Kepemimpinan Islam Buya Hamka

 




Biografi Buya Hamka

Prof. Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: عبد الملك كريم أمر الله‎; 17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Univeristas Al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

 

Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya di Sumatra Barat bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula ia mendapat pekerjaan di Departemen Agama, tapi ia mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituane mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juni 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, karena dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.

Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, Hamka dibebaskan pada Mei 1966. Pada masa Orde Baru Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di RRI dan TVRI. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan MUI pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua, namun Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegoro untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.

 

Peran Buya Hamka dalam Muhammadiyah

Pada kongres Muhammadiyah ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Hamka ikut menyusun Anggaran Dasar dan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Sejak kongres Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia selalu terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhirnya mengundurkan diri pada 1971.

 

Karakter Buya Hamka

Almarhum Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal Buya Hamka adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dikenal pula sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah. Semasa hidupnya ia menjadi tokoh yang toleran terhadap perbedaan, namun tegas dalam hal-hal prinsip keagamaan.

 

Kepemimpinan Islam Buya Hamka

Beliau memiliki sifat kepemimpinan profetik yang sangat patut untuk dijadikan contoh dan teladan. Salah satu contohnya yaitu pada saat beliau bersitegang dengan sastrawan besar yang menulis Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer. Perseturuan tersebut terjadi pada masa orde lama, Buya Hamka dituduh melakukan kudeta terhadap pemerintahan saat itu, karena berbeda pandangan politik terkait dengan Islam dan Komunis, sehingga Presiden Ir. Soekarno memenjarakan Buya Hamka selama 2,5 tahun tanpa ada proses hukum di pengadilan. Namun, hal tersebut tidak membuat Buya Hamka merasa dendam, waktu dipenjara selama 2,5 tahun dibalik jeruji dimanfaatkan oleh Buya Hamka untuk menulis Tafsir Al-Azhar, tafsir Al-Qur’an 30 Juz yang bahasanya mudah dipahami dan ringan untuk dibaca. Lebih dari itu, saat Ir. Soekarno berpulang, bahkan Buya Hamka yang menjadi imam shalat jenazahnya, tak memikirkan sedikit pun rasa dendam.

Sifat kepemimpinan profetik Islam yang dimiliki oleh Buya Hamka yang dapat menjadi teladan anak muda bangsa, salah satunya adalah kecerdasan (fathanah). Dapat kita lihat dari Tafsir Al-Azhar yang menjadi karya besar Buya Hamka, membuktikan kecerdasan beliau. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk salah satu bukti lainnya, tidak hanya mempuni dalam bidang keagamaaan, namun juga mempuni dalam bidang sastra. Sifat kepemimpinan profetik kecerdasan (fathanah) yang dimiliki oleh Buya Hamka sesuai dengan Surat Al-Baqarah: 269, yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

Buya Hamka memberikan contoh yang baik sebagai suri tauladan bagi bangsa dan negara, khususnya anak muda yang menjadi corong perubahan, agen perubahan (agent of changes) dan penentu perubahan, bagaimana nasib bangsa dan negara kedepannya, menjadi hal yang sangat patut dan layak untuk dijadikan sebagai seorang suri tauladan, kiblat, dan role model, mengingat juga Buya Hamka adalah salah satu tokoh Muhammadiyah, sebagaimana arti dari Muhammadiyah sendiri yaitu Pengikut dan Umatnya Nabi Muhammad, dan Buya Hamka adalah salah satu ulama yang sangat dekat dengan sifat-sifat kepemimpinan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad.

 

 

Aizid, R. (2017). Para Pelopor Kebangkitan Islam. Yogyakarta: DIVA Press.

El-Jaquene, F.T. (2018). Buya Hamka. Yogyakarta: Araska.

Faidi, A. (2014). Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Saufa.

 

 

Penulis : Nova Maulana, S.Kep.,Ns.

Advisor : Fitri Arofiati.,S.Kep.,Ns.,MAN.,P.Hd.

Posting Komentar