namun tak berani mengungkapkan. Ia merasa sangat tak pantas bila pacaran dengan Sang Idola di sekolah, sedangkan ia hanya berandal sekolah yang hobi buat onar dan selalu dapat hukuman.

Pertemuan itu ternyata berbuah manis di masa depan. Mereka kembali dekat, dengan perasaan sama yang sempat terkubur tujuh tahun lamanya. Hingga akhirnya, satu tahun kemudian mereka memutuskan untuk menikah, setelah mengutarakan perasaan masing-masing dan mendapat restu dari orang tua mereka. Sang Berandal itu bersanding dengan bidadari yang diidamkannnya, memadu asmara dalam bingkai juang dan dakwah agama sebagai Ustaz dan vokalis hadroh ternama. Zain semakin percaya, barokah itu nyata adanya, bahwa seburuk-buruk manusia selalu diberi kesempatan untuk berubah.

Keluar dari Zona Introvert



Di sebuah kampus yang dikenal dengan kehidupan sosialnya yang ramai, hidupnya terasa bagai kupu-kupu yang terkurung dalam kepompongnya sendiri. Vina, namanya. Seorang mahasiswi introvert yang lebih memilih menyendiri daripada bergabung dalam sebuah organisasi. Sejak dulu, ia memang sudah memilki kepribadian introvert. Ia tidak suka berinteraksi dengan banyak orang, energinya pun cepat habis jika di keramaian. Ia tak memiliki banyak teman, tapi itu tak masalah baginya. Gadis itu bersahabat dengan buku-buku novel dan self improvement. Vina terbenam dalam dunianya sendiri, menghirup aroma buku dan menelusuri halaman-halaman yang penuh dengan pengetahuan.

Kegiatannya hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang. Tapi kehidupan yang seperti itu hanya berlangsung selama 1 semester. Di sudut teras rumah, ia merenung, kenapa tidak bisa seperti teman-temannya yang aktivis dan memiliki banyak teman dimana-mana. Ia terus merasa terisolasi dalam dunianya sendiri. Melihat story WA teman-temannya yang selalu bersemangat dalam mengikuti kegiatan kampus di setiap UKM-nya masing-masing, berpartisipasi dalam diskusi-diskusi penting, membuatnya merasa seperti penonton dan tidak berguna. Hari demi hari, pertanyaan itu terus mengahantuinya. Apakah aku yang introvert ini bisa seperti mereka? Vina merasa bahwa ada sesuatu yang harus berubah dalam dirinya, meskipun langkah pertamanya terasa begitu berat. Ia memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar menyelesaikan tugas-tugas akademisnya.

Suatu hari, ketika sedang menelusuri rak-rak buku di perpustakaan, matanya tertarik pada sebuah buku yang berjudul “Menjadi Aktivis: Langkah Awal Menuju Perubahan”. Tanpa pikir panjang, ia mengambil buku tersebut dan membacanya dengan penuh antusias. Lewat kata-kata inspiratif di dalamnya, Vina mulai menyadari bahwa menjadi seorang aktivis bukanlah tentang seberapa banyak teman yang dimiliki, melainkan tentang keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Dengan langkah kecil namun pasti, ia mulai menantang dirinya sendiri. Dimulai ia belajar untuk membuka diri terhadap orang-orang di sekitarnya. Sampai ia memberanikan diri untuk mengikuti salah satu UKM di Fakultasnya.Meskipun rasa takut masih mengantuinya, namun semangat untuk berubah membawa Vina melewati batas-batas kenyamanannya. 

Dalam perjalanan awalnya sebagai seorang mahasiswi introvert yang mencoba keluar dari zona nyaman, untuk pertama kalinya ia bertemu dan berinteraksi secara langsung dengan banyak orang dengan cerita dan tujuan hidup yang berbeda-beda. Di pertemuan pertamanya, ia merasa canggung dan takut. Dia memperhatikan serangkian acara dari awal sampai akhir. Setelah kegiatannya selesai, ia di dekati oleh salah satu teman barunya. “Hai, aku Reva. Bagaiman pendapatmu tentang kegiatan ini?” Vina sedikit gugup, tetapi ia berusaha untuk menyampaikan pendapatnya. 

“Kegiatannya seru, banyak belajar dan menambah pengalaman serta relasi. Aku ingin belajar lebih banyak di sini.” Reva tersenyum. 

“Wah keren, mari kita sama-sama belajar yaa!!!”

Ia belajar untuk mengatasi rasa gugupnya, berbicara dengan percaya diri, dan bekerja sama dalam tim. Setiap langkah kecilnya, membawa Vina semakin dekat dengan tujuan-tujuan perubahan diri yang ia buat. Vina pun lebih dekat dengan teman-teman barunya. Lambat laun, kepompongnya mulai terbuka. Ia mulai terbang, mengikuti arus perubahan bersama-sama dengan teman-temannya. Dengan bergabung di salah satu UKM kampus, Vina belajar untuk bersuara, menyampaikan pendapatnya dan belajar manajemen waktu. Meskipun awalnya ia merasa canggung dan takut, namun dukungan dari teman-teman seperjuangannya membuatnya semakin percaya diri.

Semakin hari, Vina mulai merasa ada kenyamanan dalam organisasi tersebut. Komunikasi dengan teman-teman baru dalam kelompok aktivis menjadi semakin lancar. Mereka berbagi ide, menyusun rencana, dan bekerja sama dalam menjalankan program kerja yang mereka buat. Ia tak lagi menjadi kupu-kupu yang terkurung dalam zona nyamannya. Ia menjadi bagian dari gerakan perubahan yang membawa dampak positif bagi kampus dan masyarakat sekitarnya. Pada akhirnya, Vina menyadari bahwa “belajar” bukan hanya sekadar duduk dibangku kuliah atau menghabiskan waktu di dalam buku-buku, tetapi juga tentang bagaimana kita berkontribusi untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Ia juga menyadari bahwa perubahan tidak selalu terjadi dalam sekejap mata, tetapi melalui proses yang panjang dan terus konsisten. Dengan penuh semangat, Vina akhirnya bisa keluar dari zona nyaman introvert dan menjadi mahasiswi aktivis yang membawa perubahan menjadi lebih baik.

Suatu hari di sebuah kantin kampus yang ramai, dua dunia bertemu. Terdapat seorang mahasiswi aktivis dan kupu-kupu. Vina, sekaranng berperan sebagai mahasiswi aktivis walaupun masih pemula. Temannya bernama Siska, ia seperti cerminan diir Vina yang dulu.

Vina : “Hei, Siska! Bagaimana kabarmu?”

Siska : “Hei, Vina! Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

Vina : Aku juga baik-baik saja. Btw, ikut UKM apa nih kamu?”

Siska : ‘Humm aku tidak tertarik mengikuti hal-hal seperti itu. Aku lebih suka fokus pada belajar dan membaca.”

Vina : “Tapi, Siska, Apakah kamu tidak bosan hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang? Ayoo bergabung ke Organisasiku, SERUU LHOO!!!”

Siska : “Maaf, Vina. Aku menghargai tawaranmu, tapi sepertinya aku belum siap.”

Vina : “Baiklah, aku mengerti. Tapi, ingatlah bahwa terkadang kita harus keluar dari zona nyaman untuk membuat perbedaan yang lebih baik.”

Siska pun mengangguk, menghargai kata-kata Vina, meskipun ia belum sepenuhnya yakin.

Suaru hari, Siska mendatangi Vina dengan senyum. “Vina, aku pikir sekarang aku sudah siap bergabung ke organisasimu. Aku menyadari bahwa meskipun kita memiliki pandangan yang berbeda, kita semua ingin membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.” 

Vina tersenyum bangga. “WAH BAGUS SISKA. Aku senang kamu akhirnya mau bergabung. Kita akan belajar banyak hal kedepannya.” 

Mereka berdua melanjutkan obrolan mereka, kini dengan semangat yang sama.

Semakin hari, Vina mulai merasa ada kenyamanan dalam organisasi tersebut. Komunikasi dengan teman-teman baru dalam kelompok aktivis menjadi semakin lancar. Mereka berbagi ide, menyusun rencana, dan bekerja sama dalam menjalankan program kerja yang mereka buat. Ia tak lagi menjadi kupu-kupu yang terkurung dalam zona nyamannya. Ia menjadi bagian dari gerakan perubahan yang membawa dampak positif bagi kampus dan masyarakat sekitarnya. Pada akhirnya, Vina menyadari bahwa “belajar” bukan hanya sekadar duduk dibangku kuliah atau menghabiskan waktu di dalam buku-buku, tetapi juga tentang bagaimana kita berkontribusi untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Ia juga menyadari bahwa perubahan tidak selalu terjadi dalam sekejap mata, tetapi melalui proses yang panjang dan terus konsisten. Dengan penuh semangat, Vina akhirnya bisa keluar dari zona nyaman introvert dan menjadi mahasiswi aktivis yang membawa perubahan menjadi lebih baik.

Pesantren Mengubahku

 


Hembusan angin yang sangat dingin dipadukan dengan gelapnya malam menembus pori-pori kulit, jalanan yang sunyi menambah keyakinan seorang perempuan berambut panjang yang terurai dan acak-acakan menggunakan baju ketat dan seksi dengan make up yang sudah tidak karuan, ia tengah berdiri di pembatas jembatan yang sangat sepi dan berfikir untuk mengakhiri hidupnya.  

“Aaaaaaaaaahhhhhh,” Perempuan itu berteriak “Kenapa? Kenapa harus aku yang mengalaminya?” ucapnya dengan suara yang semakin mengecil dan diiringi isak tangis yang sangat pilu, saat ini hatinya sangat hancur karena perbuatan ayahnya sendiri

Dia Nadira kaisya seorang perempuan berumur 18 tahun yang di tinggalkan oleh ibunya sejak berumur 14 tahun, ia adalah anak yang baik dan ramah dengan siapa pun, ibunya meningal karena menderita penyakit kanker otak yang cukup parah dan perusahaan ayahnya yang kala itu hampir bangkrut tidak bisa membiayai pengobatan ibunya hingga pada akhirnya ibunya meninggalkan mereka untuk selamanya.

Sejak saat itu ayahnya berubah seratus delapan puluh derajat, yang dulunya sangat perhatian dan menyayangi Nadira, juga sangat anti dengan yang namanya minuman keras, kini setiap pulang entah dari mana dalam keadaan mabuk dan sering membawa pulang wanita yang berbeda- beda.

Ayahnya tidak hanya suka mabuk dan bergonta-ganti wanita tapi juga sering memukuli Nadira, jika melakukan kesalahan sekecil apapun tanpa terkecuali, entah apa yang membuat ayahnya berubah semenjak ibunya tiada. Pada akhirnya ayahnya yang sudah tidak memiliki uang sama sekali dengan teganya menjual Nadira kepada lelaki tua berpenampilan seram dan  berjenggot lebat.

“Ibu, Nadira cape, Bu…. Nadira ingin menyusul, Ibu,” ucapnya yang masih diiringi derasnya air mata dan isak tangis

Hatinya hancur, ayah yang dulu dia bangga-banggakan sekarang malah menjualnya, wajah yang terlihat lelah dan badan yang lemas membuat tangannya perlahan-lahan terlepas dari besi pembatas jalan.

“Stooooop... Berhentiiiiiiiiii!!!” Suara seseorang menyadarkannya, mata yang tadinya menutup siap untuk terjun dari jembatan kembali terbuka menengok kebelakang memastikan siapa yang berteriak.

Terlihat tidak jauh dari sana seorang perempuan dengan baju yang serba tertutup hanya menampakan wajah dan kakinya sedang berlari kearah Nadira.

"Apa yang kamu lakuan?" teriak perempuan itu kembali sambil memegang tangan Nadira, ia pun akhirnya turun dengan dibantu oleh perempuan itu. Kini nadira sedang terduduk di samping pembatas jembatan dengan badan yang bergetar sangat kencang dipadukan dengan dinginnya malam.

"Lebih baik kamu ikut denganku, setelah itu kamu bisa menceritakan apa yang terjadi denganmu," ucap perempuan itu dengan tatapan mata yang sayu dan sejuk, Nadira hanya mengangguk, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Perempuan itu menuntun Nadira ke dalam mobilnya.

Lima belas menit kemudian mereka telah sampai di depan sebuah gerbang dengan cat berwarna dominan hijau dan terdapat plang di atasnya bertuliskan Pondok Pesantren Nurul Hikmah berwarna putih, tidak berselang lama gerbang pun di buka oleh dua laki-laki berumur tidak jauh dengannya, mobilpun masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat besar berwarna putih.

"Ayo turun," ajak peremuan itu sembari tersenyum.

"Eh, Iyah," ucap Nadira.

Nadira pun turun dari mobil, ia hanya berdiri terdiam di depan rumah itu "Hei, kenapa bengong saja, ayo kita masuk," ucap perempuan itu sambil menarik tangan Nadira membawanya ke ruang tamu yang sangat luas.

Perempuan  itu menyuruhnya untuk duduk terlebih dahulu"Nia.....," panggilnya dengan suara yang halus, tidak berselang lama datang seorang perempuan seumurannya sambil menundukkan kepalanya.

"Iyah Ning ada yang bisa saya bantu?" ucap Nia.

"Tolong buatkan teh manis hangat yah," ucap perempuan yang di sebut Ning itu, yah Nadira memang belum mengetahui namanya karena sejak awal bertemu perempuan itu tidak mempekenalkan dirinya.

"Namaku Syifa dan kamu pasti bingung kenapa dia memanggilku Ning," ucapnya dengan kembali memperlihatkan senyumnya yang manis "Aku ini anak dari pemilik pesantren ini dan sebutan Ning itu sebutan dari para Santri untuk memanggil kami," lanjutnya. Keadaan di rumah itu sedang sepi karna Abi dan Uminya sedang menghadiri acara di pesantren lain.

"Sekarang siapa namamu? Dan kenapa kamu sampai ingin mengakhiri hidupmu?” tanya Syifa.

Nadira hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya, air matapun kembali mengalir membasahi pipinya. Syifa berusaha menenangkan Nia. Ia berkata bahwa semua akan baik-baik saja dan tak perlu takut.

Tidak berselang lama Nia pun datang dengan membawa dua cangkir teh hangat di nampan dan menaruhnya ke atas meja.

"Minum dulu ya, tenangkan pikiran dan hatimu," ucap Syifa dengan halus dan meneduhkan.

Setelah lebih tenang, Nadira pun mengangkat kepala dan menghapus air mata yang sedari tadi terus mengalir "Namaku Nadira Kaisya, terima kasih telah menyelamatkanku," ucapnya dengan suara yang serak.

"Baiklah ada apa denganmu hingga berfikir ingin mengakhiri hidupmu?" ucap Syifa kembali bertanyadan akhirnya Nadirapun menceritakan semua yang di alaminya hingga membuatnya menjadi seperti sekarang, ia kembali meneteskan air matanya yang sedari tadi ia tahan.

Syifa  tercengang setelah mendengar apa yang telah dialami oleh Nadira, dia tidak menyangka ayah yang seharunya menjaga dan menyayangi anaknya malah menjual dan membiarkan kehormatan anaknya direnggut oleh orang bejad, hatinya ikut sakit setelah mendengarnya.

"Apakah Aku masih pantas untuk hidup? Hiks...hiks...," ucap Nadira yang masih setia dengan tangisannya.

"Nadira, jangan berbicara seperti itu, itu ujian untuk kamu karena Allah percaya kamu bisa menghadapinya," ucap Syifa menenangkan Nadira

"Tapi Aku lelah, kenapa harus seberat ini?" ucap Nadira, tidak menyangka hal-hal yang tidak pernah ia inginkan terjadi padanya "dan apakah Allah masih mau memaafkanku atas apa yang sudah Aku lakukan selama ini?" tambah Nadira.

Ia sudah frustasi tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan ia merasa bahwa dirinya tidak akan pantas untuk dimaafkan.

"Ingat Nadira, Allah itu maha memaafkan sebesar apapun kesalahanmu, jika kamu benar-benar ingin berubah Allah pasti akan memaafkanmu. Lagi pula kamu terpaksa melakukan semua ini. Kamu nggak bersalah Nadira," ucap Syifa meyakinkan Nadira.

"Tapi bagaimana Aku bisa berubah? Beribadah saja aku sangat jarang," ucap Nadira

"Mmmm, bagaimana kalau kamu di sini saja, belajar agama di sini," ucap Syifa menawarkan "nanti kusampaikan pada Abi dan Umi," tambahnya.

”Tapi aku nggak pantas di tempat seperti ini, aku sudah....”

Belum sempat Nadira menyelesaikan ucapannya, Syifa memeluknya sambil menangis. Mereka pun hanyut dalam tangisan bak saudara, tanpa ada sekat sedikit pun.

***

Kini Nadira sudah berada di kamar yang sudah disiapkan oleh Syifa, di kamar itu Nadira tidak sendirian karena setiap kamar di isi oleh dua orang anak, dan di kamar itu sudah ada 2 anak yang menempatinya.

"Hai anak baru yah? Aku Sella udah dua tahun Aku di sini," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya dan memperlihatkan senyum manisnya.

"Aku Nadira," ucapnya yang juga mengulurkan tangan sambil membalas senyum Sella.

"Aku harap kita bisa berteman baik yah,"ucap Sella.

Nadia mengangguk dan tersenyum.

Sejak itu Nadira benar-benar menekuni niatnya untuk mempelajari ajaran agamanya hingga pada suatu ketika Syifa berjalan tepat di depan kamar Nadira. Ia mendengar suara lantunan ayat suci yang indah dan sejuk, Syifa pun membuka pintu kamar itu dan memastikan siapa pemilik suara tersebut. Pintu pun terbuka, memperihatkan Nadira yang sedang duduk mengarah ke kiblat, Syifa hanya tersenyum dan menutup kembali pintu kamar Nadira, ia sangat senang melihat perubahan Nadira yang semakin membaik.

Dua tahun kemudian........

"Selamat untuk Nadira Kaisya karena telah menjadi santri terbaik dan penghafal 30 juz Al-Qur'an," Nadira terkejut ketika namanya disebut ia tidak menyangka bisa sampai pada titik ini dan menjadi santri terbaik.          

"Silahkan untuk Nadira bisa naik ke atas panggung," ia pun naik ke atas panggung dengan hati yang senang, MC pun memberikan penghargaan dan memberikan microphone-nya kepada Nadira.

"Assalamualaikum wr. Wb, sebelumnya Saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Pak Kyai dan Bu Nyai yang sudah memperbolehkan Saya untuk tinggal dan mempelajari ajaran agama di sini, dan saya ucapkan terimakasih untuk Ning Syifa karena tanpa dia mungkin Saya sudah tiada di dunia ini," ucap Nadira sambil menatap Syifa.

"Saya sangat bersyukur bisa sampai pada titik ini, dan sebenarnya penghargaan ini belum pantas untuk saya dapatkan karena saya masih banyak kekurangannya, mungkin itu saja terimakasih, wassalamualaikum wr.wb," Nadira pun turun dari panggung dan memeluk temannya.

Kini hari-hari Nadira semakin berwarna tidak seperti saat awal tinggal di pesantren dia selalu memikirkan dosa-dosanya dan selalu memikirkan perbuatan ayahnya, tetapi biar pun begitu Nadira tetap menyayangi ayahnya dan sekarang ia sedang mencoba berdamai dengan masalalunya. Masalalu yang indah namun berubah menjadi kelam dan kini keindahan itu datang kembali, ia sangat mensyukuri kenikmatan yang telah Allah SWT berikan.

"Ya Allah, terimakasih Engkau masih memberikan Aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, ya Allah, walaupun sekarang Aku tidak tahu di mana Ayahku dan bagaimana keadaannya dan sejahat apa pun dia, aku sudah memaafkannya dan jagalah Ayahku di manapun Ia berada ya Allah, aaminn," ucapnya mengakhiri do'a untuk Ayahnya.

Sudah beberapa tahun berlalu, kini Nadira sudah keluar dari pesantren itu, ia sekarang tengah membangun usahanya yang dulu ia pelajari saat di pesantren, ia juga sering mengikuti  bahkan mengisi pengajian-pengajian yang ada di tempat yang ia tinggali sekarang.




*Yusnaeni adalah Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Benda Sirampog Brebes, sekaligus mahasiswa semester 2 STIT Al-Hikmah Benda