Perbedaan Itu Alamiah

 


Di Kota A ada sebuah desa bernama Laras. Desa tersebut telah dikenal khalayak luas karena keberagaman kultur budaya maupun agamanya. Sesuai dengan namanya, masyarakat penduduk Desa Laras mampu menjalin kehidupan yang selaras di tengah-tengah keberagamannya, sehingga di Kota A selama sepuluh tahun berturut-turut Desa Laras mendapatkan predikat desa yang paling toleransi.

Pagi hari sekitar jam 08.00 keluarga Bapak Benjamin baru saja tiba di rumah barunya yang berada di Desa Laras. Bapak Benjamin adalah anggota Tentara Nasional Indonesia yang dipindah tugaskan ke Kota A dari kota sebelumnya yang membuatnya harus membawa anak dan istri ikut pindah bersamanya. Bapak Benjamin mempunyai istri cantik bernama Anggraini dan mereka berdua dikaruniai dua putri cantik. Sang kakak bernama Anjali dan sang adik bernama Ajeng.

Sore hari sekitar pukul 17.00 setelah merapikan barang-barang pindahan kerumah barunya, sang kakak mengajak adik untuk pergi jalan-jalan menikmati suasana rumah barunya.

“Dik, kamu mau ikut kakak jalan-jalan menikmati desa baru kita ngga?” tanya kakak.

“Mau kak, sekalian menghirup udara segar. Dari tadi sumpek rasanya beresin barang-barang. Tapi kita izin ke ibu dulu ya kak” jawab si adik.

“Yaudah, kamu keluarin motor digaransi aja, biar kakak yang izin ke ibu,” jawab kakak.

“Ok deh, sekalian aku panasin dulu mesin motornya,” saut si adik.

“Bu, Ibu. kakak dan adik izin keluar rumah buat jalan-jalan ya? Sumpek seharian di rumah. kakak ingin melihat-lihat suasana desa baru ini,” kata kakak.

“Yaudah, tapi pulangnya jangan malam-malam ya, jam tujuh harus sudah sampai rumah soalnya ibu bakal nyiapin makan malam bersama. Ayah bisa marah dan kecewa kalau kalian ngga ada, tahu sendiri kan ayah jarang dirumah demi tugas negara, jadi ayah ingin menikmati waktunya dengan dengan keluarga tercintanya,” jawab sang ibu.

“Siap, Bu, pokoknya jam enam lewat lima puluh sembilan menit, lima puluh enam detik kakak dan adik sudah duduk di meja makan,” ujar kakak.

“Itu mah sama saja jam tujuh kurang satu detik, Kak” saut ibu.

Akhirnya kakak beradik ini pergi jalan-jalan untuk menikmati suasana desa barunya. Baru jalan beberapa meter dari rumah, sang kakak terkejut dan berkata:

“Dek, coba lihat itu. Kakak perhatikan dari tadi beberapa rumah penduduk desa memiliki bangunan seperti candi di depan rumahnya, apa kamu tahu, apa bangunan itu dek?” tanya kakak yang penasaran.

“Iya, kak, Ajeng juga dari tadi penasaran dengan bangunan itu. Gimana kalau kita bertanya langsung saja ke pemilik rumahnya kak? Itu ada bapak-bapak duduk di depan teras rumah,” kata si adik.

“Em, bener itu. Yaudah ayo, Dek, kita tanyakan langsung ke bapak-bapak itu” saut sang kakak.

“Permisi, Pak, mau tanya bangunan yang menyerupai candi ini namanya apa ya, Pak? Dari tadi kami perhatikan beberapa rumah warga desa ini memiliki bangunan seperti candi di depan rumahnya,” tanya sang kakak yang penuh penasaran kepada bapak-bapak.

“Ini namanya Pura, Nak, tempat peribadatan umat Hindu,” jawab sang bapak sembari tersenyum manis.

“Wah, indah sekali, Pak, dan memiliki corak yang estetik. Baru pertama kali kami melihat Pura dan melihat masyarakat penganut agama Hindu,” saut sang adik yang terheran-heran dan kagum.

“Memangnya anak-anak ini tidak pernah melihat Pura?” tanya sang bapak.

“Belum, Pak, rumah kami yang dulu berada di pemukiman yang hampir seratus persen penduduknya beragama Islam,” saut sang kakak.

“Wah, kalau disini lengkap, Nak, ada Islam, Hindu, Buddha, Kristen maupun Katolik, Konghucu, dan ada juga penganut kepercayaan. Kami hidup dengan saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, sehingga desa kita ini telah sepuluh tahun berturut-turut dinobatkan sebagai desa paling toleransi se-Kota A,” jawab sang bapak dengan antusias.

“Wah, keren,” ujar kakak dan adik dengan serentak.

“Kalian coba keliling-keliling desa ini lagi, Nak, kalian akan banyak menemukan tempat-tempat peribadatan seperti Masjid, Gereja, Pura maupun Candi, Vihara, Kelenteng, dan banyak bangunan peribadatan lainnya yang memiliki estetika tersendiri,” ujar sang bapak.

“Baik, Pak, kami akan melanjutkan kembali jalan-jalan ini, Terima kasih, Bapak,” ujar kakak beradik sembari tersenyum.

Setelah itu kakak beradik ini kembali melanjutkan perjalanannya untuk menikmati suasana desa barunya. Benar kata bapak-bapak tadi, desa ini memiliki keanekaragaman kultur budaya maupun agama, dan mereka tetap dapat hidup selaras di tengah-tengah perbedaannya. Setelah keliling desa cukup lama sang adik berkata:

“Kak, sebentar lagi jam tujuh malam, ayo kita pulang sebelum ayah marah,” ujar sang adik.

“Oh iya, hampir saja kakak lupa, Dek, karena terlalu menikmati suasana desa ini. Yaudah ayo pulang!” saut sang kakak.

Setelah sampai di rumah, ibu dan ayah telah duduk di atas meja yang dipenuhi makanan. Wajah ayah sedikit murung dan bertanya:

“Darimana saja kok lama banget?” tanya ayah yang merindukan kebersamaan dengan keluarga kecilnya.

“Kami baru saja melihat suasana desa ini, Yah, dan desa ini begitu beragam, mulai dari kultur budaya maupun agama dan kepercayaannya,” jawab sang kakak.

“Dan yang paling kerennya, mereka dapat hidup dengan selaras, Yah, di tengah-tengah perbedaannya,” saut sang adik sembari tersenyum manis.

“Seperti itulah kehidupan, Nak, tuhan menciptakan semesta dengan beragam isinya agar makhluk ciptaannya dapat saling mengenal, menjaga dan melengkapi,” jawab sang ayah sembari tersenyum melihat dua putrinya telah tumbuh menjadi gadis yang cantik.

Keluarga pak Benjamin pun kembali melanjutkan makan bersamanya….


Sekian

Pelangi tidakkan indah dengan satu warna, tetapi menjadi elok dengan beragam rupa”.

Posting Komentar