Mbah Sodik

 




Selepas sowan bersama bapaknya di rumah Pak Kiai, Kang Harun hendak melaksanakan salat Magrib di musala salah satu pesantren di kota R, yang akan dihuninya itu. Kebetulan waktu berkunjung sangat mepet dengan waktu sembahyang sehingga mereka berdua tidak mendapati jamaah bersama. Setelah keduanya selesai berwudu, muncullah seorang paruh baya berkupluk hitam. Setelan bajunya (mohon maaf) jauh dari kata bagus. Sarungnya sudah ngepir seperti pegas, mungkin sudah saking lamanya dipakai. Bapak dari Kang Harun mempersilakan beliau untuk menjadi imam namun orang itu menolak dengan cukup halus. Suaranya sangat khas, serak dan lirih. Keduanya saling memajukan yang lain. Meski begitu, mereka akhirnya tetap salat jamaah bertiga dengan kakek itu sebagai imam.

***

Ada seseorang yang sosoknya sangat sederhana dan begitu bersahaja di pondok, Mbah Sodik namanya. Orangnya sudah sangat sepuh—barangkali lebih dari 70 tahun. Tubuhnya jauh dari kata gagah sementara perawakannya amat biasa-biasa saja. Beliau bukan kiai pesantren, bukan ustaz di madrasah, bukan juga pengajar kitab yang biasa mengampu bakda sembahyang. Namun jika ada sesuatu yang tidak beres dengan sarana dan prasarana pondok, beliaulah yang hampir selalu membetulkan dan memperbaikinya sendiri.

Misalnya saluran sanitasi di kamar mandi kebetulan mampet, beliau yang membereskan itu sampai sanitasi lancar kembali. Para santri jadi bisa berhajat dengan nyaman. Jika ada sapu atau alat kebersihan yang rusak, beliau yang berusaha memermaknya hingga bisa digunakan lagi. Tapi kalau dirasa sudah tidak bisa, maka beliau yang membelikannya dengan uang beliau sendiri. Atau bila pengeras suara sedang korsleting, beliau juga yang mereparasinya. Di sini ini yang agak unik dan aneh. Ketika sudah selesai menyervis, peralatan listrik itu pasti dicoba untuk memastikan siap untuk dipakai lagi. Saat dites, beliau sama sekali tidak bereaksi ketika bersinggungan langsung dengan listrik, entah karena ditahan atau memang beliau sendiri sudah kebal. Ini terjadi berkali-kali. Saat ditanya, beliau selalu menjawabnya dengan tidak serius. Ya sudahlah. Beliau juga suka bercanda sehingga para santri biasa berkelakar dengan beliau.

Sekali tempo, Kang Harun—salah satu santri baru—keluar dari kamar mandi paling ujung setelah buang air kecil. Seperti biasa, kamar mandi di pesantren bentuknya berderet mulai dari pojok mepet tembok sampai ujung dekat pintu keluar. Ukuran pintunya hanya sampai dada orang dewasa. Kebetulan di pesantren ini ada empat kamar mandi. Waktu melewati bilik yang tengah, Kang Harun melihat Mbah Sodik di dalam tanpa melepas pecinya. Sontak Kang Harun agak merasa ganjil kemudian berhenti sejenak masih dengan memebenahi sarung yang belum terikat sempurna.

“Di kamar mandi kok pakai peci, Mbah?” selorohnya sambil bercanda.

Mbah Sodik hanya membalas dengan senyum lugu sembari tetap menunduk.

Kang Harun lantas berlalu setelah membalas respon beliau dengan senyum tipis. Dalam benaknya sebenarnya dia agak kecewa karena hanya dibalas dengan senyuman dan takada satu pun kata yang terucap dari beliau. Meski begitu ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Ada hal lain yang lebih pantas dipikirkan dibanding perkara sepele seperti itu.

***

Malamnya selepas Isya’, Kang Harun mengikuti kajian di pondok seperti biasanya bersama Pak Kiai, begitu para santri memanggil pengasuh pondok yang sangat mereka hormati itu. Kitab yang dikaji adalah Bidayatul Hidayah yang merupakan karangan Imam Abu Ahmad, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Secara umum, isinya tentang etika dan budi pekerti dalam beribadah seperti adab saat salat dan wudu. Di sela-sela keterangan, Pak Kiai menjelaskan bahwa termasuk adab ketika masuk kamar mandi adalah memakai penutup kepala, seperti songkok, peci, blangkon, dan seterusnya, dan sebagainya.

Tatkala mendengar keterangan itu, Kang Harun sontak tercengang. Pantas saja Mbah Sodik tadi siang tetap tidak melepas peci beliau ketika di kamar mandi. Dia salah menilai beliau. Ternyata senyum yang melengkung di bibir Mbah Sodik semula mengandung arti penting, bukan sekadar senyum sembarangan. Ilmu telah menyatu di diri beliau dalam bentuk laku yang sebenarnya sederhana namun ternyata sangat bermakna.

 

Rembang, Agustus 2022.

 

 

 

 



Tentang Penulis

 

A. Zulfa Muntafa lahir pada 29 April tahun 2000 di Kemadu—Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Penulis berstatus sebagai mahasiswa di program studi pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab UIN Walisongo Semarang. Beberapa cerpennya sudah pernah dimuat di Kompas, Tatkala, ISMARO Tuban, dan media-media lainnya. Salah satu karyanya juga sempat meraih juara I lomba cerpen pada acara Edufest Nasional yang diselenggarakan oleh HMJ PGMI UINWS dan DEMA FITK UINWS tahun 2021.


Posting Komentar