Mengapa Agama
Tidak Menjadi Empiris secara Keseluruhan Saja?
Banyak timbul
pertanyaan, mengapa agama tidak mewujudkan dirinya dalam bentuk yang sepenuhnya empiris (Totally Tangible)? Bukankah dengan
menjadi sepenuhnya empiris,
agama
akan menjadi lebih mudah dipercaya? Bukankah dengan menjadi sepenuhnya empiris,
agama akan menjadi lebih mudah dianut? Mengapa agama memiliki konsep-konsep
yang bersifat esoterik (batiniah)?
Pertanyaan ini
dijawab Oleh mufassir terkemuka PEnulis magnum opus yang berjudul ‘Tafsir Al-Mishbah’, beliau adalah
Muhammad Quraish Shihab, beliau berargumen bahwa “Ajaran agama yang bebas dari
sesuatu yang tidak diketahui tidaklah wajar dinamai agama, karena agama
menuntut kepercayaan. Agama diperentukkan buat
manusia, sedangkan manusia memiliki kecenderungan antara lain yang kehausan menembus tabir yang tertutup.
Pada saat yang sama, agama yang penuh dengan hal-hal yang tertutup lebih
bertentangan dengan akal manusia, bukanlah agama yang sesuai dengan fitrah
manusia. Islam datang dengan akidah yang moderat, sehingga banyak sekali
ajarannya yang terjangkau nalar tapi ada juga yang tidak terjangkau nalar.
Memang dalam hidup ini ada hal-hal yang bersifat rasional, ada juga yang irasional, dan
ada lagi yang di tengah keduanya, yakni suprarasional. Jenis
inilah yang dikenal oleh Islam bersama yang rasional, sedang yang irasional
ditolaknya.”
Melanjutkan dari
Muhammad Quraish Shihab “Demikianlah, dalam akidahnya yang mempertemukan gaib
yang tidak terjangkau oleh akal dan pancaindra dengan kenyataan yang dijangkau
oleh indra dan akal, lalu mempertemukan keduanya melalui fitrah manusia yang
menuntut pemuasan akal sekaligus kerinduan kalbu kepada yang gaib.” (M. Quraish
Shihab, 2019:51)
Maka jelaslah
bahwa disamping manusia memiliki daya aqliyah
yang mesti terus menerus diasah dengan berbagai macam aktivitas intelektual
(membaca, menulis, riset dll), manusia juga memiliki daya spiritualnya yang
juga mesti diasah terus-menerus, sebab akal tanpa ruhani adalah kebutaan,
ruhani tanpa akal adalah kemabukan, kepintaran akan kosong tanpa sandaran
spiritualitas, pikiran penuh akan samudra ilmu pengetahuan sementara hati
gersang tanpa adanya siraman spiritualitas, pada akhirnya, hati yang terdalam
akan merintih “Ilahi, apa guna kecerdasanku ini?”. Sementara itu, spiritualitas
tanpa intelektualitas akan menghasilkan “kebodohan dalam kepercayaan” yang tak
kalah merugikan dibanding intelektualitas tanpa spiritualitas.
Walhasil,
manusia secara fitrah selalu haus akan pemenuhan aspek akal dan batin, sehingga
masing-masing aspek mesti dipenuhi secara seimbang supaya tercipta insan yang
sehat dan terpenuhi, yang bertafakur juga bersujud.
Aspek intelektualitas dan spiritualitas dalam Islam
Faktanya, Islam
sangat mengutamakan peran intelektualitas (akal) dalam beragama, sebagaimana
yang disebutkan dalam atsar “Al-dinu
‘aqlun la dina liman la aqla lahu” yang artinya adalah “Agama itu akal,
tidak ada agama bagi yang tidak berakal”. Contohnya adalah dalam konsep ijtihad yang dilakukan dengan meninjau
realitas sosial yang ada dan menjawab problema didalamnya dengan prinsip
syari’at, kemudian konsep tajdid (pembaharuan)
yang merenovasi Islam secara penampilan
agar tetap segar dan mampu menjawab tantangan, kedua proses ini mustahil
dilakukan apabila Islam itu sendiri menafikan aspek intelektualitas dalam
ajarannya, bahkan untuk bersyahadat pun, salah satu syaratnya adalah mukallaf yakni kesadaran secara
intelektual, tanpa kesadaran intelektual, mustahil seorang hamba akan teguh
dalam berislam.
Pertanyaan “Apa
bukti adanya Allah?”, “Apa bukti Al-Qur’an bukan kalam nabi melainkan kalam
Allah?”, “Bagaimana menerapkan amar
ma’ruf nahi munkar dengan benar? Semua pertanyaan tidak akan bisa dijawab
hanya berdasarkan pada penyandaran kepada dalil naqli, akan tetapi mesti dijawab dengan dalil aqli yang berasaskan ilmu yang holistik, ilmu yang holistik
didapatkan melalui proses aqli, maka
kembali lagi, mustahil Islam menafikan intelektualitas, karena fundamen iman
bukan hanya kepercayaan di hati, tetapi juga kesadaran oleh akal pikiran yang
dengan akal pikiran itu kita memperoleh ilmu pengetahuan.
Selain
pentingnya aspek intelektual dalam Islam, aspek spiritual dalam Islam tidaklah
bisa dipisahkan dari aspek
intelektualitas, karena seharusnya, seiring bertambahnya ilmu mestilah pula
iman bertambah, seiring iman bertambah mestilah pula amal bertambah, maka dalam
Islam, ilmu tidak bisa terlepas dari spiritualitas, pikir tidak boleh terlepas
dari dzikir, melatih intelektualitas
mesti berjalan berkelindan dengan melatih jiwa (mujahadah), dan menuntut ilmu tidak boleh lepas dari beramal
shalih. Seorang berilmu yang sungguh-sungguh berilmu di-drive oleh imannya untuk beramal dengan cara memberantas kebodohan
yang mewabah, menyampaikan haq
membunuh bathil, membangun SDM dan
memanfaatkan SDA secara bijak, dan lain sebagainya, sehingga tidak bisa tidak,
muara ilmu mestilah amal yang diasaskan iman.
Ilmu akan
meningkatkan derajat seseorang, karena dengan ilmu, orang semestinya akan
memberdayakan ilmunya dengan cara memberdayakan masyarakat, dan ahli ilmu yang
sejati akan selalu terikat dengan akhlak yang baik. Maka marilah kita
berinstrospeksi, jika makin berilmu kita
kitalah makin jauh kita dari Allah dan malah makin malas dalam beramal,
apakah ilmu-ilmu yang kita pelajari itu mengangkat derajat kita?
Membangun ruh intelektualitas dan spiritualitas umat
Islam
Seiring
perkembangan zaman, mau tidak mau dan siap tidak siap, umat Islam tidak bisa
tampil sebagai umat yang rutinitasnya hanya berhenti pada aspek ritualistik
saja, tetapi rutinitas umat harus meningkat ke aspek intelektualistik. Akan
tetapi, apakah dengan menjadi intelektualistik kita harus menafikan aspek
ritualistik? Apakah dengan rajinnya kita belajar di perpustakaan kita harus
menjadi jarang beribadah di masjid? Tentu tidak, karena sesungguhnya kedua
aspek tersebut tidaklah bisa dipisahkan.
Masjid sebagai
tempat beribadah umat berperan sebagai sarana meningkatkan iman umat, seiring
meningkatnya iman umat, masjid juga mesti meningkatkan aspek solidaritas umat.
Selain masjid yang berperan sebagai sarana peningkatan iman dan solidaritas
umat, perbanyak pula forum-forum kajian akademis dan teologis (majelis ta’lim)
yang aktif berperan dalam misi edukasi umat yang menyeimbangkan kajian teologis
dengan kajian epistemologis, jika umat diajarkan kajian fiqih, maka umat
diajarkan pula konsep berpikir kritis untuk menguatkan intelektualitas umat
melawan jahalah, umat harus
berteologi dengan epistemologi dan berepistemologi dengan teologi.
Hanya dengan
jalan menyeimbangkan kedua aspek (intelektualitas dan spiritualitas) lah umat
Islam mampu bertahan ditengah kerasnya gelombang modernisasi dan bisa
berkontribusi dalam pembangunan nasional dengan momentum fastabiqul khairat untuk mencapai mashalih.
Posting Komentar