Pendidikan
merupakan pilar utama dalam pembangunan masyarakat karena tidak hanya berfungsi
sebagai sarana transfer ilmu, tetapi juga sebagai alat transformasi sosial. Di
Indonesia, meskipun partisipasi pendidikan secara statistik telah mengalami
peningkatan, tantangan serius masih muncul dalam bentuk ketimpangan berbasis
gender. Stereotipe dan subordinasi terhadap perempuan dalam lingkungan
pendidikan menjadi hambatan laten yang menghambat perwujudan keadilan dan
kesetaraan gender. Oleh karena itu, penting untuk menelaah bagaimana stereotipe
dan subordinasi tersebut dibentuk, dipertahankan, dan direproduksi, serta
mencari strategi konkret untuk mengatasinya.
Gender
sebagai Konstruksi Sosial dalam Pendidikan
Gender
bukanlah identitas biologis, melainkan hasil konstruksi sosial yang menetapkan
peran, harapan, dan perilaku yang dianggap "sesuai" bagi laki-laki
dan perempuan. Seperti dijelaskan oleh Herien (2012), gender bersifat dinamis
dan kontekstual, dipengaruhi oleh nilai budaya dan norma masyarakat yang terus
berubah. Dalam dunia pendidikan, pemahaman sempit tentang gender sering kali
melanggengkan ketimpangan, karena institusi pendidikan tidak hanya
merefleksikan nilai masyarakat, tetapi juga mereproduksinya.
Dalam
konteks Indonesia, ketimpangan ini masih bersifat sistemik. Ketika institusi
pendidikan tidak menyadari peran mereka dalam membentuk relasi kuasa antara
laki-laki dan perempuan, maka pendidikan alih-alih menjadi sarana pemberdayaan,
justru bisa menjadi arena yang memperkuat dominasi satu gender atas yang lain.
Oleh karena itu, pendekatan sensitif gender harus menjadi landasan dalam
perumusan kebijakan pendidikan.
Reproduksi
Stereotipe Gender di Sekolah
Stereotipe
gender merupakan pelabelan yang menyederhanakan dan membatasi potensi individu
berdasarkan jenis kelamin. Dalam dunia pendidikan, stereotipe ini sering kali
direproduksi secara tidak disadari oleh guru, materi ajar, bahkan dalam
interaksi antar siswa. Fithriani (2022) dan Rohmawati & Putra (2022)
menunjukkan bahwa representasi dalam buku teks pelajaran Indonesia secara
dominan menggambarkan laki-laki dalam posisi aktif dan publik, sementara perempuan
diwakili dalam ranah domestik. Ketimpangan representasi ini berimplikasi pada
pola pikir siswa tentang apa yang bisa atau tidak bisa mereka capai.
Contoh
nyata dari stereotipe ini antara lain:
- Perempuan dianggap
lebih cocok dalam bidang keperawatan, pendidikan anak, atau kesenian.
- Laki-laki dianggap
lebih unggul dalam logika, sains, dan kepemimpinan.
- Guru cenderung
memperlakukan siswa berdasarkan norma gender, seperti memuji anak
laki-laki karena keberanian, dan anak perempuan karena kerapian.
Hal
ini sejalan dengan temuan OECD (2015) yang menyatakan bahwa meskipun capaian
akademik antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu berbeda, kepercayaan diri
terhadap mata pelajaran seperti matematika dan IPA masih lebih rendah pada
perempuan, akibat pengaruh stereotipe yang mengekang. Dengan demikian,
stereotipe gender tidak hanya menciptakan ketimpangan persepsi, tetapi juga
membatasi pilihan karier dan aspirasi akademik siswa sejak dini.
Subordinasi
Gender dalam Kepemimpinan dan Peran Profesional
Subordinasi
gender mengacu pada posisi sosial yang lebih rendah yang dialami perempuan
dalam berbagai struktur sosial, termasuk dalam sistem pendidikan. Meski secara
kuantitatif guru perempuan sangat dominan di jenjang pendidikan dasar, posisi
strategis seperti kepala sekolah atau pengambil kebijakan masih didominasi oleh
laki-laki (Zulkarnaini et al., 2021). Ini menunjukkan adanya struktur
patriarkal yang terinternalisasi bahkan di institusi pendidikan yang seharusnya
menjadi ruang kesetaraan.
Subordinasi
perempuan dalam pendidikan tercermin dari:
- Minimnya
representasi perempuan di jabatan struktural dan pengambilan keputusan.
- Beban kerja yang
tidak proporsional, di mana perempuan sering diberi tugas administratif
atau kegiatan domestik.
- Stigma budaya yang
meragukan kapasitas intelektual dan kepemimpinan perempuan, terutama di
tingkat perguruan tinggi.
Pandangan
tradisional yang menyatakan bahwa perempuan pada akhirnya akan "kembali ke
dapur" masih menjadi alasan utama mengapa akses perempuan terhadap
pendidikan tinggi dan kepemimpinan dibatasi (Jayachandran, 2015). Subordinasi
ini bukan hanya bentuk diskriminasi, tetapi juga pemborosan potensi manusia
yang menghambat kemajuan bangsa.
D.
Reformasi Kebijakan: Mewujudkan Pendidikan yang Inklusif Gender
Akar
dari stereotipe dan subordinasi gender dalam pendidikan Indonesia terletak pada
budaya patriarki yang telah berurat akar. Budaya ini tidak hanya memengaruhi
persepsi masyarakat, tetapi juga tercermin dalam kebijakan dan praktik
pendidikan sehari-hari. Sebagaimana diungkapkan oleh Anon. (2025), lemahnya
implementasi pendidikan berperspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial
menunjukkan bahwa tantangan tidak hanya bersifat kultural, tetapi juga
struktural.
Untuk
menciptakan pendidikan yang inklusif dan bebas diskriminasi gender, diperlukan
langkah konkret, di antaranya:
a. Integrasi
kurikulum yang adil gender: Revisi terhadap buku pelajaran dan materi ajar agar
merepresentasikan laki-laki dan perempuan secara seimbang dalam berbagai peran
dan bidang.
- Pelatihan guru dan
tenaga pendidik: Guru harus dibekali dengan perspektif gender agar dapat
menghindari perlakuan diskriminatif, baik secara sadar maupun tidak sadar.
- Promosi perempuan
dalam kepemimpinan pendidikan: Memberikan peluang dan dukungan bagi
perempuan untuk mengambil peran strategis dalam institusi pendidikan.
- Monitoring dan
evaluasi kebijakan: Kebijakan pendidikan harus dievaluasi secara berkala
untuk memastikan tidak mengandung bias gender yang merugikan.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Sumar (2015) dan Savitri et al. (2024), pengarusutamaan gender
dalam pendidikan tidak dapat berjalan tanpa komitmen politik, dukungan
masyarakat, serta perubahan paradigma dalam memahami peran laki-laki dan
perempuan.
Stereotipe
dan subordinasi gender dalam pendidikan Indonesia bukan hanya isu diskriminasi,
tetapi juga persoalan keadilan sosial dan kemanusiaan. Ketika
pendidikan—sebagai instrumen utama pembangunan—masih terjebak dalam praktik
yang bias gender, maka kesetaraan akan sulit terwujud. Oleh karena itu, perlu
adanya reformasi mendalam, baik dari sisi kebijakan, institusi, maupun
kesadaran masyarakat.
Pendidikan
seharusnya membebaskan, bukan membatasi. Ia harus memberdayakan semua anak,
laki-laki maupun perempuan, untuk meraih potensi mereka tanpa dibebani oleh
ekspektasi gender yang tidak adil. Dengan menghapus stereotipe dan subordinasi,
pendidikan dapat menjadi fondasi bagi masyarakat yang lebih adil, setara, dan
inklusif.
Daftar
Pustaka
Anon.,
2025. Implementation and Problems of Education Based on Gender Equality,
Disability, and Social Inclusion at Schools in Indonesia. International
Journal of Sociology of Education.
Fithriani,
R., 2022. Gender stereotypes in educational texts: A comparative study of
Indonesian and international primary English textbooks. Discourse &
Interaction, 15(2).
Handayani,
W., 2018. Diskriminasi gender dalam pendidikan. Jurnal Kajian Gender,
10, pp.198–224.
Herien,
E., 2012. Pengantar Studi Gender. Jakarta: Bumi Aksara.
Jaidi,
I., 2004. Gender mainstreaming di bidang pendidikan., XX(3), pp.327–341.
Jayachandran,
S., 2015. The roots of gender inequality in developing countries. Annual
Review of Economics, 7, pp.63–88.
OECD,
2015. The ABC of Gender Equality in Education: Aptitude, Behaviour,
Confidence. Paris: OECD Publishing.
Rohmawati,
S. and Putra, K.A., 2022. Occupational gender stereotypes in Indonesian
secondary school English language textbooks. VELES: Voice of English
Language Education Society, 6(1), pp.160–175.
Savitri,
F.N. et al., 2024. Implementasi pengarusutamaan gender dalam sistem pendidikan
di Desa Purnajaya, Kecamatan Indralaya Utara. Jurnal Pendidikan Non Formal,
1, pp.1–10.
Sumar,
W.T., 2015. Implementasi kesetaraan gender dalam bidang pendidikan, 7.
Zulkarnaini,
S., Hamdani, H. and Suryadi, E., 2021. Analysis of gender equality in early
childhood education in Indonesia. Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, 538.