Pertalite: Makna Sebuah Antrian Panjang

 


“Apa salahnya untuk menghindar agar tidak terus-terusan mengantri hanya karena ke mini market melesat dengan kendaraan”

Lantaran gonjang-ganjing harga minyak dunia, hiruk-pikuk aktifitas kaum urban bukan lagi didasari seberapa manfaatnya internet untuk menunjukan identitasnya. Dari fenomena dunia yang terglobalkan saat ini justru kaum urban mati-matian untuk menemukan yang murah meriah namun sulit ditemukan. Beberapa SPBU jelas-jelas memajang palang bahwa pertalite yang dicari-cari sedang kosong atau dalam perjalanan yang entah kapan barang yang kian langka itu kembali tersedia. Sejak si biru pertamax harganya menjulang, sebagian besar alamiahnya kaum urban akan mengambil sikap untuk mencoba bersahabat dengan nominal gaji yang cenderung flat: “mengisi pertalite”, tetapi situasi antrian panjang di setiap SPBU sekarang menjadi tekanan batin. Itu artinya, dunia hendak bertanya: cara apa yang akan kau pilih wahai anak Adam?

Apa mungkin mode ke-kota-an kita sekarang ini akan bertahan --yang tiap kali buka jok motor kemudian memiuh tutup tangki bensin sekadar melirik-lirik “baiknya diisi apa?”. Pertanyaan ini menggiring saya untuk sekadar menebak; akankah Anda berkepribadian “murah tapi mahal” yang ditunjang dengan sepoles pengetahuan atau tetap menjadi parasit bagi pegawai SPBU yang tiap kali pusing melihat antrian pertalite memanjang seperti acara job fair di kota-kota besar.

Setidaknya hanya ada empat unsur kehidupan kita saat ini. Hanya saja, semenjak penemuan-penemuan yang dianggap superior itu malah membawa kita mengorbankan untuk cucu kita sampai ke cucu kita lagi. Jika kita alamati minyak bumi sebagai salah satu energi yang memang akan habis pada waktunya, malah akan lebih cepat habis apabila industri otomotif terus-terusan memproduksi yang maknanya itu-itu saja dengan standar lama, maka kita akan bisa bayangkan bagaimana ledakan populasi yang kian melejit, eksodus ke satu kota sebagai birahi mode, jelas-jelas delman hanya cerita kuyu, becak akhirnya di pajang sebagai kendaraan antik di museum Fatahila, dan pedagang sayur meninggali gerobaknya yang dianggap satu kelelahan untuk mengitari perumahan komplek yang bersih. Metode mencocok-kan seperti ini hanya dapat kita temukan dengan merenungi dalam antrian pertalite di SPBU kesayangan kita.

Terlalu jauh kita mempersoalkan dua kutub di belahan Eropa yang menjadi sebab carut-marutnya ketersediaan pertalite atau mungkin terlalu idealis juga mahasiswa yang berbusa-busa mulutnya mengkritik kebijakan pemerintah yang—sedang akan—menaikan beberapa jenis bahan bakar. Bagi saya, persoalannya sederhana; kebutuhan disadari (bukan didasari) dari keinginan mengikuti trend. Sadar. Iya, sadar. Sekali lagi, yang saya maksudkan adalah untuk menggapai kenikmatan seyogyanya kita menyadari dulu kenikmatan itu apa? Missl, untuk menikmati jajanan mini market sekarang ini adalah sebuah kebutuhan yang mudah, kita tidak ragu menggunakan kendaraan lincah kita dan tanpa pertimbangan bagaimana sulitnya mendapatkan pertalite, dari sini, kita tidak sadar bahwa trend membawa kita ke sebuah kecelakaan murni yaitu ikut mengantri di SPBU. Sebagai contoh lain, untuk menghadiri beberapa acara dari satu tempat ke tempat lain atau pergi-pulang dari atau ke tempat kerja, sebenarnya transportasi masal yang ada adalah pilihan alternatif (selagi masih mau berkorban untuk berpikir mahalnya bayar cicilan kendaraan).

Memilih adalah media manusia untuk menentukan langkahnya, jiwanya tergerak bisa dari pengalaman atau pengetahuan yang memang pantas. Antara naik motor atau jalan kaki. Namun, pengetahuan ini juga yang akhirnya membawa para pedagang menyublimasikan dirinya dari menggenjot dagangannya sebagai cara ia berdagang berubah menjadi memijit-mijit gas motor yang dimodif bagian belakangnya berbentuk kotak panjang sebagai alat peraga dagangannya. Hal yang diangap sebagai kemudahan ini tidak disadari akan melumatkan bagian hidup mereka.

Betapa ketidak-ketergantungannya bagi manusia minimal manfaatnya adalah mengurangi tekanan batin dalam antrian di bawah terik matahari di SPBU. Mengikuti trend artinya, mengikuti cara-cara umum bagaimana manusia mulai dari membentuk pola hingga mengambil sikap dalam hidupnya. Mereka yang terpesona akan gaya hidup sejatinya hendak didasari (bukan disadari) oleh keluaran-keluaran baru yang menantang hidupnya, alih-alih ingin memiliki, karena menurutnya tanpa itu mereka kerja tanpa hasil. Lihatlah brosur-brosur perkreditan, kemudian sambunglah brosur itu dengan volume kendaraan yang lulus produksi ribuan jumlahnya keluar dari pabrik. Betapa terperangahnya orang. Maka, akan sampai pada tahap bahwa mode kekinian yang semakin mengikuti jaman akan diikuti dengan barang-barang lama yang langka hingga terciptanya banyak komunitas barang antik, yang antik tetap menggunakan yang akan habis, apalagi baru, yang mengompromikan gajinya yang cenderung flat sementara cicilannya mencekik kerongkongan, siasat memasukan selang selain pertalite ke dalam tenggorokan kuda besinya adalah suatu keharaman. Akhirnya, yang akan habis, akan terus tergerus keberadaannya.

Fenomena antrian yang kerap saya amati dari satu SPBU ke SPBU lainnya adalah kecenderungan kita akan kemudahan melakoni hidup hanya sesaat. Sampai di sini saya mau bilang, “jika mode kita sudah pada level modern, apa salahnya untuk menghindar agar tidak terus-terusan mengantri hanya karena ke minimarket melesat dengan kendaraan”. Memang susah menyadarkan orang jika kedua kaki-nya adalah ciptaan Tuhan yang memiliki kuasa atas segala kesusahannya.


 

Ade Novianto

Alumni Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia

Beberapa tulisannya terbit di media (beberapa karena tidak ada apa-apanya. Coba kalau ada apa-apanya, kemungkinan banyak. Hmmpp…)

 

Mbah Sodik

 




Selepas sowan bersama bapaknya di rumah Pak Kiai, Kang Harun hendak melaksanakan salat Magrib di musala salah satu pesantren di kota R, yang akan dihuninya itu. Kebetulan waktu berkunjung sangat mepet dengan waktu sembahyang sehingga mereka berdua tidak mendapati jamaah bersama. Setelah keduanya selesai berwudu, muncullah seorang paruh baya berkupluk hitam. Setelan bajunya (mohon maaf) jauh dari kata bagus. Sarungnya sudah ngepir seperti pegas, mungkin sudah saking lamanya dipakai. Bapak dari Kang Harun mempersilakan beliau untuk menjadi imam namun orang itu menolak dengan cukup halus. Suaranya sangat khas, serak dan lirih. Keduanya saling memajukan yang lain. Meski begitu, mereka akhirnya tetap salat jamaah bertiga dengan kakek itu sebagai imam.

***

Ada seseorang yang sosoknya sangat sederhana dan begitu bersahaja di pondok, Mbah Sodik namanya. Orangnya sudah sangat sepuh—barangkali lebih dari 70 tahun. Tubuhnya jauh dari kata gagah sementara perawakannya amat biasa-biasa saja. Beliau bukan kiai pesantren, bukan ustaz di madrasah, bukan juga pengajar kitab yang biasa mengampu bakda sembahyang. Namun jika ada sesuatu yang tidak beres dengan sarana dan prasarana pondok, beliaulah yang hampir selalu membetulkan dan memperbaikinya sendiri.

Misalnya saluran sanitasi di kamar mandi kebetulan mampet, beliau yang membereskan itu sampai sanitasi lancar kembali. Para santri jadi bisa berhajat dengan nyaman. Jika ada sapu atau alat kebersihan yang rusak, beliau yang berusaha memermaknya hingga bisa digunakan lagi. Tapi kalau dirasa sudah tidak bisa, maka beliau yang membelikannya dengan uang beliau sendiri. Atau bila pengeras suara sedang korsleting, beliau juga yang mereparasinya. Di sini ini yang agak unik dan aneh. Ketika sudah selesai menyervis, peralatan listrik itu pasti dicoba untuk memastikan siap untuk dipakai lagi. Saat dites, beliau sama sekali tidak bereaksi ketika bersinggungan langsung dengan listrik, entah karena ditahan atau memang beliau sendiri sudah kebal. Ini terjadi berkali-kali. Saat ditanya, beliau selalu menjawabnya dengan tidak serius. Ya sudahlah. Beliau juga suka bercanda sehingga para santri biasa berkelakar dengan beliau.

Sekali tempo, Kang Harun—salah satu santri baru—keluar dari kamar mandi paling ujung setelah buang air kecil. Seperti biasa, kamar mandi di pesantren bentuknya berderet mulai dari pojok mepet tembok sampai ujung dekat pintu keluar. Ukuran pintunya hanya sampai dada orang dewasa. Kebetulan di pesantren ini ada empat kamar mandi. Waktu melewati bilik yang tengah, Kang Harun melihat Mbah Sodik di dalam tanpa melepas pecinya. Sontak Kang Harun agak merasa ganjil kemudian berhenti sejenak masih dengan memebenahi sarung yang belum terikat sempurna.

“Di kamar mandi kok pakai peci, Mbah?” selorohnya sambil bercanda.

Mbah Sodik hanya membalas dengan senyum lugu sembari tetap menunduk.

Kang Harun lantas berlalu setelah membalas respon beliau dengan senyum tipis. Dalam benaknya sebenarnya dia agak kecewa karena hanya dibalas dengan senyuman dan takada satu pun kata yang terucap dari beliau. Meski begitu ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Ada hal lain yang lebih pantas dipikirkan dibanding perkara sepele seperti itu.

***

Malamnya selepas Isya’, Kang Harun mengikuti kajian di pondok seperti biasanya bersama Pak Kiai, begitu para santri memanggil pengasuh pondok yang sangat mereka hormati itu. Kitab yang dikaji adalah Bidayatul Hidayah yang merupakan karangan Imam Abu Ahmad, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Secara umum, isinya tentang etika dan budi pekerti dalam beribadah seperti adab saat salat dan wudu. Di sela-sela keterangan, Pak Kiai menjelaskan bahwa termasuk adab ketika masuk kamar mandi adalah memakai penutup kepala, seperti songkok, peci, blangkon, dan seterusnya, dan sebagainya.

Tatkala mendengar keterangan itu, Kang Harun sontak tercengang. Pantas saja Mbah Sodik tadi siang tetap tidak melepas peci beliau ketika di kamar mandi. Dia salah menilai beliau. Ternyata senyum yang melengkung di bibir Mbah Sodik semula mengandung arti penting, bukan sekadar senyum sembarangan. Ilmu telah menyatu di diri beliau dalam bentuk laku yang sebenarnya sederhana namun ternyata sangat bermakna.

 

Rembang, Agustus 2022.

 

 

 

 



Tentang Penulis

 

A. Zulfa Muntafa lahir pada 29 April tahun 2000 di Kemadu—Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Penulis berstatus sebagai mahasiswa di program studi pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab UIN Walisongo Semarang. Beberapa cerpennya sudah pernah dimuat di Kompas, Tatkala, ISMARO Tuban, dan media-media lainnya. Salah satu karyanya juga sempat meraih juara I lomba cerpen pada acara Edufest Nasional yang diselenggarakan oleh HMJ PGMI UINWS dan DEMA FITK UINWS tahun 2021.