Di
pagi yang cerah aku bergegas menuju sekolah yang
terletak tidak jauh dari rumah. Baru saja sampai di pertigaan yang tak jauh
dari rumah, aku melihat seorang siswi yang anggun berjalan sendirian di
belakang beberapa siswi lainnya yang berjalan secara berkelompok.
Aku melangkahkan
kakiku lebih cepat untuk
menghampiri gadis anggun itu. Setelah berada tidak
jauh darinya, aku memberanikan diri untuk menyapa.
"Hai…” sapaku.
“Halo...” Ia menjawab seraya melempar
senyum ramah padaku.
Senyumnya
membuatku sedikit kikuk. “Sepertinya
aku baru pertama kali melihatmu? Kamu sekolah dimana?”
“SMK Merdeka Mandiri”
“Loh kita satu sekolah! Apa kamu siswa baru?" Kini aku berjalan sejajar dengannya.
"Ya, aku
siswa baru di sekolah ini, aku pindahan dari luar kota."
“Aku Fino, kelas
XII, jurusan Otomotif. Boleh tau namamu?" Dengan polosnya aku bertanya.
"Boleh, aku
Putu Ayu Sekartini, jurusan Administrasi Perkantoran."
"Wah,
sungguh cantik namamu, seperti bunga Dahlia…"
Ia tak menjawab,
hanya tersipu malu, terbukti dengan pipinya yang memerah.
Tidak
berselang lama, kami pun sampai
di depan gerbang sekolah. Bel masuk berbunyi dan kami bergegas untuk mengikuti apel
pagi. Setelah melaksankan apel pagi
kami, masuk ke kelas masing-masing. Kelas kami berbeda,
dia berada di lantai satu sedangkan aku berada di lantai dua. Waktu berjalan
dengan cepat mulai dari awal jam pelajaran hingga sampai akhir, aku
mengikutinya dengan bersemangat. Akhirnya bel pertanda pulang pun berbunyi, waktu pulang sekolah aku
menghampirinya
dan bertanya.
"Pulang sama siapa?”
“Sendiri”
“Sama aku aja, kebetulan rumah kita
tidak cukup dekat."
“Baiklah, terima
kasih mau menemaniku,” jawab Ayu sembari berjalan mengimbangi langkahku yang cukup
cepat. Di
perjalanan kami berdua mengobrol
dengan asyiknya, hingga bertukar nomor HP.
Setalah tiga bulan kami saling mengenal satu sama lain hingga begitu akrab.
Suatu ketika, aku mengajaknya
untuk singgah di sebuah kafe.
Hari itu kami libur sekolah, karena tanggal merah. Kulihat ia memakai kemeja
dan jilbab coklat, bercelana jeans dengan sepatu berwarna putih. Aku pun tidak
kalah dalam hal penampilan, kukenakan kemeja abu-abu dengan celana yang
warnanya hampir mirip, rambutku cukup panjang namun rapi, ditambah sepatu hitam
mengkilap yang baru saja kucuci kemarin. Pembicaraan
terjadi dengan begitu santai dan mengalir, sampai akhirnya aku bertanya.
“Apa kamu sudah
punya pacar, Yu?”
Dia hanya terdiam, melihat wajahku sekilas, lalu membuang muka.
“Maaf bila pertanyaanku lancing.”
“Pertanyaan
dengan maksud apa nih?” Kini ia melempar senyum ke arahku.
“Aku hanya bertanya kok."
Senyumnya membuatku canggung.
“Sebenarnya, aku
belum punya pacar.
Apalagi pasangan yang mau nerima aku," ujarnya dengan senyum yang kini tersipu malu.
“Mmm…. Sejujurnya aku suka kamu, apakah kamu mau jadi pacarku?” tanyaku dengan sedikit
ragu.
Dia hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaanku.
“Kenapa diam saja, Yu?” Aku bertanya
kembali dengan keadaan
hati yang panik.
“Aku nggak bisa, Fin!” Tiba-tiba ia menjawab
dengan nada yang cukup tinggi.
“Maksdunya nggak bisa gimana, Yu?” Aku bingung
dengan jawabannya.
“Maaf, aku
nggak bisa... Pacaran itu haram, kita
beda prinsip soal ini” jawabnya
kembali.
Suasana sore itu pun terasa begitu canggung hingga sampai
di pengujung waktu makan, kami tidak
saling bicara satu sama lain. Seusai
makan Ayu langsung pamit untuk pulang mendahuluiku. Aku tidak sempat mengiyakan
atau melarang, karena ia pergi begitu saja.
“Apakah aku salah?” batinku.
Beberapa
hari telah berlalu, kejadian hari itu benar-benar telah memberikan pengaruh
yang begitu besar bagi kami berdua. Aku sudah tidak saling berkomunkasi
dengannya baik lewat chat atau pun berbicara langsung, bahkan saat
betemu pun kami tidak saling bertegur sapa. Hal ini terus berlanjut hingga akhir semester ganjil
selesai. Lalu di suatu hari aku memberanikan diri untuk menghubunginya lewat Whats App.
Yu,
gimana kabarmu?
Baik
kok.
Jawabannya terasa sangat ketus.
Syukur
kalo baik.
Aku tidak berani bicara lebih banyak, biarlah semua
berjalan sesuai apa yang telah digariskan, kalaupun ia harus menjauh,
menjauhlah. Setidaknya aku sudah mengungkapkan perasaanku, meski jawabannya
tidak seperti yang aku harapkan. Apakah cita harus selalu memiliki?
Sebenarnya
ada kalimat yang masih mengganjal. Perihal pacaran, ia berpendapat bahwa itu
sebuah hal yang haram, mungkin itu alasan mengapa ia langsung pamit untuk undur
diri saat itu. Aku sendiri tidak terlalu mengerti terkait hukum pacaran, tapi
lagi-lagi aku mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang telah terjadi.
Suatu
ketika, saat istirahat sekolah, aku memberanikan diri untuk menemuinya untuk
mengkapkan sesuatu. Ia sedang sendirian di sudut kelasnya, kebetulan hanya ada
beberapa siswa di kelas itu.
“Yu,
kenapa kamu akhir-akhir ini menjauh dariku?”
Ayu
kaget saat aku tiba-tiba bicara tanpa menyapa terlebih dahulu. Ia memilih untuk
membuang muka.
“Ikut
aku sebentar, ke belakang sekolah.”
Aku
berjalan ke arah belakang sekolah, sembari berharap ia mengikutiku. Sekitar
lima menit aku menunggu, hidungnya belum juga tampak. Akhirnya aku memutuskan
untuk kembali ke kelas, akan tetapi sebelum aku melangkah, ternyata ia dating
menghampiriku.
“Ada apa, Fin? Mau ngomongin apa?”
Kini aku yang terdiam, pasalnya aku tidak
mempersiapkan apa pun untuk dibicarakan.
“Sebelumnya aku minta maaf, Fin. Kalau memang sikapku
berubah, itu karena aku tidak ingin kita pacaran. Perihal perasaan, sejujurnya
aku juga merasakan hal yang sama denganmu.”
Bagai tersambar petir di siang bolong, aku mendengar
kalimat itu. Kukira ia membenciku setelah dengan lancangnya aku mengajaknya
pacaran. “Lantas, mengapa kamu menghindar?”
“Kamu tahu sendiri, perihal prinsipku soal pacaran.
Pacaran itu haram, apa pun kegiatannya,” Ia menjawab dengan nada putus asa.
“Apakah pacaran menurutmu selalu dipenuhi dengan
nafsu? Apa bedanya kita yang saling mencintai, lalu sering bertemu namun tidak
pacaran, dengan apabila kita pacaran? Kan sama-sama sering bertemu, toh kalau
kita bertemu juga tidak melakukan hal yang aneh-aneh?”
Ia memilih bungkam, mungkin sibuk mencari tahu
kebenaran jawaban dari pertanyaaku.
“Baiklah, tak apa kalau kita tidak pacaran, tapi
apakah salah bila kita saling mencintai?”
Suasana semakin hening, sunyi. bungkam.
Posting Komentar