Ayahku Bukan Seorang Pembohong


Oleh : Muhammad Sholachuddin

Malam begitu sunyi meski di tengah - tengah hiruk - pikuk dunia, awan - awan gelap memayungi gemerlap lampu yang menyilaukan mata. Hembusan angin membisukan bisingnya kendaraan yang memekikkan telinga. Limbah Sari, tempat paling menjijikan di tengah - tengah ambisi kemewahan ibu kota, bagian pojokan kota, tempat pembuangan sampah. 

Aku menatap rembulan yang bertengger di langit panorama, aroma sampah yang menyerbak di sekitar sudah menjadi makanan sehari - hariku, duduk di atas gundukan sampah dengan kardus sebagai alasnya, mengistirahatkan badan dari tuntutan kejam yang biasa ku jalani.

Kulempar pandanganku kepada pria tua yang sedang memasukkan botoh plastik ke dalam karung di pojok sana.

Bapakku, masih mengenakan seragam dinasnya, kaos oblong penuh robekan dengan celana yang penuh tambalan, ujung jari kuku berlapis kotoran hingga sebujur badan menyerbukkan aroma busuk limbah pembuangan.

Perhatianku terarah pada bapak yang melambaikan tangannya kepadaku, menulis sesuatu di buku yang dipegangnya, jari - jemarinya bergerak seirama dengan senandung lidahnya, selesai menulis, bapak mendekatiku, memperlihatkan tulisannya padaku sembari menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya.

'Zenna... Bapak sudah hubungi sahabat bapak pas dulu kuliah bareng, katanya dia bisa membuatmu lolos seleksi di Universitas Bunga Cendekia, daftarlah, Nak, urusan biaya nanti bapak urus..'

Aku mengerutkan kening, tampak bingung membaca tulisan bapak. Sahabat? di desa saja bapak tidak punya teman, bahkan tidak sadar jika dirinya dikucilkan penduduk desa. Kuliah? bapak bahkan tidak pernah mengenyam bangku sekolah dasar, hanya bisa menulis dan membaca, itu juga membutuhkan 10 tahun lebih untuk bisa mempelajarinya.

Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi jari-jemari kasarnya kembali menari-nari di bukunya. Membuat mulutku terkunci.

'Zenna, nanti kalau mau kuliah, bapak belikan sepatu modelan terbaru ya...'

Aku mengangguk membaca pesan bapak, ada perasaan marah tapi tidak kusampaikan lewat mimik wajah. Itu adalah tulisan yang dijanjikan bapak 4 tahun lalu, sekarang, kupalingkan wajahku ke bawah, kakiku masih beralaskan sendal kulit, dekil, kotor dan menjijikan karena menginjak sisa makanan basi. Bibirku hendak berucap tetapi tercekat dikerongkongan, ku urungkan niatku.

Sejak kecil aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin, kasta terendah, budak. Aku adalah budak tirani dari majikan kejam bernama kemiskinan, manusia yang melahirkanku tidak bertanggung jawab dan menghilang tanpa aku mengetahui wajahnya, membuatku harus dibesarkan dengan kebohongan yang selalu dimuntahkan bapak, bukan belaian kasih dari seorang Ibu. 

Dijejali tingginya harapan lalu dihancurkan begitu saja oleh pahitnya kenyataan, bapakku tidak hanya seorang pemulung, tapi juga seorang pembohong ulung, begitu lihai, sampai terkadang cara dia berbohong sama seperti cara dia bernafas, begitu lepas. Mungkin karena alasan itulah Tuhan menakdirkan bapakku tidak bisa berbicara, untuk mengurangi kebohongannya.

”Ayo, Nak, pulang... Malam ini kita akan pesta ayam”

Bapak tidak menyampaikan pesannya lewat tulisan, hanya lewat gestur wajah dan tangannya memamerkan bungkusan ayam yang ditemukannya di tempat sampah pojok sana.

Tidak butuh lama untuk sampai di kediaman kami, letaknya di pinggiran pojok Limbah Sari, sengaja untuk tinggal tidak terlalu jauh sehingga kami bisa mencari nafkah lewat sampah - sampah yang dikumpulkan setengah mati, meski upah yang didapatkan membuat ku sakit hati.

Rumah sederhana yang dibangun dari potongan triplek dan kardus yang disusun sedemikian rupa, tidak terlalu luas tapi cukup untuk dihuni 2 orang, pinggiran rumah berserakan barang - barang bekas yang bapak kumpulkan untuk dijual jika ada yang berminat, dan diperbaiki jika masih layak.

Kami berdua masuk ke dalam rumah, langsung melingkar di atas kardus yang dijadikan alas, bapak membuka bungkusan lalu mengenyam nasi setengah basi dengan jari kasarnya, sedangkan aku masih terdiam, sampai bapak kembali menulis sesuatu.

”Nak ayo makan, hari ini kita makan ayam, besok - besok kalau restoran bapak sudah jadi, kita tidak akan makan ayam lagi, rendang! Setiap hari kita akan makan rendang..!” tulisnya dengan senyum yang seperti biasa. Sumringah.

Restoran apa? lagi-lagi bapak berbohong, jika diriku 10 tahun lalu, mungkin aku akan tersenyum lebar membayangkan apa yang bapak ucapkan, sekarang, umurku sudah 18 tahun, kebohongan yang bapak ucapkan bukan lagi secercah harapan untukku melainkan bualan omong kosong.

"Besok Zenna harus bangun pagi, mau langsung tidur saja.." kataku menghela nafas lalu berbaring membelakangi bapak, mengacuhkan bapak yang menahan perih karena sikapku.

***

Pagi harinya, karena udara yang begitu dingin aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul 04:20 pagi, segera kubergegas ke belakang rumah, menimba air lalu mandi, pukul 04:56 aku berangkat ke sekolah dengan sangu ala kadarnya yang diberikan bapak di atas tas bututku. Seperti biasa, bapak sudah lebih dulu pergi, pernah sesekali aku terbangun sepertiga malam karena lapar dan bapakku sudah pergi entah ke mana.

Aku tidak terlalu memikirkannya, lebih penting aku memikirkan bagaimana cara agar bisa mendapatkan nilai bagus, lolos ujian dan masuk ke universitas incaranku, meskipun aku tahu mimpi itu sangatlah mustahil. 

"Aku terlambat...!" kataku cemas melihat langit yang semakin terang.

Jarak menuju sekolah lumayan jauh melewati Limbah Sari, Terminal Bus dan Pasar Loak. Bisa ku singkat dengan menaiki angkutan umum, namun aku harus berhemat.

Sepuluh menit sebelum gerbang ditutup, aku masuk sekolah dengan tubuh yang bersimbah keringat. Depan mading, para siswa dan siswi mengerumuni daftar nama-nama murid yang berhasil seleksi SNMPTN.

Langsung ku mendekat ke dinding mading, "Hey, namaku ada tidak..!" mataku menjelajah dari daftar bawah hingga atas, "Kenapa tidak ada...!"

Lututku lemas dan hatiku kecewa karena tidak ada namaku di daftar penerimaan SNMPTN, duniaku buram, impianku yang menjadi penyemangat hidupku harus pupus, andai aku punya banyak waktu untuk belajar, sehingga rapotku sedikit lebih baik, andai saja aku tidak membantu bapakku memulung, andai aku lebih menjaga pola hidupku, andai saja aku tidak terlahir di keluarga miskin. Andai saja!

"Ah, aku mulai mencari-cari alasan atas kegagalanku, padahal semuanya terjadi karena tanganku sendiri" aku mendesah pelan, ini bukan kegagalan pertama dalam hidupku, "Mendaftar SBMPTN membutuhkan biaya untuk pendaftaran, uang dari mana? bahkan untuk sekedar makan sehari-hari saja susah". "Apa aku bilang saja kepada bapak.. Ah sia - sia, bapak tidak akan punya duit" aku mengacak - acak rambutku, "Kerja, aku harus bekerja... Tapi kerja apa?"


KRING!!!

Suara bel menyadarkanku dari lamunan, kesampingkan sejenak persoalan tentang pendaftaran kuliah, kurapikan rambutku lalu masuk ke dalam kelas. 

***

Sore harinya setelah pulang sekolah hingga malam hari, aku membantu bapak memungut sampah di Limbah Sari, pikiranku masih sibuk tentang rencanaku mendaftar di jalur SBMPTN.

'Nak bagaimana pengumuman penerimaan kampus di sekolah?' bapak bertanya lewat tulisannya.

"Zenna nggak lolos Pak" aku tertunduk lesu sembari mencari - cari gelas plastik di tumpukan sampah.

'Gak papa Nak, nanti kita cari kesempatan lain' tulis bapak memberiku semangat.

Bapak kembali menulis, 'Apa perlu bapak datang ke kampus itu dan meminta anak bapak untuk dimasukkan? lagi pula semua guru di kampus itu kenal bapak, bagaimana?'

***


Plak!

Aku menapik buku harian dari tangan bapak, nafasku memburu dan mataku melotot karena kesal, bapak terkejut dengan sikapku.

"Berhenti berbohong Pak, Zenna capek, Zenna muak dengan kebohongan bapak!" aku menginjak buku harian bapak, "Katanya bapak sudah bilang ke teman bapak kalau akan menerimaku di kampus mereka, mana buktinya? Katanya bapak sedang membangun restoran buat Zenna, mana buktinya Pak?”

”Katanya bapak mau membelikan Zenna sepatu, mana buktinya!? semua yang bapak ucapkan cuma kebohongan..! BAPAK PEMBOHONG..! ZENNA BENCI PEMBOHONG...!" Aku menendang buku harian bapak sebelum lari ke dalam rumah dengan wajah yang berlinangan air mata.

Ini salahku karena tidak pernah jujur kalau aku lelah mendengar kebohongannya, memintanya untuk berhenti, sebelum aku benar - benar marah dan membenci bapak, aku muak menyadari mimpi yang ditanam bapak harus hancur karena kenyataan palsu.

"ZENNA BENCI PEMBOHONG SEPERTI BAPAK...!"

Sampai rumah aku membenamkan wajah dengan bantal, hujan tiba-tiba turun tapi tidak membendung suara tangisanku sehingga bapak, mendengar tangis anak gadis kesayangannya dengan terluka.

Malam itu hujan seakan mewakili kesedihanku, marah, kecewa, menyesal, semua perasaan negatif terkumpul di kepalaku, melebur jadi satu hingga ke titik di mana aku kelelahan dan akhirnya tertidur. 

Seperti pagi yang biasanya, aku terbangun karena rasa lapar yang memenuhi perutku, mataku sipit karena semalam menangis. Kejadian kemarin membuatku enggan untuk mengenakan seragam, enggan untuk bermimpi. Seharian penuh aku di rumah, bermalas - malasan.

Aku tidak melihat bapakku sejak bangun tidur hingga ingin tidur, aku tidak peduli, kemarahanku belum surut, keesokan harinya bapak tidak kunjung pulang, aku mulai resah, besok paginya bapak tidak pulang lagi, sehingga kuputuskan untuk mencarinya.

"Bapak kemana..!?"

"Lihat bapak..?"

"Bapak tidak pulang ke rumah selama 3 hari..."

Aku bertanya kepada orang - orang yang tinggal di Limbah Sari dan tidak ada satu pun yang melihat bapak, sampai Bu Suk memberitahu kabar yang membuat hatiku hancur.

"Zenna..! bapakmu sekarang di rumah sakit sebrang..!"

Aku langsung berlari sekencang - kencangnya, sampai di rumah sakit, tepatnya di UGD, ku lihat banyak orang berpakaian putih yang keluar dari dalam ruangan, dari balik kaca, aku melihat sosok yang selama ini aku cari terbaring lemah dengan mata yang terpejam.

Ku kejar dan ku tarik lengan baju dokter itu, "Dok..! bagaimana keadaan bapak saya..!?"

Ucapan dokter bagaikan guntur di siang bolong, menusuk jantungku, duniaku hancur, air mataku kembali tumpah bahkan lebih besar dari tangisan - tangisan ku selama hidupku, teringat perlakuan burukku kepada bapak membuatku menyesal, segera ku masuk ke dalam ruangan, memeluknya, menangis sepuas - puasnya.

"Maaf..! maafkan Zenna Pak...! bangun..! buka matamu Pak...!" Aku menangis sejadinya - jadinya.

Aku baru sadar alasan kebahagiaan, kesedihan dan kemarahanku selama ini adalah karena bapak, alasanku bisa hidup karena bapak, semuanya karena bapak.

***

Tujuh hari telah berlalu dan tepat memperingati satu minggu bapak meninggal dunia, penduduk Limbah Sari banyak yang melayat dan tahlilan untuk bapak, meski tidak memberikan apa - apa setidaknya mereka sudah sangat peduli terhadapku.

Bapak meninggal karena kecapean bekerja, pagi hingga malam bapak bekerja tanpa henti dan akhirnya tumbang ditengah jalan. Itu menurut kesaksian orang yang membawa bapak dan dokter.

"Bapak bekerja dari pagi hingga jam 10 malam, tapi menurut dokter bapak bekerja seharian penuh, itu artinya..." Zenna terkejut karena ada hal yang baru ia sadari, "Bapak bekerja tanpa sepengetahuanku, tapi kapan?"

Mata Zenna melebar, setiap sepertiga malam bapak sudah tidak ada di rumah. 

"Jadi benar, bapak bekerja seharian penuh..!" hatiku teramat sakit karena baru sadar akan hal ini, "Kenapa bapak tidak  pernah cerita sama Zenna..." 

"Buku harian bapak... Mungkin ada petunjuk tentang bapak kerja di mana.." langsung ku cari buku harian bapak.

Jika dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah membuka benda yang paling sering bapak bawa selama hidupnya.

"Zenna izin membuka buku bapak ya.."

Aku membuka halaman demi halaman, tulisan yang hampir tak terbaca, EYD yang salah, aku tersenyum, "Bapak benar-benar tidak berbakat menulis", meski menulis adalah hal yang paling sering bapak lakukan, tapi banyak kesalahan di tulisannya.

"Zenna kangen bapak, Zenna kangen senyuman bapak, Zenna kangen kebohongan bapak..." kataku dengan mata yang berkaca - kaca, semakin ku baca tulisan bapak semakin pilu juga ku rasa, "Tegar Zenna! kau harus tegar seperti bapak...!" aku mengusap air mataku yang hampir tumpah, menguatkan hatiku.

Kukebet lagi halaman demi halaman dan terkejut ketika melihat satu kalimat.!

'Untuk Zenna kuliah, di bawah kardus, tempat tidur'

Langsung kubuka tumpukan kardus yang biasa aku jadikan alas untuk tidur, apa yang ada dibawahnya benar-benar membuatku terkejut, uang berjumlah puluhan menempel di lumpur bau yang berada di bawahku, uang itu tetap terlindungi karena dikemas plastik meskipun sudah kotor dan bau..

"I - Ini uang..?!" punya bapak..?!"

Di antara puluhan lembaran uang itu, terdapat secarik kertas yang menyita perhatianku, kertas itu bertuliskan 'Uang kuliah Zenna', pecah air mataku membaca tulisan itu.

"Selama ini bapak selalu memperhatikanku...!?" aku terisak, air mataku berlinangan, ku peluk erat - erat buku harian bapak, "Terima kasih, Pak... Zenna janji akan kuliah dan menjadi orang sukses ..!"

Seminggu kemudian, Zenna mendaftar ujian melalui jalur SBMPTN dan berkat kerja keras dan d’oa bapak, dia terima di jurusan Sastra Indonesia. Bapak Bukan Seorang Pembohong.


Tamat.

Posting Komentar