Pohon Penjaga


"Betapa rapuhnya sebuah kehidupan, dan masalalu tidak bisa diubah. Seperti ungkapan lama, gelas yang sudah pecah tak mungkin bisa kembali seperti semula. Lalu yang tersisa hanyalah penyesalan"

Satu dua hal yang ada di dunia ini, kasat terlihat dan terpilih menjadi yang tertangguh untuk tetap berjuang. Begitu pun pohon yang gagah di pinggir taman itu. Berdiri dengan kokoh menjadi batas kesadaran dengan alam lain, hutan yang belum terjamah. Ibunda pohon yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga dan menjadi saksi setiap harmoni yang terjadi di sekitarnya. Diiringi oleh gemerisik dedaunan bambu yang dibelai angin sepoi, tak lupa beberapa paduan suara dari burung-burung hutan. Seluruhnya menjadi saksi bisu kenangan yang terbentuk.

Di malam ini, malam natal terdingin dan tergelap. Sang Pohon Penjaga bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan tidak tenang. Dia melihat sesosok laki-laki kurus yang sudah beberapa kali ini datang mengunjunginya. Taman ini memang sudah sepi, namun, banyak kehidupan yang tak terbayang tinggal dan terus mengamati. Lelaki ini selalu datang  seminggu dua kali untuk menyirami bunga-bunga yang tinggal sepuluh meter jauhnya dari pohon penjaga. Tentu saja seluruh penghuni taman itu sudah kenal dengannya.

Di depan gerbang pagar tanaman rumput-rumput liar sudah menyapa lelaki yang tampaknya baru menginjak usia kepala dua itu. Lelaki kurus yang hari ini memakai baju biru navy itu tersenyum singkat dan menyapu rerumputan, memberikan seluruh emosinya. Rumput-rumput liar terus berbisik, menyampaikan pesan ke seluruh penghuni taman − ada yang berbeda hari ini. Pesan itu sampai ke telinga para serangga hingga membuat mereka perlahan keluar untuk melihat apa yang berbeda. Namun, sampai satu dua jam, semua berjalan seperti biasa. Lelaki itu seperti biasanya membawa sebotol penuh pupuk cair untuk diberikan kepada para bunga di tengah taman itu. Dia melihat-lihat dari jauh, pandangannya menyapu sehingga seluruh makhluk sudah selesai disapanya. Setelah diam sebentar, dan tersenyum singkat, laki-laki itu berjalan lagi tujuh langkah jauhnya dan mendekat ke arah rumpun bunga. Kemudian seperti baisanya, dia menyapa dan menuang pupuk cair itu.

“Halo bunga-bunga, bukankah kalian merindukanku? Kalian lapar? Makan, makanlah ini. Tumbuh dan berkembanglah. Jangan malu-malu,” gumam laki-laki itu pelan namun penuh emosi. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk kembali pulang. Berdiri perlahan setelah membelai satu bunga termuda, dia kembali melangkah maju. Selangkah dua langkah, laki-laki kurus itu melangkah. Rumput-rumput kembali berbisik gelisah menyebarkan pesan sekali lagi bahwa ada yang tidak beres. Kali ini, bahkan beberapa kupu- kupu dan tikus mulai penasaran. Begitupun Sang Pohon Penjaga.

Pohon penjaga bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan tidak tenang. Berusaha memahami gerakan alam yang secara menakjubkan bergerak satu sama lain saling melengkapi. Lelaki itu sampai di depan sang pohon penjaga, sekali lagi tersenyum simpul. Kemudian dia mengambil beberapa peralatan dari tasnya, termasuk kain yang kemudian dia gunakan untuk duduk. Sang pohon penjaga merasakan emosinya, perlahan membujuk laki-laki itu untuk bicara, sebelum akhirnya dia melakukan tugasnya, sebagai pohon yang tangguh dan gagah. Kemudian seperti mereka berasal dari inti yang sama mereka bicara dan juga mendengarkan.

“Semalam, kakiku memar lagi. Kali ini tangan ayahku yang tak kuat mengangkat tongkatnya, sial saja bagiku ada di dekatnya kali itu,” kata Sang Lelaki sambil menyandarkan kepalanya pada sang pohon penjaga. “Kemudian tadi pagi, seperti hari ulang tahunku sepuluh tahun yang lalu, teman-temanku melempar balon air, tapi kali ini air itu berwarna coklat dan bau yang membuat mataku pedih, kemudian tawa meledak di antara mereka,” tangan kurusnya menyentuh matanya perlahan, tersenyum sekali lagi. Kemudian petirpun mengikuti perbincangan mereka, dan tanpa sengaja menunjukkan beberapa lukisan di tubuh sang lelaki. Garis-garis biru abstrak yang tergambar di lengan dalamnya dan beberapa ada di punggung tangannya. “Dan…” sambungnya pelan, “aku sangat berterima kasih, kau mau mendengarkanku, setidaknya satu dari jutaan telinga ada yang mau menjadi tempat suaraku berlabuh,”

“Malam ini cukup dingin, maafkan aku merepotkanmu. Ini hanya untuk hari ini saja. Aku hanya ingin pulang,” kata laki-laki itu pelan, berdiri dan kemudian membereskan semua barang-barangnya untuk bersiap pulang.

Ketika tali temali sudah dirasa cukup kencang, lelaki itu berangkat ke tempat yang dia kira adalah rumah untuk pulang.

Ketika Sang Pohon Penjaga sudah melakukan tugasnya, lelaki itu sudah entah di mana.

---

Tiga hari kemudian, taman itu kembali menjadi ramai dihiasi suara manusia lain yang penasaran.

Posting Komentar