Konon katanya, mempunyai cerita asmara di masa
perkuliahan adalah hal yang menyenangkan, apalagi di masa perkuliahan ini
sangat membutuhkan seseorang untuk melewati setiap-setiap proses perjalanan
kuliah. Aku adalah orang yang sangat sulit untuk jatuh cinta, bahkan tidak
pernah menemukan sesorang yang bisa dibilang ‘orang yang tepat atau cocok
denganku’. Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang pria yang bernama Abit,
dia satu kampus denganku, tetapi kita berbeda jurusan.
Awal mulanya, aku dan temanku nongkrong di sebuah cafe,
temanku adalah sepupunya Abit, lalu dia pun mengajaknya untuk ke tempat itu.
Tidak lama kemudian, Abit pun datang dan kita saling mengenal satu sama lain. Seiring
berjalannya waktu, mulai ada kedekatan antara kita dan lebih banyak waktu untuk
bertemu dengan dia.
Pada malam itu, temannya pun mengajakku dan temanku
untuk night ride ke daerah Malioboro. Aku pun bilang ke Abit.
“Lo mau ga bawa beban, boncengin gue?”
“Ya, ayo, selaw,” kata Abit.
Akhirnya aku dan Abit night ride satu motor
berdua dengan motor ninja merah milik dia. Di perjalanan kita saling bercerita mengenai
banyak hal dan saat itu pun turun hujan deras.
“Motor gue punya perasaan tau, motor lu punya perasaan
ga?” kata Abit.
“Dih! Aneh pertanyaannya, masa motor punya perasaan,”
jawabku.
Sesampainya di Malioboro, kita berhenti di sebuah angkringan,
hanya beberapa jam di sana sambil menikmati suasana dini hari dan dinginnya
Malioboro sehabis hujan. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB, saatnya
kembali untuk pulang karena mengingat adanya jam kuliah di pagi hari.
Perjalanan pulang sangatlah dingin sehingga badanku menggigil.
“Dingin banget gilaa, sampai gue menggigil,” kataku.
“Kalau lo kedinginan nih pake sarung tangan gue, mau
ga?” kata Abit.
“Ga, deh, kan lo yang nyetir, masa gue yang pake.” Aku
menolak tawaran dari Abit.
Sesampainya di kos, aku bilang ke Abit.
“Makasih ya, semalam udah boncengin gue.”
“Sama-sama, selaw-selaw,” kata Abit.
Aku pun langsung bersiap-siap untuk kuliah.
Mulai dari night ride, kita semakin dekat
selayaknya teman yang baru akrab. Aku dan Abit memiliki rencana untuk pulang
bersama ke kota kita masing-masing dengan menggunakan kereta. Tepat waktunya
pada tanggal 17 Mei 2023, aku dan Abit bersiap-siap untuk pulang, tetapi
sebelum kepulangan, ia menginap semalam di rumah sepupunya.
Pagi hari pun aku menyusul ke rumah sepupunya karena
ingin menitipkan motor. Sesampainya di rumah sepupunya, waktu sudah menunjukkan
pukul 10.30 WIB. Sepupu Abit adalah temanku, ia mengantarkan kami ke stasiun. Lalu,
sesampainya di stasiun, aku dan Abit masuk ke dalam karena kereta akan segera
berangkat.
Di dalam kereta, kita berdua duduk di satu bangku.
Sepanjang perjalanan, di balik jendela kereta, kita menikmati pemandangan yang
ada di luar sambil berbicara mengenai banyak hal.
“Ih! Pantainya cakep banget,” kataku.
Aku dan Abit turun di stasiun yang berbeda karena kita
beda kota. Tiba di kotaku, aku pun turun dari kereta, dia yang melihatku dari
tempat duduk sambil bilang “hati-hati ya, kalau udah sampai rumah bilang,” kata
Abit. Kata-kata sederhana yang dia ucapkan kepadaku berhasil membuatku bahagia,
meskipun kalimat itu sederhana, tapi tidak semua orang lain bisa, bahkan hal
kecil yang dilupakan oleh manusia.
Sesampainya aku di stasiun, aku langsung menghubungi
temanku untuk meminta jemput, sesampainya di rumah, aku langsung mengirimkan pesan
untuk Abit.
“Gimana lo udah sampai belum?” tanyaku.
“Udah nih, baru sampai rumah,” jawab Abit.
Selama di rumah, kita mempunyai kesibukan
masing-masing, tapi terkadang masih tetap berkomunikasi via chat whatsapp,
Kita banyak membahas mengenai musik, karena genre musik yang kita dengar
memiliki kesamaan. Liburan telah usai, aku dan Abit merencanakan tanggal untuk
balik ke Jogja, tetapi karena kita beda kota dan naik di stasiun yang berbeda,
aku memutuskan untuk tidak pulang bersama Abit.
“Lo duluan aja deh, daripada nanti ribet soalnya kita
beda stasiun.”
“Oke, hati-hati ye,” kata Abit.
Pada sore hari, aku melakukan perjalanan untuk balik
ke Jogja, sementara Abit sudah sampai di Jogja. Saat itu pun aku mengeluh
dengan Abit melalui chat whatsapp karena jalanan yang ramai dengan para
kendaraan sehingga padat merayap.
“BITTT,,,, YA ALLAH MACETT PARAHH!!!!” Dengan nada
ketikan yang emosi. Perjalanan dari kotaku ke kota Jogja yaitu estimasi waktu
enam jam, tetapi ditambah dengan padatnya jalanan menjadi sepuluh jam. Aku
sudah sangat kesal dan emosi karena di pagi hari ada jam kuliah.
“Mana nanti pagi gue kuliah lagi, nangiss banget!!!” kataku.
“Lo mending nanti istirahat aja deh, daripada lo masuk
terus sakit, nanti malah jadi ga masuk berhari-hari,” jawab Abit.
Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi dan sebentar
lagi aku turun dari bus, aku pun langsung menelepon Abit untuk menjemputku.
Setelah aku turun dari bus, tidak lama Abit datang dengan membawa motor dan
helm temannya, ia sudah paham kalau membawa motor ninja merahnya, aku akan
kesulitan untuk membawa barang bawaan.
Seiring berjalannya waktu aku merasa semakin dekat
dengannya, pikiran dan perasaaanku kacau. Selama kedekatan kita yang sudah
berjalan selama beberapa bulan, ada perasaan-perasaan aneh yang muncul, sampai
di bawah alam sadarku, ternyata aku sudah menyukainya. Iya, aku menyukainya.
Namun, lagi dan lagi aku selalu mengelak perasaan itu dan aku berpikir bahwa ia
juga menyukaiku, karena melihat dari sikap yang ia tunjukkan kepadaku.
Dari semua obrolan kita, aku merasa ada kecocokan di antara
aku dan dia, mulai dari genre musik, hobi, latar belakang, dan pikiran
yang sejalan. Aku menganggap bahwa dia adalah orang yang tepat. Iya, orang yang
selama ini aku cari, orang yang aku anggap berbeda dari yang lain, di bawah
alam sadarku, aku mengakui bahwa dia adalah orang yang tepat, yang tidak pernah
aku temukan dia di diri orang lain. Namun, lagi dan lagi aku mengelak hal itu.
Pada malam minggu, aku pergi ke rumah Abit dan
membelikan makan untuknya karena ingin memberi tanda terima kasih sudah
menjemputku waktu itu. Kalau ga ada dia, gatau lagi deh gimana, hehehe. Akhirnya,
aku tiba di rumah Abit, lalu mengetuk pintu rumahnya. Aku menunggu Abit, tetapi
tidak ada jawaban. Aku langsung masuk ke dalam rumahnya. Shitt… dengan
perasaan sangat kaget, aku melihat tiga botol minuman.
“BITTT,,, LO???” Aku pun terdiam sejenak, MABOKK?? ITU
ALKHOHOL KAN?? Perasaanku campur aduk. Aku merasa kecewa berat karena tahu dia
mengosumsi minuman keras, aku sangat berekspektasi dengan dia bahwa dia tidak
akan melakukan hal itu. Namun, faktanya berbanding terbalik.
Aku sangat tidak menyukai seorang peminum, bahkan aku
tidak bisa menerima alasan apapun yang menyebabkan dia mengosumsi minuman
keras. Apa yang aku tidak suka dilakukan oleh orang yang aku suka rasanya
sangatlah sakit dan berujung kecewa. Saat itu, aku pun mulai menghindarinya dan
merasakan ada yang berbeda dari aku dan dia.Tiga minggu kemudian, setelah kita lost contact,
aku mendengar kabar bahwa dia tahu kalau aku menyukainya, dan dia menitipkan
pesan untukku.
“Gue tau kalau dia punya perasaan sama gue, awalnya
gue pengen kenalan dan kalau bisa jadi temen deket dia dan gue minta maaf kalau
ada sikap gue yang berlebihan ke dia.”
Dari situlah aku merasakan patah hati. Yaa, meskipun
tidak bisa menangis, tetapi tetap saja melupakannya adalah hal yang paling
sulit dan sakit.
“Oh, ternyata aku salah baca pertanda yah.” Semua
sikap yang dia tunjukkan kepadaku ternyata mempunyai alasan di baliknya.
Aku pun berusaha untuk melupakannya, melupakan setiap
kenangannya yang sudah dilalui bersama, kisahnya singkat tetapi membekas. Aku
terus berpikir, mungkin dia bukan yang terbaik untukku. Jadi, biarkanlah dia
pergi dengan sebebas-bebasnya, karena hakikat mencintai tak harus memiliki.
Pada akhirnya, manusia hanyalah berandai, berharap, lalu ikhlaslah yang menjadi
ending terbaiknya.Terima kasih telah singgah di ceritaku.