Menyelami Cobaan di Pesantren

 


Suatu suatu hari di sebuah pondok pesantren ada seorang santri yang bernama Arif. Ia berasal dari salah satu Kota di Jawa Tengah. Perawakannya terbilang sangat kecil dan kurus, tapi ia seorang santri yang pintar. Ketika Arif pertama masuk pesantren, ia bertemu banyak teman yang berbeda secara latar belakang keluarga, suku, hingga bahasa daerah yang berbeda. Dua teman yang satu kamar dengannya bernama Edi dan Zain. Saat arif baru pertama masuk pesantren ia malu untuk berkanalan dan berbicara dengan teman-temannya.Selang beberapa bulan di pondok, akhirnya Arif betah dan mulai berani bercakap–cakap dengan teman sekamarnya.

Suatu ketika di tangan Arif tumbuh benjolan kecil dan terasa sakit, ternyata Arif terkena penyakit gudik. Gudik yang tumbuh di tangan Arif dikarenakan Arif kurang menjaga kebersihan tubuhnya atau lingkungan kamarnya yang mungkin kurang bersih.

“Arif, tangan kamu kenapa kok ada benjolan merah dan bernanah?” ucap Edi, kawan sekamarnya yang bertubuh gempal.

“Nggak tau, kok pas aku bangun tidur tiba-tiba tanganku kayak gini, sebelum aku tidur belum,ada benjolan seperti ini, ” jawab si Arif yang sedang bingung dan kesakitan.

“Mungkin tanganmu terkena penyakit gudik,” ungkap Edi sembari memeriksa tangan Arif.

“Iya kayaknya, Ed,” jawab Arif.

“Kata kakak kelas kita kalau terkena gudik, cara menyembuhkanya pake salep dan selalu jaga kebersihan, Rif,” ujar Zain yang sedari tadi ikut mengamati tangan Arif yang terkena gudik.

“Udah ayo ke apotek, beli salep.” Edi mengajak kedua kawannya untuk bergegas, sebelum waktu sholat maghrib tiba.

Arif dan Zain menjawab “Ayo, gas!

Akhirnya mereka bertiga pergi untuk beli salep di apotek terdekat.

Sepulang dari apotek, Arif langsung mandi lalu mengoleskansalep pada kulit yang terkena gudik. Selang beberapa minggu, penyakit gudik Arif sembuh, tapi beberapa minggu kemudian Arif terkena gudik lagi. Saat itu Arif nangis karena gudik di tangan Arif lebih banyak dari sebelumnya, karena Arif tidak kuat dengan penyakit gudik tersebut ia memutuskan untuk pulang ke rumah, Tapi Zain menghentikannya.

“Kamu mau kemana, Rif?”

“Akum au pulang ke rumah, Zain. Sudah tak tahan dengan penyakit ini.”

“Tunggu dulu, Rif. Di sini bukan hanya kamu kok, ada beberapa santri lain, tapi mereka gak pulang.” Zain berusaha menahan Arif dan mencarikan solusi.

“Loh, Rif.. Kok tanganmu kaya tirex gitu.” Tiba-tiba Anas, santri kamar sebelah datang dan mengolok-olok Arif. “Kok bawa barang banyak, mau minggat?”

Mendengar ejekan Anas, Arif semakin bulat untuk boyong dan meneruskan sekolah di rumah. Zain memberikan tatapan tajam pada Anas seraya memberi kode agar ia diam dan pergi.

“Apaan sih kamu, Zain? Benerkan tangannya kaya tirex gitu?”

Tanpa banyak bicara, Zain mendorong Anas hingga jatuh. Ia memasang kuda-kuda, seakan mengajak Anas untuk bertengkar.

“Kalau disuruh diem ya diem, kawan kita lagi kesusahan gini, malah kamu hina!” Zain terdengar sangat keras dan membentak.

“Zain, udah Zain. Aku nggak papa kok…” Arif berusaha melerai.

Suara Zain itu terdengar sampai kamar ustaz yang tak jauh dari tempat keributan.

“Ada apa ribut-ribut? Zain? Anas? Kalian bertengkar?

Mereka bertiga dipanggil oleh pengurus keamanan dan ustaz untuk disidang, saat itu juga. Ustaz bertanya ke Zain, sebagai santri yang dinilai selalu menaati aturan, terlebih dahulu. Zain menjawab bahwa Anas mengolok-olok Arif yang sedang sakit gudik dan ingin boyong. Saat diperingatkan, Anas justru menantangnya dan tetap menghina Arif.

“Benar begitu, Anas?”

Anas hanya diam dan mengangguk, ia memang seringkali membuat onar di pesantren. Beruntung ustaz cukup bijak untuk memberi nasihat dan meminta Anas minta maaf dengan tulus ke Arif. Zain pun langsung minta maaf terlebih dahulu pada Anas karena telah mendorongnya.

Akhirnya semua saling memaafkan dan perihal penyakit gudik yang diderita Arif akan ditindaklanjuti dengan peningkatan kebersihan di Pondok, bahkan pihak pondok mengundang salah seorang dokter kulit untuk memberikan sosialisasi pada para santri.

Perlahan penyakit Arif mulai sembuh, ia bisa belajar seperti sedia kala. Kebersihan di pondok pun ditingkatkan, hingga enam bulan kemudian banyak santri yang sudah sembuh dari penyakit gudik. Arif tumbuh menjadi santri yang rajin dan pintar di sekolah maupun saat pengajian pondok. Peristiwa enam bulan lalu, saat Zain dan Anas bertengkar di hadapannya memberi pelajaran berharga, bahwa mem-bully orang lain adalah perbuatan yang sangat tercela, bahwa tidak semua mental korban bully bisa tegar. Walau begitu, pondok pesantren selalu menghadirkan berbagai karakter orang yang unik, dengan kisah-kisah yang tak kalah menarik. Arif mulai membiasakan diri dengan hal tersebut, laiknya miniatur dalam kehidupan bermasyarakat yang sesungguhnya.




* Arul Elfansyah adalah mahasiswa semester 2 STIT Al-Hikmah Benda, sekaligus santri di Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Benda Sirampog Brebes

Posting Komentar