Lautan Anarki

 


Di sebuah kota besar terdapat salah satu desa di tepian sungai, desa yang subur akan keanekaragaman hayati lautannya, mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Di sana terdapat banyak sekali jenis hewan hewan laut, salah satunya rajungan yang biasa ditangkap oleh nelayan, ia adalah hewan yang masih satu spesies dengan kepiting 🦀, namun rajungan hanya dapat hidup di air tak mampu hidup di darat.

Dari laut lah mereka mengepuli dapurnya, bak seorang pahlawan yang dapat menghidupi semua orang di sekitarnya, laut memang sudah menjadi mata pencaharian warga lokal.

Sayangnya bagi seorang Roni kecil, salah seorang anak yang tinggal di desa tersebut menganggap laut sebagai malapetaka baginya, karena ia hanya memiliki seorang perempuan di dalam hidupnya.

"Dalam kesunyian malam, ia berangkat bersama dua temannya, menuju samudra lepas di sana." Sembari menunjuk arah laut. “Dengan peralatan sederhana seperti sampan yang usang, jaring yang bolong dan tak lupa cotom (penutup kepala dari kayu) untuk melindunginya dari terik matahari."

“Hanya bermodalkan insting seorang nelayan tanpa adanya alat pendeteksi apa pun, Mereka bertiga berlayar mencari tempat di mana rajungan banyak ditemukan," ucapnya sambil menghela nafas. “Namun na’as, hal yang tak diinginkan terjadi, setelah sampai di tengah lautan dan mereka baru akan melemparkan jaring, ombak yang besar pun datang menimpa perahu mereka."

“Ombak yang ganas tersebut melahap habis sampan beserta sang empunya, tanpa ampun ombak tersebut menenggelamkan mereka semua, hingga tak terlihat dari penglihatan mata. Dari bibir pantai, terlihat ombak ganas itu. Tak lama kemudian datanglah seorang nelayan lain yang memberi tahukan berita duka kemari." Ia masih menatap laut yang telah melahap habis orang yang dicintainya. “Aku pun langsung lemas mengetahui hal tersebut, dengan tubuh yang lunglai aku kembali ke rumah. Selang beberapa waktu berangkat lah para timsar beserta nelayan setempat, untuk mencari mereka semua yang terlahap ombak."

“Sampai akhirnya di malam hari tim SAR menemukan puing puing dari sampan yang di gunakan untuk berlayar tadi dan membawa semua korban ke rumah masing masing, salah satunya di bawa ke rumah ini," ujar seorang wanita paruh baya sambil mengusap setetes air yang sebentar lagi akan membasahi pipinya.

Roni dewasa pun akhirnya mengerti akan hal yang menjadikannya trauma kepada air laut, di masa kecil ibunya hanya berkata bahwa ayahnya sedang berlayar ke lautan namun tak kunjung datang.

Penderitaan Roni tak sampai di situ saja, Saat ia beranjak dewasa makin banyak malapetaka yang mendatangi ke daerahnya, malapetaka tersebut terjadi bukan karena tanpa adanya alasan, melainkan banyak sekali alasan yang mengundang malapetaka berdatangan, salah satunya adalah tingkah laku para pejabat yang tak tahu malu.

Setelah Roni dewasa, ia mewarisi profesi bapaknya, lebih tepatnya ia terpaksa mengikuti profesi bapaknya karena ketiadaannya keadilan yang merata di daerahnya, yang mengakibatkan roni hanya bersekolah sampai lulus SD saja.

Mau bagaimana lagi, ia hanya hidup bersama ibunya saja, setelah kepergian ayahnya ibu roni bekerja sebagai penjual kue keliling yang omsetnya hanya cukup untuk keperluan sehari harinya.

Sekarang roni tak hanya menghadapi gelombang ombak saja, ia juga harus menghadapi para petinggi yang lebih mementingkan kepentingan cukong-cukong yang lebih menguntungkanya tanpa memikirkan warga sekitar yang terombang-ambing dibuatnya.  

Bagaimana tak terombang-ambing sebagian dari jalur yang digunakan sebagai jalur penghubung antara desa dan lautan sana diblokir secara semena-mena, tanpa adanya persetujuan dari masyarakat setempat yang mengakibatkan tersendaknya arus pulang pergi dari nelayan dan mengakibatkan penurunan dalam pemasukan mereka.

Jalur tersebut diblokade menggunakan beton besar yang ditenggelamkan sampai menyentuh lantai tanah yang paling bawah, beton tersebut digunakan sebagai pondasi untuk bangunan yang megah nan indah yang akan difungsikan sebagai tambang minyak.

Di mana setiap harinya berdatangan silih berganti ratusan truk besar yang mengangkut tanah untuk menjadikan perairan tersebut sebagai daratan, agar alat-alat yang akan di gunakan untuk mengebor dapat dengan mudah diletakan di area tersebut.

Setelah dua pekan berlalu, warga sekitar mulai geram dengan tingkah laku para pejabat setempat yang sudah sangat keterlaluan dalam merampas dan merusak semua aset terpenting mereka.

Akhirnya Roni pun berinisiatif untuk mengumpulkan warga sekitar untuk bersama-sama meminta keadilan yang selama ini masih ditanyakan keberadaan nya.

Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan para warga karena mereka juga merasakan hal yang sama, akhirnya sekitar 100 warga lokal terdiri kalangan tua serta kaum muda yang di komandoi Roni pun berangkat menuju tempat yang sedang dibangun tersebut.

Mereka semua menuntut keadilan yang tak kunjung mereka dapatkan padahal ini bukan negeri orang, ini negeri mereka sendiri namun mengapa kita yang harus terus menerus mengemis dan mengemis.

Setelah sampai di sana Roni yang berada di barisan depan langsung dihadang oleh para bodyguard yang bertubuh kekar, Roni terus menerus menggaungkan suara dengan lantang dengan megaphone, menuntut agar semua hak-hak mereka dikembalikan dan dihentikannya semua eksploitasi alam yang sudah terjadi.

Setelah sekitar 15 menitan mereka melakukan aksi unjuk rasa di depan sana, tak ada respon sama sekali dari pihak pengembang, akhirnya para masa pun melakukan aksi anarkis seperti menghujani para bodyguard dengan batu dan merusak sebagian kecil alat yang berada di sekitar mereka, namun para bodyguard tersebut tak mau kalah mereka justru lebih anarkis, mereka melakukan sebuah aksi kejam seperti menarik satu orang secara bergantian untuk dipukuli habis-habisan.

Salah satu dari korban kekerasan tersebut adalah Roni, ia sebagai garda terdepan sudah pasti terkena resiko seperti itu, setelah kejadian tadi Roni terus bertahan di situ sampai tak lama kemudian datanglah seorang pimpinan perusahaan yang menawarkan sebuah negosiasi yang tentunya tak seimbang, di mana ia menawarkan untuk warga sekitar akan bisa bekerja menjadi karyawan di sana.

Namun mau bagaimana lagi dengan berat hati mereka menerima tawaran tersebut karena tidak ada pilihan lain, mereka tak punya kekuatan baik polik maupun massa. Akhirnya para masa pun pulang ke rumah masing masing.

Setelah perusahaan itu dapat dioperasikan, memang benar sebagian dari warga setempat diterima sebagai karyawan disana, namun tidak dengan Roni yang hanya lulusan SD, karena di perusahaan tersebut hanya menerima lulusan SMA untuk menjadi pekerja di sana, dan lulusan SD yang melamar pekerjaan di sana hanya dijadikan sebagai OB. Roni terpaksa menjadi OB karena lautnya telah dirampas, ia harus pergi agak ke tengah Samudra agar bisa mendapatkan hasil tangkapan. Tentu dengan perahu kecil, tidak akan mampu lakukan itu.

Tiga tahun kemudian, masyarakat semakin bergantung pada perusahaan tersebut, namun tidak sedikit dari mereka yang terkena PHK. Letak perusahaan tersebut cukup jauh dari pemukiman, menjadikan akses yang sulit dan butuh biaya untuk sampai ke sana. Warga makin susah dan sebagian memilih pergi merantau.

Pada suatu sore, terjadi hutan badai dan angin puting beliung, pusat bencana itu ada di dekat Perusahaan yang telah merampas hak warga dan alam untuk tetap lestari. Ombak yang tinggi disertai angin kencang memporak-porandakan Gedung-gedung dari perusahaan tersebut, begitu pun sebagian rumah warga.

Keesokan harinya, ditemukan beberapa pekerja dan jajaran direksi perusahaan yang sudah tak bernyawa, karena tertimpa bangunan hingga terseret ombak. Korban jiwa mencapai angka belasan, namun tak ada satu pun pekerja dari desa yang meninggal, karena mereka bisa berenang dan kebetulan Gedung utama yang berisikan pekerja lokal tidak rata dengan tanah.

Rupanya lautan marah dengan penindasan struktural yang terjadi di sana. Setelah diusut, ternyata AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) perusahaan itu begitu bermasalah. Perusahaan itu membuat laut yang dulunya biru kini menjadi berwarna kecoklatan. Sebab itulah alam memberikan peringatan pada mereka dan membebaskan warga dari belenggu penindasan.

Sejak peristiwa tersebut Pabrik sudah tidak dapat beroperasi, masyarakat berbondong-bondong membersihkan sisa puing bangunan dan mengambil beberapa hal yang bisa mereka manfaatkan. Tidak ada lagi perusahaan yang berani membangun pabrik di situ, masyarakat mengambil peluang untuk menjadikan itu semacam kepercayaan bahwa siapa pun yang merusak alam, akan terkena azab hingga meninggal.



* Muqtafa Deka Yunensa adalah mahasiswa Semester 2 jurusan Pendidikan Bahasa Arab di UIN Walisongo Semarang, ia juga alumni Kelas Menulis Romansa Angkatan 3.

Posting Komentar