Adakah Ruang Aman di Kampus?



Pelecehan seksual merupakan segala perilaku baik verbal maupun fisik yang mengacu pada perilaku seksual yang tidak diinginkan dan dilakukan secara eksplisit ataupun implisit sehingga membuat seseorang merasa tersinggung, terhina bahkan menjadi terintimidasi di dalam lingkungannya.

Tindak pelecehan seksual marak terjadi, baik siapa yang berisiko menjadi korban maupun siapa yang menjadi pelaku. Tindak pelecehan dan kekerasan seksual yang begitu merugikan semua pihak ini tidak hanya terjadi di zona-zona rawan, tetapi juga kerap terjadi di lembaga pendidikan salah satunya kampus, yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban tingkah laku.

Gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual di Indonesia mulai memasuki babak baru di tahun 2022. Setelah perjuangan Panjang tepatnya 12 tahun, upaya menghadirkan payung hukum yang lebih baik untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual berbuah Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan memuat enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, UU TPKS diharapkan dapat mengatasi beragam tantangan dan hambatan korban untuk mendapatkan hak atas keadilan, penanganan dan pemulihan. Seyogyanya di tahun ini kita harus memastikan bahwa UU TPKS diterapkan dan dapat bermanfaat bagi korban sebagaimana diciptakan.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2012 – 2021 (10 tahun) menunjukkan sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal. Jumlah pengaduan masih akan terus bertambah, termasuk ke lembaga pengada layanan yang dikelola oleh masyarakat sipil maupun UPTD P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak).

Di ranah pendidikan, Komnas Perempuan juga memaparkan data bahwa kekerasan seksual antara tahun 2015-2021 paling banyak terjadi di perguruan tinggi atau universitas. Sebanyak 35 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masuk ke Komnas Perempuan dalam periode tersebut. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan pada periode tahun 2015-2021 ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pelaku kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan bervariasi. Data dari Komnas Perempuan dari tahun 2015- 2021 ada 67 pelaku – yaitu guru 28 orang, dosen 15 orang, peserta didik 10 orang, kepala sekolah 9 orang, pelatih 2 orang, dan lain-lain 3 orang.

Pencegahan terjadinya kekerasan seksual dalam lingkungan kampus sebenarnya sudah tertuang dalam Permendikbud No. 30 tahun 2021 sebagaimana dilansir dalam Detik.com. Pertama, membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan dosen dan tenaga kependidikan tanpa persetujuan ketua prodi di luar area kampus, di luar jam operasional kampus, dan untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran. Kedua, mahasiswa, dosen, pendidik, dan tenaga kependidikan harus berperan aktif dalam pencegahan kekerasan seksual. di lingkungan kampus bukan rahasia lagi bahwa posisi dosen umumnya sangat superior dan menempatkan posisi mahasiswa dalam relasi yang subordinat. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki posisi bargaining yang setara, mereka umumnya tidak berdaya dan lemah ketika berhadapan dengan ulah sebagian oknum dosen yang berperilaku melanggar asusila.

Ketiga, berkaitan dengan iming-iming dan posisi pelaku yang menjanjikan pemberian keuntungan tertentu kepada korban. Dzeich & Weiner (1990), dalam bukunya The Lecherous Professor: Sexual Harassment on Campus menyatakan salah satu tipe tindak pelecehan seksualyang marak terjadi di kampus ialah yang mereka sebut dengan istilah quid pro quo, yaitu seseorang yang karena kekuasaan yang dimilikinya memiliki peluang untuk menundukkankorban. Dengan bujuk rayu, menampilkan sosok orang tua yang penyayang dan lain sebagainya, seorang dosen bisa dengan mudah menipu mahasiswanya untuk menutupi intensi seksualnya.

Tentunya fenomena ini seperti fenomena gunung es, yang mana tidak sedikit kasus yang belum atau tidak sempat terlaporkan karena banyak alasan, salah satunya relasi kuasa. Pun, penangan kasus KS khususnya di kampus cenderung diperlambat dengan alasan nama baik kampus atau instansi. Sampai detik ini di dalam kampus sendiri perlu kita ketahui bahwa sebenernya belum bisa steril untuk masalah kekerasan seksual, Namun, kasus kekerasan seksual tidak melihat waktu, tempat, dan jabatan, alhasil kasus kekerasan seksual ini juga bisa terjadi di kampus. Kekerasan seksual di kampus melibatkan berbagai lapisan civitas kampus, baik itu dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan tenaga penunjang.

Fakta tersebut tentu cukup miris. Kampus sebagai pusat peradaban harusnya menunjukkan perannya. Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi civitasnya, terutama mahasiswa. Kampus merupakan tempat belajar mahasiswa untuk pengembangan kognisi serta pengembangan skill. Sayang, hal tersebut malah dianggap aib dan bisa merusak citra baik kampus.

Kasus kekeresan seksual terjadi karena adanya ketidak mampuan dan kegamangan banyak anggota civitas akademika dalam memahaminya dan hal tersebut menyebabkan mereka kesulitan dalam menentukan posisinya dalam permasalahannya. Walaupun ada perundang-undangan dan regulasi yang mempromosikan kesetaraan gender, kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di kampus dapat memunculkan adanya kuasa yang tidak berimbang. Lantas, apakah benar-benar ada ruang aman di kampus?


*Muhamad Afriyanto (Divisi Gerakan Sosial KOPI Perubahan)


Posting Komentar