Hembusan angin yang sangat dingin dipadukan dengan gelapnya malam menembus pori-pori kulit, jalanan
yang sunyi menambah keyakinan seorang perempuan berambut panjang yang terurai dan
acak-acakan menggunakan baju ketat dan seksi dengan make up yang sudah
tidak karuan, ia tengah berdiri di pembatas jembatan yang sangat sepi dan berfikir untuk mengakhiri hidupnya.
“Aaaaaaaaaahhhhhh,” Perempuan itu berteriak “Kenapa? Kenapa
harus aku yang mengalaminya?” ucapnya dengan suara yang semakin mengecil dan
diiringi isak tangis yang sangat pilu, saat ini hatinya sangat hancur karena
perbuatan ayahnya sendiri
Dia Nadira kaisya seorang perempuan berumur 18 tahun yang di
tinggalkan oleh ibunya sejak berumur 14 tahun, ia adalah anak yang baik dan ramah
dengan siapa pun, ibunya meningal karena menderita penyakit kanker otak yang
cukup parah dan perusahaan ayahnya yang kala itu hampir bangkrut tidak bisa
membiayai pengobatan ibunya hingga pada akhirnya ibunya meninggalkan mereka
untuk selamanya.
Sejak saat itu ayahnya berubah seratus delapan puluh derajat,
yang dulunya sangat perhatian dan menyayangi Nadira, juga sangat anti dengan
yang namanya minuman keras, kini setiap pulang entah dari mana dalam keadaan
mabuk dan sering membawa pulang wanita yang berbeda- beda.
Ayahnya tidak hanya suka mabuk dan bergonta-ganti wanita tapi
juga sering memukuli Nadira, jika melakukan kesalahan sekecil apapun tanpa
terkecuali, entah apa yang membuat ayahnya berubah semenjak ibunya tiada. Pada
akhirnya ayahnya yang sudah tidak memiliki uang sama sekali dengan teganya
menjual Nadira kepada lelaki tua berpenampilan seram dan berjenggot lebat.
“Ibu, Nadira cape, Bu…. Nadira ingin menyusul, Ibu,” ucapnya yang
masih diiringi derasnya air mata dan isak tangis
Hatinya hancur, ayah yang dulu dia
bangga-banggakan sekarang malah menjualnya, wajah yang terlihat lelah dan badan
yang lemas membuat tangannya perlahan-lahan terlepas dari besi pembatas jalan.
“Stooooop... Berhentiiiiiiiiii!!!” Suara
seseorang menyadarkannya, mata yang tadinya menutup siap untuk terjun dari
jembatan kembali terbuka menengok kebelakang memastikan siapa yang berteriak.
Terlihat tidak jauh dari sana seorang
perempuan dengan baju yang serba tertutup hanya menampakan wajah dan kakinya
sedang berlari kearah Nadira.
"Apa yang kamu lakuan?" teriak
perempuan itu kembali sambil memegang tangan Nadira, ia pun akhirnya turun dengan
dibantu oleh perempuan itu. Kini nadira sedang terduduk di samping pembatas
jembatan dengan badan yang bergetar sangat kencang dipadukan dengan dinginnya
malam.
"Lebih baik kamu ikut denganku,
setelah itu kamu bisa menceritakan apa yang terjadi denganmu," ucap
perempuan itu dengan tatapan mata yang sayu dan sejuk, Nadira hanya mengangguk,
tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Perempuan itu menuntun Nadira
ke dalam mobilnya.
Lima belas menit kemudian mereka telah
sampai di depan sebuah gerbang dengan cat berwarna dominan hijau dan terdapat
plang di atasnya bertuliskan Pondok Pesantren Nurul Hikmah berwarna putih, tidak
berselang lama gerbang pun di buka oleh dua laki-laki berumur tidak jauh
dengannya, mobilpun masuk dan berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat
besar berwarna putih.
"Ayo turun," ajak peremuan itu
sembari tersenyum.
"Eh, Iyah," ucap Nadira.
Nadira pun turun dari mobil, ia hanya
berdiri terdiam di depan rumah itu "Hei, kenapa bengong saja, ayo kita
masuk," ucap perempuan itu sambil menarik tangan Nadira membawanya ke ruang
tamu yang sangat luas.
Perempuan itu menyuruhnya untuk duduk terlebih
dahulu"Nia.....," panggilnya dengan suara yang halus, tidak berselang
lama datang seorang perempuan seumurannya sambil menundukkan kepalanya.
"Iyah Ning ada yang bisa saya
bantu?" ucap Nia.
"Tolong buatkan teh manis hangat
yah," ucap perempuan yang di sebut Ning itu, yah Nadira memang belum
mengetahui namanya karena sejak awal bertemu perempuan itu tidak mempekenalkan dirinya.
"Namaku Syifa dan kamu pasti
bingung kenapa dia memanggilku Ning," ucapnya dengan kembali
memperlihatkan senyumnya yang manis "Aku ini anak dari pemilik pesantren
ini dan sebutan Ning itu sebutan dari para Santri untuk memanggil kami,"
lanjutnya. Keadaan di rumah itu sedang sepi karna Abi dan Uminya sedang
menghadiri acara di pesantren lain.
"Sekarang siapa namamu? Dan kenapa
kamu sampai ingin mengakhiri hidupmu?” tanya Syifa.
Nadira hanya terdiam sambil menundukkan
kepalanya, air matapun kembali mengalir membasahi pipinya. Syifa berusaha
menenangkan Nia. Ia berkata bahwa semua akan baik-baik saja dan tak perlu
takut.
Tidak berselang lama Nia pun datang
dengan membawa dua cangkir teh hangat di nampan dan menaruhnya ke atas meja.
"Minum dulu ya, tenangkan pikiran
dan hatimu," ucap Syifa dengan halus dan meneduhkan.
Setelah lebih tenang, Nadira pun
mengangkat kepala dan menghapus air mata yang sedari tadi terus mengalir "Namaku
Nadira Kaisya, terima kasih telah menyelamatkanku," ucapnya dengan suara
yang serak.
"Baiklah ada apa denganmu hingga
berfikir ingin mengakhiri hidupmu?" ucap Syifa kembali bertanyadan
akhirnya Nadirapun menceritakan semua yang di alaminya hingga membuatnya
menjadi seperti sekarang, ia kembali meneteskan air matanya yang sedari tadi ia
tahan.
Syifa
tercengang setelah mendengar apa yang telah dialami oleh Nadira, dia
tidak menyangka ayah yang seharunya menjaga dan menyayangi anaknya malah
menjual dan membiarkan kehormatan anaknya direnggut oleh orang bejad, hatinya
ikut sakit setelah mendengarnya.
"Apakah Aku masih pantas untuk
hidup? Hiks...hiks...," ucap Nadira yang masih setia dengan tangisannya.
"Nadira, jangan berbicara seperti
itu, itu ujian untuk kamu karena Allah percaya kamu bisa menghadapinya," ucap
Syifa menenangkan Nadira
"Tapi Aku lelah, kenapa harus
seberat ini?" ucap Nadira, tidak menyangka hal-hal yang tidak pernah ia
inginkan terjadi padanya "dan apakah Allah masih mau memaafkanku atas apa
yang sudah Aku lakukan selama ini?" tambah Nadira.
Ia sudah frustasi tidak tahu lagi apa
yang harus ia lakukan ia merasa bahwa dirinya tidak akan pantas untuk
dimaafkan.
"Ingat Nadira, Allah itu maha
memaafkan sebesar apapun kesalahanmu, jika kamu benar-benar ingin berubah Allah
pasti akan memaafkanmu. Lagi pula kamu terpaksa melakukan semua ini. Kamu nggak
bersalah Nadira," ucap Syifa meyakinkan Nadira.
"Tapi bagaimana Aku bisa berubah? Beribadah
saja aku sangat jarang," ucap Nadira
"Mmmm, bagaimana kalau kamu di sini
saja, belajar agama di sini," ucap Syifa menawarkan "nanti
kusampaikan pada Abi dan Umi," tambahnya.
”Tapi aku nggak pantas di tempat seperti
ini, aku sudah....”
Belum sempat Nadira menyelesaikan
ucapannya, Syifa memeluknya sambil menangis. Mereka pun hanyut dalam tangisan
bak saudara, tanpa ada sekat sedikit pun.
***
Kini Nadira sudah berada di kamar yang
sudah disiapkan oleh Syifa, di kamar itu Nadira tidak sendirian karena setiap
kamar di isi oleh dua orang anak, dan di kamar itu sudah ada 2 anak yang
menempatinya.
"Hai anak baru yah? Aku Sella udah
dua tahun Aku di sini," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan
tangannya dan memperlihatkan senyum manisnya.
"Aku Nadira," ucapnya yang
juga mengulurkan tangan sambil membalas senyum Sella.
"Aku harap kita bisa berteman baik
yah,"ucap Sella.
Nadia mengangguk dan tersenyum.
Sejak itu Nadira benar-benar menekuni
niatnya untuk mempelajari ajaran agamanya hingga pada suatu ketika Syifa
berjalan tepat di depan kamar Nadira. Ia mendengar suara lantunan ayat suci
yang indah dan sejuk, Syifa pun membuka pintu kamar itu dan memastikan siapa
pemilik suara tersebut. Pintu pun terbuka, memperihatkan Nadira yang sedang
duduk mengarah ke kiblat, Syifa hanya tersenyum dan menutup kembali pintu kamar
Nadira, ia sangat senang melihat perubahan Nadira yang semakin membaik.
Dua tahun kemudian........
"Selamat untuk Nadira Kaisya karena
telah menjadi santri terbaik dan penghafal 30 juz Al-Qur'an," Nadira
terkejut ketika namanya disebut ia tidak menyangka bisa sampai pada titik ini
dan menjadi santri terbaik.
"Silahkan untuk Nadira bisa naik ke
atas panggung," ia pun naik ke atas panggung dengan hati yang senang, MC
pun memberikan penghargaan dan memberikan microphone-nya
kepada Nadira.
"Assalamualaikum wr. Wb, sebelumnya
Saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Pak Kyai dan Bu Nyai yang
sudah memperbolehkan Saya untuk tinggal dan mempelajari ajaran agama di sini,
dan saya ucapkan terimakasih untuk Ning Syifa karena tanpa dia mungkin Saya
sudah tiada di dunia ini," ucap Nadira sambil menatap Syifa.
"Saya sangat bersyukur bisa sampai
pada titik ini, dan sebenarnya penghargaan ini belum pantas untuk saya dapatkan
karena saya masih banyak kekurangannya, mungkin itu saja terimakasih,
wassalamualaikum wr.wb," Nadira pun turun dari panggung dan memeluk temannya.
Kini hari-hari Nadira semakin berwarna
tidak seperti saat awal tinggal di pesantren dia selalu memikirkan dosa-dosanya
dan selalu memikirkan perbuatan ayahnya, tetapi biar pun begitu Nadira tetap
menyayangi ayahnya dan sekarang ia sedang mencoba berdamai dengan masalalunya. Masalalu
yang indah namun berubah menjadi kelam dan kini keindahan itu datang kembali,
ia sangat mensyukuri kenikmatan yang telah Allah SWT berikan.
"Ya Allah, terimakasih Engkau masih
memberikan Aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, ya Allah, walaupun
sekarang Aku tidak tahu di mana Ayahku dan bagaimana keadaannya dan sejahat apa
pun dia, aku sudah memaafkannya dan jagalah Ayahku di manapun Ia berada ya
Allah, aaminn," ucapnya mengakhiri do'a untuk Ayahnya.
Sudah beberapa tahun berlalu, kini Nadira
sudah keluar dari pesantren itu, ia sekarang tengah membangun usahanya yang
dulu ia pelajari saat di pesantren, ia juga sering mengikuti bahkan mengisi pengajian-pengajian yang ada di
tempat yang ia tinggali sekarang.
*Yusnaeni adalah Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Benda Sirampog Brebes, sekaligus mahasiswa semester 2 STIT Al-Hikmah Benda