Bucin Progresif


“Biarlah aku bergerak dan melawan atas nama cinta, agar ketika aku menghilang atau dihilangkan cintaku masih ada untuk alam semesta”

"Hai Joni Sayang, udah makan belum nih?" ucap suara dari telepon android yang digenggam Joni.

"Bonjour... belum nih Ri, hehe…" jawab Joni dengan sok-sokan memakai bahasa Prancis di awalnya, padahal ia baru kemarin mengeri arti dari kata tersebut seusai menonton serial Power Rangers Kyuranger.

"Besokkan UASnya makul dosen killer, udah belajar belum?" suara itu bertanya lagi dengan nada sangat ceria.

"Aduh, aku belum sempet  belajar nih, Ri," jawab Joni dengan nada datar seakan ada hal yang sedang ia pikirkan dalam-dalam.

Joni terkenal pintar di kelasnya, meskipun begitu, ia jarang sekali menyentuh buku-buku yang disarankan oleh dosen. Ia justru lebih suka membaca buku-buku yang jarang ditemukan di kampus-kampus apalagi menjadi bahan ajar. Ia sering membaca buku bersampul merah dan hitam, sebuah warna sampul buku yang identik dengan perlawanan.

"Kalo mandi udah belum, Jon?"

  "Belum juga, hehe," jawab Joni seraya tertawa dengan nada yang dibuat-buat.

"Berarti belum salat maghrib juga ya?" 

"Iya, belum juga, Ri."

Terjadi hening sesaat, Joni masih enggan untuk bertanya balik tidak seperti biasanya, sepertinya ada hal yang mengganggu pikirannya. 

"Emang kamu lagi ngapain sih, Sayang? Kamu gak kenapa-kenapa kan?" kini suara dari telpon berganti dengan nada kesal bercampur khawatir.

"Aku lagi mikir doang kok, btw dari pada belajar mending kita kencan aja yuk," ajak Joni dengan nada serius.

“Tapi aku lagi ngerjain tugas, Jon.” Suara Riana terdengar sangat keberatan.

“Nggak lama kok, Ri…”

“Bener ya nggak lama?

“Loh, lama kan biasanya karena curhatanmu hehe…”

“Diiih, nggak jadi ah, kamu ngledek,” kata Riana sambil pura-pura ngambek.

Akhirnya dengan berbagai argumen Joni berhasil mengajak Riana pacar kesayangannya kencan di suatu kafe yang terdapat di atas bukit. Sebenarnya Joni lebih suka nongkrong di angkringan, jikalau harus kafe ia akan lebih memilih di Joglo, sebuah kafe dengan suasana klasik yang sangat menenangkan. Tetapi kali ini Joni memilih kafe yang bernuansa romantis.

"Jon, kok kamu ngelamun sih?" tanya Riana seraya mengambil daftar menu makanan, ia memesankan makanan dan minuman untuk dirinya dan juga untuk Joni. Agak lama Riana memilihkan makanan, sepertinya ia sangat teliti dalam hal itu.

"Aku masih mikir Ri, Hobiku kan berpikir hehe…" jawab Joni setelah disadarkan dari lamunannya, ia membiarkan Riana memesankan masakanan untuknya karena Riana sudah mengerti makanan favoritnya. "Ri, Mau tau gak, apa yang sedang aku pikirkan?"

Perempuan cantik itu mengangguk dan sekarang berganti posisi duduk menghadap Joni. Ia memusatkan perhatian kepada seorang yang sangat disayanginya. Joni hanya sedikit tersenyum melihat ekspresi Riana yang terlihat sangat imut ketika penasaran.

"Aku sebenarnya mau ngucapin terimakasih ke kamu, kamu selalu perhatian dan mengingatkan banyak hal. Meski awalnya aku pikir itu hanya sekadar basa-basi, tapi ternyata setelah aku pikir matang-matang kamu selalu mengingatkanku akan hal-hal yang sangat filosofis. Makasih, Sayang," ucap Joni yang justru membuat Riana bertambah bingung, karena Riana bukan orang mudah mengerti soal filsafat, di kelas saat ada perkuliahan filsafat, ia selalu minta bantuan pada Joni.

"Kamu bingung yah? Jadi gini, saat kamu tanya aku udah makan atau belum, aku teringat banyak orang-orang di luaran sana yang sulit untuk hanya mencari sesuap nasi. Banyak dari mereka yang harus berjuang dari pagi sampai larut malam untuk memenuhi persediaan makanan. Sedangkan aku di sini setiap hari bisa makan dengan mudahnya."

"Saat kamu ngingetin aku mandi, aku teringat bencana banjir, longsor, gempa bumi dan bencana lainnya yang melanda banyak tempat di tahun ini. Banyak orang-orang yang tidak bisa duduk aman di dalam rumahnya, apalagi mandi dengan air bersih, rumahnya saja kadang bisa  terbawa oleh banjir atau tertimbun longsor. Belum lagi banyaknya pengrusakan alam di luaran sana yang menyebabkan air di sekitar menjadi keruh dan tidak bisa digunakan untuk mandi. Sedangkan di sini akses air masih cukup bersih, dan dengan mudahnya aku bisa mandi kapanpun di kost.”

"Saat kamu ngigetin aku belajar untuk UAS, aku teringat banyak anak yang tidak bisa merasakan pendidikan formal seperti kita, mereka yang terkadang lebih pintar dan jujur dari pada kita atau orang-orang di parlemen sana, yaitu mereka yang menjadikan pendidikan seperti perusahaan yang orientasinya uang sehingga membuat orang-orang miskin sulit mengaksesnya, dan terjadilah pembodohan massal. Maka aku berpikir, apa guna aku belajar, bila jauh dari realitas sosial? Apa guna aku sekolah bila hanya untuk kepentingan pribadi yang bersifat material?"

"Lalu tiba-tiba kau menegurku tentang salat, di situlah aku mulai berpikir untuk berbuat sesuatu. Bahwasannya salat itu bukan hanya sekadar ibadah formal dengan rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu saja, tetapi sangat jauh lebih dalam esensinya. Ketika aku salat maka aku harus siap membela orang-orang yang lemah dan tertindas, kata almarhum Ustaz Munir. Berarti aku harus membela orang-orang tersebut, harus ada di pihak mereka, berusaha mengembalikan dan mempertahankan hak-hak mereka, jika tidak sebagai seorang terpelajar setidak-tidaknya sebagai manusia. Itulah salatku." Joni menjelaskan maksudnya dengan panjang lebar.

“Dan barangkali yang selama ini luput dari kita adalah bahwa dulu Nabi Muhammad bukan hanya salat, zakat, puasa dan ibadah-ibadah ritual lainnya di samping itu beliau juga berjuang membela orang-orang tertindas disekitarnya, melawan oligarki Kaum Kafir Quraisy, dan menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya di bumi ini."

"Mendengar bicaramu aku semakin sayang denganmu, Jon.” Ucap Riana dengan seulas senyum manis dibibirnya membuat Joni jadi sedikit salah tingkah.

Makanan dan minuman yang dipesan telah dihidangkan di depan sepasang kekasih yang sangat romantis dan progresif ini, mereka makan dengan sangat lahap sambil sesekali bercanda membahas hal-hal kecil yang lucu. 

Malam itu pun berlalu dengan cepat, tak terasa waktu memaksa mereka berdua untuk lekas pulang, karena kost Riana terdapat aturan tidak boleh pulang terlalu malam. Mereka meninggalkan kafe dengan sebuah wacana baru, bahwa sepasang kekasih tidak harus melulu berbicara cinta antara dua orang, akan tetapi bagaimana caranya agar cinta itu bisa menjadi sebuah kebermanfaatan bagi diri mereka dan lingkungan sekitarnya.

Akan ada masa di mana kita bisa bercinta bersama kata “Merdeka”, bila Negara tak bisa memfasilitasinya, mari buat kemerdekaan kita sendiri sendiri, kekasih. 

 

*Diambil dari buku Joni Melawan Arus

Posting Komentar